Sedang tahap REVISI
"Mari kita bercerai! Sesuai yang dituliskan di kontrak, kamu akan menceraikan aku setelah dua tahun."
Aillard tersenyum smirk, "Siapa yang akan mematuhi kontrak itu? Apakah kamu tidak tau bahwa pihak A bisa merubah isi kontrak sesuai keinginan mereka?"
Clarisse segera membalik kertas itu berulang-ulang kali, ketika dia menemukan bahwa ketentuan itu ada di dalam kontrak, wajahnya langsung memucat ketakutan.
Sial, dia telah ditipu.
***
Clarisse Edith van Leonore adalah seorang putri dari kerajaan Leonore. Kehidupannya sangat menderita hingga semua anggota kerajaan membencinya.
Di kehidupan sebelumnya dia meninggal karena dibunuh oleh pemberontak. Tidak puas dengan kematiannya yang tidak adil, Clarisse menggunakan pusaka klannya memutar balik waktu kembali ke dua tahun yang lalu.
Dia bertekad untuk mengubah takdirnya dengan cara menikahi Grand Duke yang terkenal kejam dan membalas dendam kepada orang yang telah menyakitinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KimHana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 17 - MENYELAMATKAN SESEORANG
"Yang mulia, saya sudah mengantarnya."
Aillard menganggukkan kepalanya menanggapi perkataan Teon. Tatapan datar tidak juga lepas dari matanya seakan-akan di dunia ini tidak ada yang menarik baginya.
"Bagaimana tanggapanmu?"
"Hah?" Teon linglung sejenak tidak mengerti apa yang tuannya bicarakan.
"Perempuan tadi."
"Tuan putri Clarisse?" tanya Teon memastikan.
Aillard menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan Teon.
"Menurut saya... dia adalah orang yang cukup berani, sopan, dan agak berbeda dari bangsawan-bangsawan lainnya yang pernah saya temui." ujar Teon ragu-ragu.
Buktinya saja ia berani meminta Yang mulia untuk menikahinya secara terang-terangan. Kebanyakan perempuan lain hanya menggodanya atau memberinya kode, tetapi dia dengan lancangnya langsung melamar Yang mulia. Walaupun dia sempat ketakutan tetapi dia menguasai dirinya kembali dan mendapatkan semangatnya. Jujur saja, dia agak iri dengan keberaniannya yang tidak kenal takut dan menatap lurus ke mata Yang mulia.
Ia juga tidak memandangnya dengan pandangan merendahkan karena dia adalah seorang kesatria. Biasanya, bangsawan lain akan memandang rendah dirinya dan ia sedikit terkejut dengan sikapnya yang tak pandang bulu.
"Apakah kamu menyukainya?"
"Hah?" Teon tertegun sejenak lalu dia segera menganggukkan kepalanya. Setelah beberapa detik ia tersadar kembali dengan apa yang tuannya bicarakan lalu dengan cepat menggeleng-gelengkan kepalanya.
Beraninya dia mengatakan menyukai calon istri tuannya? Teon berharap ia bisa membenturkan kepalanya ke dinding berkali-kali karena perilakunya yang cukup bodoh.
"Berarti kamu tidak menyukainya kalau misalkan dia akan menjadi istri saya."
"Hah?" Teon tertegun kembali ketika mendengar pertanyaan tuannya. Kenapa dia merasa dirinya di permainkan? Teon menggeleng-gelengkan kepalanya mengusir pemikiran itu di kepalanya. Bagaimana mungkin tuannya sedang mengajaknya bercanda? Hah, itu sama sekali tidak mungkin. Dia percaya itu temasuk hal yang mustahil dalam hidupnya.
"Selidiki wanita itu dan cari tau apa tujuannya. Kita lihat apakah dia salah satu mata-mata yang di kirim Kaisar. Kalau iya...." Aillard tidak melanjutkan kalimatnya dan hanya pandangannya yang bersinar lebih dingin daripada sebelumnya.
Glup.
Teon sontak meneguk ludahnya ketika melihat aura tuannya yang semakin dingin. Ia berdoa semoga wanita itu bukan mata-mata Kaisar dan segera lepas dari kecurigaan tuannya. Bagaimanapun ia memiliki kesan yang baik terhadapnya dan ia juga berharap kalau ia adalah seseorang yang kemungkinan bisa membuat tuannya membuka hati kepada wanita. Ia harus segera menyelidiki ini supaya semua ketidakpastian ini menjadi jelas.
Memikirkan itu membuat Teon kembali bersemangat, ia langsung saja menjawab perintah Aillard dengan cepat, "Baik, Yang mulia." ujarnya lalu dengan cepat melangkagkan kakinya ke luar ruangan.
Kini tinggallah Aillard seorang diri. Ia menyerut tehnya yang perlahan menjadi dingin sambil mengingat percakapannya dengan Clarisse. Sudah lama dia tidak melihat seseorang yang menarik pandangannya.
Aillard menaikkan sudut bibirnya ketika membayangkan wanita itu akan masuk ke kehidupannya. Ia rasa hidupnya tidak akan begitu membosankan di hari-hari yang akan datang. Jujur saja ia sedikit mengantisipasi hari itu.
"Tidak akan mencintai, ya?" Aillard menggumamkan kalimat itu di mulutnya sambil menyeringai sinis. Bibirnya melengkung menjadi senyum jahat yang membuat orang hampir takut melihatnya.
"Kita lihat, apakah perilakunya akan sama seperti wanita bodoh itu." Ada kebencian yang tak terbendung di matanya ketika menyiratkan wanita yang selama ini bersarang di kepalanya.
...----------------...
Pecut.
Pecut.
Pecut.
Cambuk itu menari di atas punggung seorang wanita yang membuat siapapun meringis melihatnya. Tidak ada teriakan kesakitan keluar dari mulutnya, tetapi bibirnya yang berlumuran darah menjadi bukti bahwa dia menahan rasa sakit.
"Tolong hentikan... hiks..hiks..hiks." Seorang anak sedang menangis histeris sambil mencoba menghentikan tangan seseorang wanita yang sedang mencambuk ibunya. Ia mencoba memberontak melawan pelayan yang telah mengukung tubuhnya.
"Ibu...ibu.." panggilan itu begitu menyayat hati tetapi tidak ada satupun yang tergugah untuk menolongnya. Wajah mereka begitu datar hingga kita tidak bisa membedakan apakah dia adalah manusia ataukah setan.
"Ibu...Tolong selamatkan ibuku! Siapapun tolong selamatkan ibuku!" Verel berteriak sambil mencoba melepaskan tangan pelayan yang sedang memegangnya.
Entah mendapatkan kekuatan darimana tiba-tiba ia berhasil melepaskan diri. Ia segera berlari menghampiri ibunya dan menggenggam cambuk itu dengan kuat.
Itu sangat perih, kau tahu? Verel bisa merasakan kulit tanganya terkelupas karena mencoba menahan cambuk yang akan menghujami tubuhnya.
"Apa yang kamu lakukan?" Madeline menggeram marah menatap orang di depannya yang telah menghalangi pekerjaannya.
Verel tidak menanggapi sama sekali, ia balas memelototi Madeline dengan dingin "Lepaskan ibuku!" ujar Verel menggeram marah.
"Tidak." tolak Madeline keras.
"Minggir kau! Jangan menghalangiku!" Namun Verel tak berkutik sama sekali yang ada dia malah mencengkram cambuk itu semakin erat.
"Yang mulia.. Yang mulia... Anda mau kemana?" teriakan cemas Anne terdengar di belakangnya, namun saat ini Clarisse tidak ingin menanggapinya sama sekali. Prioritasnya saat ini adalah segera menemukan pangeran ke sembilan dan segera menyelamatkannya.
Ia rasa kejadian itu terjadi hari ini. Pangeran ke sembilan akan di temukan tewas nanti malam di dekat danau istananya sendiri. Banyak yang beranggapan kalau ia tewas tergelincir tetapi kejadian yang sebenarnya adalah dia di dorong oleh kepala pelayan permaisuri.
Hal itu baru terungkap ketika ibu pangeran sendiri yang bunuh diri untuk mengungkapkannya. Sebahagian ada yang percaya, sebahagian lagi berpendapat kalau ibu pangeran mengalami delusi. Tentu saja ia percaya apa yang dikatakan ibu pangeran. Siapa di dunia ini yang akan bermain-main dengan nyawanya sendiri, terlebih lagi seseorang yang baru saja kehilangan anaknya. Mereka pasti akan membalas dendam atas nasib tragis yang menimpa anaknya.
Tidak ada yang percaya dengan perkataan ibu pangeran karena tidak adanya bukti. Akhirnya dia memilih jalan untuk mati demi bisa mengungkapkannya. Walaupun tidak semuanya percaya, tetapi itu bisa menimbulkan benih-benih keraguan di hati semua orang.
Huft, ia harus mencegah hal itu terjadi. Pangeran ke sembilan adalah orang yang cakap walaupun usianya masih tergolong cukup muda. Sayang sekali orang seperti itu akan mati dengan sia-sia. Lagipula ia juga butuh sekutu yang mampu menggoyahkan posisi permaisuri walaupun hanya sedikit.
"Yang mulia, anda sebenarnya mau kemana sih?" Anne sesekali menggerutu tetapi langkahnya masih tetap setia mengikuti Clarisse. Sikap Yang mulia hari ini benar-benar aneh, tiba-tiba saja dia langsung melompat dari tempat tidur lalu berlari ke arah sini.
"Tunggu, bukankah ini kediaman pangeran ke sembilan?" Anne mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan bingung sambil menatap sang pelaku yang menjadi tanda tanyanya selama ini. Rumput benar-benar tumbuh setinggi betisnya hingga membuat orang tidak percaya kalau ini benar-benar kediaman seorang pangeran. Huft, ternyata Yang mulia masih beruntung daripada pangeran ke sembilan.
"Apa yang kamu lakukan?"
Tiba-tiba saja terdengar suara teriakan Clarisse yang membuat Anne langsung terkejut. Dengan kecepatan tornado dia berlari menghampirinya.