Blurb :
Sebuah pernikahan yang hanya di dasari oleh cinta dari salah satu pihak, akankah berjalan mulus??
Jantung Arimbi seakan runtuh ketika pria itu mengatakan 'kita akan tidur terpisah'
Akankah ketulusan Arimbi pada putri semata wayang mampu membuat Bima, seorang TNI AU berpangkat Sersan Mayor membalas cintanya?
______
Arimbi terkejut ketika sosok KH Arifin, datang ke rumahnya bersama Pak Rio dan Bu Rio.
Yang lebih mengagetkannya, kedatangan mereka bertujuan untuk melamar dirinya menjadi istri dari putranya bernama Bima Sena Anggara, pria duda beranak satu.
Sosoknya yang menjadi idaman semenjak menempuh pendidikan di pondok pesantren milik Abi Arifin, membuat Arimbi berjingkrak dengan perjodohan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 11 ~
"Ayah" Suara Lala yang datang dari arah tangga, membuatku dan mas Bima kompak menoleh.
Detik itu juga mas Bima yang semula duduk langsung bangkit, masih dengan tangannya yang mencengkram pergelangan tanganku.
Aku tertampar melihat Lala yang sudah menangis dengan membawa boneka cinnamoroll kesayangannya.
Bukan hanya aku, sepertinya mas Bima juga terhenyak mendapati Lala menyaksikan percecokan kami.
Hanya percecokan kecil sebenarnya, tapi bagi Lala yang usianya belum genap lima tahun, mungkin akan menganggap bahwa ayah dan bundanya sedang bertengkar.
Aku dan mas Bima saling pandang. Sepertinya kami sama-sama menelan ludah di waktu yang sama, sebab aku melihat gerakan jakun mas Bima yang bergerak naik turun di saat aku tengah menelan salivaku sendiri.
Sepasang netraku kembali fokus pada Lala yang berlari menghampiriku dan mas Bima.
Saat langkahnya kian dekat, dari sini aku bisa melihat mata indah Lala yang tampak memerah. Dan entah kenapa mataku memanas saat melihat air mata Lala yang kian berjatuhan.
Cintaku pada mas Bima memang sangat besar, cinta yang tumbuh sejak aku duduk di bangku kelas dua MA dan bertahan hingga detik ini, tapi cinta serta kasih sayangku pada putrinya jauh lebih besar. Sebab Lala yang selama dua tahun ini menemani hari-hariku di saat mas Bima pergi berdinas. Lala juga yang mampu mengalihkan pikiranku dari mas Bima. Karena Lala, aku bisa melupakan rasa sakit hatiku akibat dari perlakuan ayahnya.
"Bunda" Tanpa ku duga, Lala melempar bonekanya ke arah mas Bima kemudian langsung memelukku dan menempelkan salah satu sisi wajahnya di perutku.
Aku menundukkan pandangan, menatap Lala yang menangis sesenggukan. Otomatis tanganku membelai kepalanya lembut.
"Lala kenapa bangun?" tanyaku berusaha bersikap tenang.
Ku lihat mas Bima memungut boneka berwarna putih di lantai.
"Bunda jangan pergi" Gumam Lala dengan suara teredam. "Lala nggak mau bunda pergi"
Ya Tuhan, andai aku tahu kalau Lala sudah mendengar percecokan kami, aku pasti tidak akan mengatakan itu. Sekarang, apa yang harus ku jelaskan pada anak ini?
Dia yang sudah menderita semenjak usianya tujuh bulan, tanpa ASI dan harus meminum susu formula karena perbuatan ibunya, lalu sekarang, apakah dia harus kehilangan sosok ibu untuk kedua kalinya?
Sanggupkah aku meninggalkan Lala yang kemungkinan besar akan membuatnya sedih?
Di tengah rasa haru yang menyelimutiku, aku mengurai pelukan kami. Aku duduk di tempatku tadi, lalu membawa Lala ke pangkuanku.
"Bunda nggak akan pergi, nak" Ku rangkum wajah Lala dan menatapnya dalam-dalam. "Kalau bunda memang harus pergi, pasti akan ajak Lala kalau di ijinin sama ayah"
"Janji?"
Aku tersenyum mengangguk sebelum kemudian mengecup kening Lala cukup lama.
"Bunda janji, bunda nggak akan tinggalin Lala sendiri" Entah janji apa yang ku buat, tapi inilah yang terbaik untuk menghibur Lala saat ini.
"Lala jangan sedih lagi, okay!"
Pandanganku dan Lala lekat saling menatap, ku sapu pipinya yang basah, dan juga keningnya yang di penuhi buliran keringat.
Hingga beberapa saat kemudian, ku rasakan mas Bima turut duduk di sampingku dengan posisi sama ketika bicara denganku beberapa menit lalu. Pria ini memperhatikanku dan Lala dari samping kananku.
"Makasih ya, sudah sayang sama bunda, Lala sudah bantu bunda jadi anak baik"
Lala mengangguk kemudian menoleh ke arah mas Bima dengan tatapan marah.
"Ayah nggak boleh marahin bunda lagi" ucapannya jelas merujuk ke ayahnya.
"Ayah nggak marahin bunda, nak"
"Tapi ayah tadi bentak-bentak bunda"
"Tapi ayah nggak marahin, ayah cuma negur bunda karena bunda sudah bandel"
"Bunda bandel kenapa?" kini pandangan Lala terarah padaku, itu artinya pertanyaan itu untukku.
Belum sempat aku menjawab, mas Bima sudah keburu menjawabnya untukku.
"Tadi ayah masih mau bicara sama bunda, tapi bunda nggak dengerin ayah, ayah nyuruh bunda duduk lagi, tapi bunda nggak mau. Jadi ayah tegur bunda"
Lala bergeming dengan sorot serius, manik hitamnya terus menatap sang ayah dengan tajam, mungkin mencari kesungguhan atas ucapan mas Bima.
Sungguh keberanian menatap lawan bicara benar-benar mewarisi ayahnya.
"Benar, bun?" Kini tatapan mengintimidasi itu terarah padaku.
Tak ingin berbelit-belit, akupun mengangguk dengan bibir tersungging.
Melihat responku, Lala kembali memelukku, menempelkan salah satu pipinya di dadaku.
"Lala sayang bunda, bunda sayang Lala?"
"Sayang dong"
"Lala sayang bunda yah, ayah juga sayang bunda?"
"Iya" sahut mas Bima.
"Bunda juga sayang sama ayah?" Lala mendongak agar bisa menatapku.
"Sayang"
Bahkan bunda sayang banget sama ayah nak, andai Lala tahu kalau ayah sayangnya cuma bohongan, pasti Lala akan marah sama ayah.
Tersenyum, aku kembali membawa Lala ke dalam pelukanku. Ku usap punggung kecilnya sambil sesekali melirik mas Bima yang begitu fokus menatap anak gadisnya.
"Kita bobo lagi yuk"
"Iya" jawab Lala patuh.
"Gendong ayah, ya?"
"Nggak mau, nanti bunda pergi"
"Tadi kan bunda udah janji nggak akan pergi" kataku yang kemudian mengecup pucuk kepalanya.
"Lala udah berat sekarang, kasihan bunda kalau harus gendong Lala naik tangga"
Lala memindai wajah ayahnya yang tengah menyunggingkan senyum. Cukup lama Lala berfikir, akhirnya dia mengulurkan tangan dan mas Bima dengan cepat meraih tubuh Lala.
Lagi-lagi aku kalah dengan egoku, aku mengabaikan perasaanku yang sudah terlampau lelah demi Syahla.
Biarlah ini menjadi jalan hidupku, menyayangi anak dari pria yang tidak pernah mencintaiku.
Aku akan tetap di sini bukan untukmu, mas. Tapi untuk putri kecilmu.
Mari kita bersikap seperti orang asing, yang terpaksa harus tinggal serumah.
Tapi aku penasaran dengan perjanjian yang mas Bima buat dengan mami.
Perjanjian apa itu?
****
Semalam, aku akhirnya terlelap di kamar Lala, mengabaikan mas Bima yang juga tidur satu ranjang denganku dan putri kami. Karena permintaan Lala, kami terpaksa tidur bertiga.
Ku pikir mas Bima akan pindah ke kamarnya setelah Lala benar-benar terlelap, tapi dugaanku keliru, sebab sampai adzan subuh berkumandang, mas Bima masih berada dalam posisinya.
Pria itu tidur terlentang di samping kiri Lala, sementara aku di samping kanannya.
Puas menatap wajah mas Bima, aku beralih menatap Lala, aku tersenyum untuk putri kecilku, namun senyumku seketika lenyap ketika ku rasakan kening Lala yang ku usap menggunakan tanganku terasa panas.
Aku lantas bangkit dan mengambil kotak obat yang selalu ku sediakan di kamar Lala.
Saat ku cek menggunakan termometer, ternyata suhunya 39,6°C.
Cukup panas.
Tak ingin membuang waktu, aku membangunkan mas Bima tanpa canggung.
Ku sentuh lengannya yang mendarat di kening, tak menunggu lama, mas Bima pun membuka matanya dan langsung menoleh ke wajahku.
"Ada apa?" paraunya seraya bangun untuk duduk.
"Lala panas mas"
"Panas" Secara otomatis, sepasang manik hitam mas Bima langsung memindai tubuh Lala, tangannya menyentuh keningnya.
"Kita bawa ke rumah sakit saja gimana? Suhunya cukup tinggi" aku tak berani menatapnya yang kini sudah berdiri dan tengah memakai sandal.
"Berapa suhunya?"
"Tiga sembilan"
Mas Bima langsung mereok tubuh Lala ke dalam gendongannya.
"Kita ke rumah sakit sekarang. Aku tunggu di mobil, tolong ambilkan dompet dan ponselku di atas nakas kamarku"
Aku mengiyakan ucapan mas Bima, lalu menyambar jaket milik Lala di lemari.
Sebelum ke kamar mas Bima, aku lebih dulu ke kamarku untuk mengambil tas dan swaeter.
Selain dompet dan ponsel, aku juga membawakan jaket untuk mas Bima yang masih teronggok di atas kasur.
Mungkin karena kejadian semalam, mas Bima belum sempat memasukkan baju-baju yang sudah ku setrika ke dalam lemari.
Ketika aku keluar dari rumah, mobil mas Bima sudah menungguku tepat di depan teras, aku bergegas masuk ke mobil dan meraih tubuh Lala untuk ku pangku.
Karena jalanan masih sangat sepi di subuh-subuh begini, mas Bima melajukan mobilnya dengan kecepatan agak tinggi.
Bersambung.