Istri yang tak dihargai adalah sebuah kisah dari seorang wanita yang menikah dengan seorang duda beranak tiga
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sulastri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hesty merasa semakin asing dengan Dody
Di dalam kamar, Hesty duduk di tepi ranjang sambil memandang Dody yang tengah sibuk dengan ponselnya. Perasaan Hesty bergelut, ingin sekali berbicara, tapi khawatir hanya akan menambah masalah.
Hesty,dengan suara lirih "Dody, kita bisa bicara sebentar?
Dody tetap menatap layar ponselnya, tanpa menoleh . Tentang apa lagi, Hesty?
Hesty menarik napas dalam, mencoba menahan emosinya: Aku merasa kita makin jauh. Kamu berubah, Dody. Aku nggak tahu apa yang sebenarnya kamu sembunyikan, tapi aku bisa merasakannya.
Dody mendesah, meletakkan ponselnya Kamu terlalu banyak mikir, Hesty. Nggak ada yang aku sembunyiin.
Hesty menatapnya, suaranya semakin berat oleh kekecewaan. Terus kenapa kamu selalu tertutup? Kenapa kamu nggak pernah cerita soal apapun ke aku? Soal gaji, soal apa yang kamu lakukan di luar... Aku cuma istrimu, Dody. Aku berhak tahu.
Dody memalingkan wajah, matanya tampak dingin .Aku cape dengerin tuduhan-tuduhan kamu. Kamu nggak percaya sama aku, ya udah.
Hesty terdiam sejenak, lalu dengan suara gemetar .Ini bukan soal percaya atau nggak, Dody. Ini soal kamu nggak pernah terbuka. Kamu selalu menjauh tiap kali aku tanya sesuatu. Apa kamu nggak pernah anggap aku istrimu?
Dody berdiri dengan ekspresi kesal . Udah lah, Hesty. Jangan nambahin masalah. Aku lagi nggak mau ribut.
Hesty, dengan air mata mulai menggenang Aku nggak mau ribut, Dody. Aku cuma pengen kita jujur satu sama lain. Kalau kamu sayang sama aku, kenapa kamu selalu buat aku merasa asing?
Dody mengangkat bahu, dingin: Mungkin karena kamu selalu curiga sama aku.
Hesty, dengan suara bergetar" Aku curiga karena kamu nggak pernah kasih aku alasan buat percaya"
Hesty menatap Dody dengan mata penuh harap.
Dody, kamu nggak pernah cerita apa-apa sama aku. Aku istrimu, tapi rasanya kita kayak orang asing sekarang.
Dody menghela napas, matanya masih terfokus pada layar ponselnya, kamu terlalu banyak mikir, Hesty. Semua baik-baik aja kok.
Hesty duduk di sampingnya, aku nggak ngerasa baik-baik aja. Aku ngerasa jauh dari kamu. Kenapa kamu nggak pernah terbuka soal apapun?
Dody meletakkan ponselnya di atas meja, tangannya terlipat, aku udah capek dengan semua ini. Kamu selalu nanya hal yang sama. Apa nggak cukup percaya sama aku?
Hesty menunduk, suaranya pelan tapi tegas, ini bukan soal percaya atau nggak, ini soal komunikasi, soal kejujuran. Aku nggak minta banyak, Dody. Aku cuma pengen kita bisa terbuka satu sama lain.
Dody menggelengkan kepala, mungkin kita emang beda, Hesty. Kamu terlalu nuntut banyak dari aku.
Hesty menatapnya dengan mata berkaca-kaca, aku nggak nuntut apa-apa, Dody. Aku cuma pengen kamu jadi suami yang peduli. Anak kita butuh perhatian, aku juga butuh kamu.
Dody mendesah panjang, aku ada di sini, kan? Apa lagi yang kamu mau?
Hesty menghapus air matanya, kamu di sini, tapi rasanya kamu nggak pernah benar-benar hadir.
Hesty menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya.
Aku cuma pengen kita beneran jadi keluarga, Dody. Bukan cuma tinggal bareng, tapi merasa bareng, melewati semuanya bareng. Kamu ngerti maksudku, kan?
Dody menatap ke arah jendela, matanya kosong, aku ngerti, tapi hidup nggak selalu sesederhana itu, Hesty. Ada banyak hal yang nggak bisa aku omongin sekarang.
Hesty mengerutkan kening, apa maksudmu? Kalau ada masalah, kita hadapi sama-sama. Kamu nggak perlu ngadepin semuanya sendiri.
Dody tetap diam, lalu berdiri, melangkah ke arah pintu, aku butuh waktu buat mikir.
Hesty memandangnya dengan tatapan putus asa, waktu buat mikir? Dody, kita udah hidup bareng, kita udah punya anak. Berapa lama lagi kamu mau mikir sendirian?
Dody tidak menjawab, ia hanya membuka pintu dan keluar, meninggalkan Hesty yang merasa semakin terpuruk. Hesty duduk di kursi, menatap kosong ke arah pintu yang tertutup, dadanya sesak.
Dia berbisik pelan pada dirinya sendiri, sambil menahan air mata yang mengalir, sampai kapan aku harus nunggu kamu, Dody?
Malam semakin larut, Hesty masih duduk di kursi, memandangi jendela yang kini hanya menampilkan kegelapan. Dia memikirkan kata-kata Dody yang selalu membuatnya merasa semakin jauh. Suara tangisan bayi dari kamar terdengar. Hesty segera beranjak dan menggendong bayinya.
"Shh... sabar ya, Nak. Mama di sini," bisiknya pelan, mencoba menenangkan bayi yang gelisah. Dalam pelukan Hesty, bayi itu perlahan tenang dan tertidur lagi. Namun, hati Hesty tak tenang. Pikirannya terus melayang ke Dody.
Beberapa jam berlalu, Dody akhirnya kembali. Dia masuk tanpa suara, seolah-olah tak ingin menarik perhatian. Hesty mendengar suara langkahnya, tapi memilih untuk tetap diam. Dody mendekat dan duduk di sampingnya, tak berkata apa-apa.
"Kamu ke mana aja?" Hesty bertanya dengan nada tenang, meskipun hatinya masih resah. "Aku nggak mau marah, aku cuma mau tahu apa yang ada di pikiran kamu."
Dody menunduk, kedua tangannya menyentuh wajahnya sejenak. "Aku bingung, Hesty. Aku nggak tau gimana caranya ngadepin semua ini."
"Ngadepin apa, Dody? Kita udah nikah, kita punya anak. Ini hidup kita sekarang," Hesty mencoba menahan perasaan yang ingin meledak.
Dody menarik napas panjang, "Aku... aku merasa gagal. Semua masalah ini, semua tanggung jawab. Aku ngerasa nggak bisa ngasih kamu apa-apa."
Hesty menggenggam tangan Dody, "Kamu nggak harus ngasih banyak, Dody. Aku cuma butuh kamu ada di sini, buat aku dan anak kita. Kita bisa cari solusi bareng, asalkan kamu nggak ninggalin aku sendirian."
Dody menghela napas berat, "Aku janji bakal coba lebih baik."
Namun di dalam hati, Hesty tahu janji itu tak cukup. Ia merasakan jarak yang semakin jauh antara mereka.
Keesokan paginya, Hesty bangun lebih awal dari biasanya. Bayinya masih tertidur di sebelahnya. Ia menatap wajah kecil yang damai itu, satu-satunya hal yang membuatnya tetap kuat menghadapi semua ini. Di dapur, ia menyiapkan sarapan dengan hati yang berat, mencoba menyibukkan diri agar tak terlalu memikirkan sikap Dody semalam.
Ketika Dody akhirnya bangun dan masuk ke dapur, Hesty menatapnya sejenak, menunggu dia membuka percakapan. Namun, seperti biasa, Dody hanya mengambil secangkir kopi tanpa banyak bicara. Suasana hening di antara mereka begitu menyiksa.
"Kamu ada rencana hari ini?" Hesty akhirnya bertanya, berusaha memulai obrolan ringan.
Dody mengangkat bahu, "Nggak ada yang spesial. Cuma ketemu teman, mungkin."
Hesty menelan kecewa yang mulai menyeruak lagi, "Kamu nggak mau bantuin aku jualan atau mungkin ngurusin bayi sebentar? Biar aku bisa istirahat sebentar."
Dody meminum kopinya, seakan tidak mendengar, lalu menjawab dengan nada datar, "Aku juga butuh waktu buat diri sendiri, Hesty."
Hesty merasakan amarah yang ia tahan sejak lama mulai menggelayuti dirinya, "Kamu selalu butuh waktu buat diri sendiri, Dody. Sementara aku? Aku yang setiap hari di rumah, ngurus bayi, jualan keliling, berjuang sendiri. Kamu pikir aku nggak capek?"
Dody meletakkan cangkirnya dengan sedikit kasar, "Jadi kamu mau bilang apa? Mau nyalahin aku lagi?"
Hesty menatapnya dengan mata yang penuh luka, "Aku nggak nyalahin kamu, Dody. Aku cuma minta kamu ada buat kita. Aku minta kamu peduli. Kita ini keluarga, bukan cuma aku yang harus berjuang."
Dody menghela napas keras, "Aku bosen denger ini, Hesty. Setiap hari kamu ngomel soal hal yang sama."
Hesty menahan air mata yang hampir jatuh, "Karena nggak ada yang berubah, Dody. Aku nggak bisa terus-terusan pura-pura kalau semuanya baik-baik aja."
Dody berdiri, mengambil jaketnya, dan dengan nada dingin berkata, "Aku mau keluar sebentar. Kita ngomong lagi nanti."
Hesty hanya bisa memandangi punggung Dody saat dia pergi, lagi-lagi meninggalkan dirinya dan bayi mereka.