Menikah dengan lelaki yang dicintai, ternyata tidak menjamin kebahagiaan, ada kalanya justru menjadi luka yang tak ada habisnya.
Seperti halnya yang dialami oleh Raina Almeera. Alih-alih bahagia karena menikah dengan lelaki pujaan—Nero Morvion, Raina malah menderita karena hanya dijadikan alat untuk membalas dendam.
Walau akhirnya ... takdir berkata lain pada skenario yang dibuat lebih awal oleh Nero.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sangkar Dendam
"Merebut wanita," batin Raina dengan perasaan yang hancur berantakan.
Pernyataan tersebut mengingatkannya pada nasihat Raksa tempo hari. Yang mengatakan bahwa Nero hanya mempermainkan, sekadar membalas dendam karena Raksa pernah selingkuh dengan Anne.
Dulu Raina kira Raksa hanya terlalu khawatir, makanya Raina lebih percaya pada Nero, yang mengatakan bahwa perpisahannya dengan Anne karena wanita itu terlalu sibuk dengan pekerjaan. Katanya, mereka sudah lama putus, jauh sebelum Raksa menjalin hubungan dengan Anne. Ternyata ... dirinya yang sangat bodoh, mudah tertipu oleh kata-kata manis Nero.
"Kenapa? Tidak percaya dengan kebodohan sendiri?" Nero berkata sinis, matanya memandang rendah ke arah Raina. "Mau kutunjukkan lagi kebodohanmu yang lain, hmm?" sambungnya.
Raina masih diam. Bahkan saat Nero melepaskan cengkeraman dan menjauh darinya, Raina hanya bisa mematung di tempat. Jangankan mengucap kata, menghela napas saja rasanya sangat sulit.
"Selagi kamu bersikeras mau menikah denganku, di belakangmu Raksa melakukan banyak hal agar kita tidak menikah. Dia sampai membayar Norman dan Bryan, tangan kananku di kantor, untuk mengawasi keseriusanku." Nero kembali mendekati Raina seraya menunjukkan bukti pesan dari Norman dan Bryan, terkait rencana Raksa.
"Aku sengaja diam agar Raksa percaya bahwa Norman dan Bryan sudah ada dalam kendalinya. Dia terlalu meninggikan diri. Memang sehebat apa dia, sampai bisa mengalihkan kepercayaan orang-orangku. Terlalu lama menjadi tangan kananku membuat dia lupa diri. Merasa paling hebat sampai berani melakukan skandal dengan wanitaku, lantas berani mengancamku. Heh, sangat konyol," lanjut Nero, dan sontak membuat Raina meneteskan banyak air mata.
Dirinya memang bodoh, sangat bodoh!
"Raina, kamu pasti paham kan sebesar apa bisnis dan kekuasaan yang kupunya? Menurutmu ... apa Raksa sebanding denganku? Meski jabatannya sebagai direktur utama, tetapi dia hanya bekerja pada orang. Dia tidak punya bisnis pribadi. Menurutmu apa sulit bagiku untuk menghancurkan dia?" Nero bicara lagi sambil menyibakkan rambut Raina yang berantakan di sekitar wajah. Membuat wajah sendu dan air mata itu terlihat jelas di mata Nero.
"Jangan sakiti Kak Raksa, kumohon," bisik Raina.
Nero tertawa sumbang.
"Aku akan menyuruh Kak Raksa melepaskan Kak Anne jika itu yang Om mau," lanjut Raina.
"Melepaskan? Sekarang? Ketika pernikahan sudah di depan mata. Apa itu ada gunanya?"
Raina memejam. Tak tahu harus negoisasi dengan cara apa lagi.
"Aku menantikan hari di mana karier Raksa hancur, lalu Anne meninggalkan dia, dan ... pada saat yang paling terpuruk, aku akan menunjukkan pada dia bagaimana caraku memperlakukan kamu. Aku akan menginjak-injak harga dirinya, seperti dia menginjak-injak harga diriku dulu." Ucapan Nero sangat tegas, seolah tak ada keraguan sedikit pun dalam setiap kata yang ia lontarkan.
"Kumohon, jangan. Maafkan kakakku, jangan hancurkan karier dia." Raina kembali memohon dengan air mata yang kian berderai.
Nero tidak menjawab, hanya matanya yang terus menatap Raina.
Sampai kemudian, tubuh Raina luruh ke lantai. Dalam keadaan duduk menunduk, Raina kembali memohon.
"Aku mohon, jangan sakiti Kak Raksa. Katakan apa yang harus aku lakukan agar Om Nero bisa memaafkan Kak Raksa."
Nero tersenyum miring. Kemudian berjongkok dan menjajari Raina.
Dengan santai tangan kekar itu kembali meraih dagu Raina dan membuatnya mendongak.
"Jadilah wanita yang penurut dan patuh. Jangan membantah dengan semua keinginanku, apa pun itu. Nanti aku akan mempertimbangkan lagi. Bagaimana?" ujar Nero.
Raina mengangguk samar. Jujur, dia takut dengan tawaran Nero barusan. Namun, mau bagaimana lagi? Jika itu bisa menyelamatkan Raksa, sesulit apa pun akan ia lakukan.
"Bagus." Nero tersenyum licik, kemudian melepaskan dagu Raina dengan sedikit kasar. Lantas, bangkit dan meninggalkan Raina sendirian di kamar itu.
_______
Sudah beberapa jam Nero pergi, tetapi Raina belum beranjak dari tempatnya. Ia tetap duduk di lantai, memeluk lutut sambil membenamkan wajahnya di sana. Menangis. Entah sudah berapa banyak air mata yang dia tumpahkan, ujung dress yang dia kenakan sampai basah karenanya.
'Andai aku mendengarkan ucapan Kak Raksa.'
'Andai aku tidak terbuai dengan sikap dan janji-janji manisnya.'
'Andai aku tidak luluh dengan cinta yang dia gaungkan.'
Begitu banyak andai-andai dalam pikiran Raina. Penyesalan atas segala kedobohan yang terlalu lugu dalam menyambut sikap Nero. Sampai dirinya kehilangan pendidikan dan mungkin juga masa depan.
Sekarang ... entah bagaimana menggambarkan perasaan dalam hatinya. Dia sangat mencintai Nero. Bahkan karena Nero, dia nyaris tidak menyesali keperawanan yang hilang sebelum waktunya, juga anak yang hadir lebih awal dari seharusnya.
Kini, tidak ada keperawanan yang hilang, pun tak ada anak yang hadir. Akan tetapi, tak ada pula Nero yang lembut dan manis penuh kasih. Tersisa Nero yang kejam dan angkuh, penuh kebencian dan dendam. Sialnya hal itu tidak mampu menghapus rasa cinta yang telanjur tumbuh dalam hati Raina, sehingga kini tak terkira lagi luka dan sakit yang diterima.
Di tengah pikiran yang kian kalut, perut Raina kembali melilit sakit. Bahkan, sakitnya jauh lebih parah dari beberapa jam yang lalu.
"Ahhh." Raina merintih sembari memegangi perutnya. Lantas, dengan susah payah bangkit dan berniat ke kamar mandi.
Namun, belum sempat ia berdiri sempurna, kepalanya tiba-tiba pusing dan pandangan berkunang-kunang. Raina terhuyung dan akhirnya hilang keseimbangan. Dia terjatuh dan tidak sadarkan diri.
Bersambung...