Ailen kaget setengah mati saat menyadari tengah berbaring di ranjang bersama seorang pria asing. Dan yang lebih mengejutkan lagi, tubuh mereka tidak mengenakan PAKAIAN! Whaatt?? Apa yang terjadi? Bukankah semalam dia sedang berpesta bersama teman-temannya? Dan ... siapakah laki-laki ini? Kenapa mereka berdua bisa terjebak di atas ranjang yang sama? Oh God, ini petaka!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
~ 29
Juria dan dokter Fredy kebingungan mencari keberadaan Ailen yang tiba-tiba raib setelah berkata ingin pergi membeli sesuatu di luar. Terhitung sudah hampir satu jam wanita itu pergi, dan sampai sekarang belum ada tanda-tanda keberadaannya. Hal ini membuat kedua orang tersebut merasa was-was.
"Apa kau sudah menghubungi nomor Ailen?" tanya Fredy gelisah.
"Untuk apa aku menelpon dia kalau kau saja tak henti menghubungi nomornya, dok," jawab Juria seraya menaikkan satu alisnya ke atas. Aneh sekali pertanyaan dokter ini.
"Ya ampun, aku lupa." Fredy tersenyum canggung. Dia bertanya tanpa dipikir terlebih dahulu di kala tangannya sendiri tak henti menelpon nomor Ailen. "Efek panik, Juria. Aku sampai tidak sadar dengan tindakanku. Sorry,"
"Tak usah meminta maaf. Hal yang wajar dilakukan oleh orang yang punya rasa spesial pada seseorang,"
"Maksudnya?"
"Kau menyukai Ailen 'bukan?"
Ekspresi Fredy terlihat tegang saat Juria bertanya seperti itu padanya. Mengapa bisa pas begini? Darimana wanita ini tah kalau dia menyukai Ailen?
(Haruskah aku menjawab sejujurnya? Tapi bagaimana jika Juria mengadu pada Ailen? Aku takut perasaan ini akan melukainya jika diungkapkan di waktu yang kurang tepat,)
"Dokter Fredy, kau tidak perlu sungkan. Sejak kembali dari luar negeri, diam-diam aku selalu mengawasi kebersamaanmu dengan Ailen. Dan ya, sangat jelas terlihat kalau kau menyukainya. Benar 'kan?" ucap Juria mendesak dokter Fredy agar mau mengaku.
"Ya, aku memang menyukainya." Tak lagi menampik, dengan berani Fredy mengiyakan dugaan Juria. Tidak ada gunanya juga menutupi, toh itu memang fakta. "Tetapi aku belum ingin mengungkapkan rasa tersebut di waktu dekat. Ada beberapa hal yang perlu ku jadikan pertimbangan, terutama perasaan Ailen."
"Perasaan Ailen?"
"Tuan Derren saat ini terus mengejarnya. Jika aku gegabah tanpa memikirkan posisinya, aku khawatir pengakuanku hanya akan membuatnya menjadi semakin sulit. Jadi Juria, bisakah kita rahasiakan percakapan ini? Demi sahabatmu. Bisa?"
Juria tak langsung mengiyakan permintaan dokter Fredy. Dia memilih untuk berpikir sejenak, mencari peluang paling tepat yang mana adalah terbaik untuk Ailen. Dan sejujurnya, dia juga mendukung kesehatan Ailen dengan Tuan Derren. Dari seratus persen, 51% dukungan dia berikan pada calon pasangan tersebut. Dan untuk dokter Fredy, tersisa 49% dukungan. Jadi di sini Juria juga dilema. Kedua pria yang mendekati Ailen sama-sama punya pesona yang memukau. Bedanya hanya dokter Fredy sebagai bawahan, sedangkan Tuan Derren adalah atasan.
(Aku harus berdiri di pihak yang adil. Jangan sampai keputusanku berpengaruh pada keberlangsungan masa depan. Lebih baik saat bersama dokter Fredy, aku menunjukkan sikap mendukungnya. Begitu juga sebaliknya. Saat bersama Tuan Derren, aku harus mendukung hubungannya dengan Ailen. Ya, seperti ini saja)
"Bagaimana, Juria? Kau maukan merahasiakan pembicaraan kita dari Ailen?" tanya Fredy kembali memastikan.
"Tenang saja, dok. Rahasia ini aman di tanganku," jawab Juria penuh yakin.
"Benar ya?"
"Iya,"
"Aku akan sangat marah padamu kalau rahasia ini sampai bocor."
"Aman aman."
Setelah itu Fredy mengajak Juria untuk kembali mencari Ailen. Entah ke mana perginya wanita itu. Membuat mereka khawatir saja.
Sementara di rumah sakit Juria dan dokter Fredy sedang kebingungan mencari Ailen, di tempat lain ada Derren yang sedang senyum-senyum sendiri sambil bertopang dagu menatap sosok cantik yang sedang terlelap di atas ranjang. Bulu mata yang lentik alami, hidung minimalis yang terlihat lucu, juga dengan bibir merah alami tanpa polesan lipstik. Pemandangan ini begitu menyegarkan mata. Meski untuk bisa menikmati hal indah tersebut Derren harus melakukan tindak kriminal. Penculikan!
"Hei wanita cantik, sebenarnya sihir apa yang telah kau tebar hingga membuatku bertindak sejauh ini, hm?" ucap Derren. "Kau dengan lancangnya mengobrak-abrik perasaan yang awalnya hancur lebur. Sopankah?"
Mengajak orang tidur bicara, bukankah orang tersebut tidak waras? Seperti itulah kondisi Derren sejak bertemu Ailen. Hal yang dulu ketika bersama Zara tak pernah dilakukan, kini secara sadar dia melakukannya.
"Sayang, bangunlah. Tidak rindu aku?"
Eughhhh
Samar-samar Ailen seperti mendengar seseorang berbisik di sampingnya. Dengan kondisi mata yang begitu berat, dia berusaha keras untuk bangun, tapi sulit. Entah apa yang terjadi. Tadi saat hendak masuk ke dalam mobil, tiba-tiba saja pemandangan menjadi gelap. Ailen lalu berusaha mengingat-ingat apa dan kenapa dirinya bisa tertidur seperti ini.
(Tadi aku baru akan masuk ke mobil setelah membeli buah. Kemudian ada bau aneh yang membuat kepalaku pusing dan tatapan menjadi kabur. Lalu aku ... aku .... )
Begitu teringat ada sesuatu yang janggal, kedua mata Ailen langsung terbuka lebar. Napasnya terengah-engah, takut membayangkan sesuatu hal.
"Akhirnya kau sadar juga, sayang. Bagaimana? Apa tidurmu nyenyak?" tanya Derren menyambut Ailen dengan senyum lebar. Posisinya masih sama. Duduk bertopang dagu dengan jarak yang cukup dekat.
"D-Derren, ke-kenapa kau ada di sini?"
"Wanitaku ada di sini, kenapa aku harus berada di tempat lain?"
Ailen menelan ludah. "Apa aku ... diculik?"
Derren gila. Ungkapan ini sangat cocok ditujukan padanya saat dengan penuh kesadaran mengiyakan dugaan Ailen. Ya, dia mengakui dengan gamblang telah menculik wanita tersebut. Di raut wajahnya, sama sekali tak terlihat penyesalan sedikit pun. Sangat santai dan terkesan gembira.
"Omong kosong!" Ailen murka. Dia kemudian mencoba untuk bangun, tapi sulit. Alhasil tubuhnya kembali jatuh ke ranjang, membuatnya jadi emosi. "Apa maksudmu melakukan ini padaku? Kau orang terhormat, mengapa melakukan tindakan kejam seperti ini? Apa salahku?"
"Syuut, jangan keras-keras. Di luar ada Julian dan ayahku. Nanti pikiran mereka jadi ke mana-mana jika mendengarmu berteriak seperti ini."
"APA?"
"Atau kau mau berkenalan dengan ayahku? Tenang saja, sayang. Dia sudah merestui hubungan kita."
Bagai disambar petir, sekujur tubuh Ailen bergetar dengan hebat. Bukan karena ingin dikenalkan pada ayahnya Derren, melainkan karena terlalu emosional. Pria ini ... bukan, b*jingan ini sudah sangat keterlaluan. Ailen tak bisa bersabar lagi.
"Aku baru tahu orang dengan latar belakang terhormat sepertimu bisa melakukan tindakan keji dengan cara merebut kebebasan orang lain. Yakin kau pernah bersekolah, hm?" ejek Ailen dengan napas menderu. Dia sudah tak peduli apakah ucapannya akan menyakiti perasaan Derren atau tidak.
"Sayang, ada apa dengan dirimu?"
Alih-alih tersinggung, Derren malah tersenyum mendengar ejekan Ailen. Dia lalu mengusap pipinya penuh sayang, tak menghiraukan penolakan yang wanita ini tunjukkan. "Percayalah, semua yang ku lakukan adalah demi kebaikan kita. Aku menyukaimu. Kau tahu itu 'bukan?"
"Tapi aku tidak menyukaimu!"
"Tidak masalah. Aku akan membuatmu menyukaiku. Gampang 'kan?"
Ailen frustasi. Dia kehabisan cara untuk menyadarkan Derren. Bingung harus melakukan apa, dia memilih untuk memunggungi pria tersebut. Dia jengkel.
Mengira tindakan itu akan membuat Derren pergi, yang terjadi selanjutnya malah membuat tubuh Ailen menegang hebat. Pria gila itu memeluknya erat dari sambil menciumi tengkuknya belakang.
"Maaf. Aku tahu perbuatanku mengejutkanmu. Semuanya diluar kendali, sayang. Aku benar tergila-gila padamu sampai tak bisa lagi berpikir jernih. Tolong jangan marah ya?"
Sebuah ungkapan yang tidak terlalu panjang, tapi sanggup membuat lidah menjadi kelu. Ailen terpaku. Diam, tak tahu harus merespon bagaimana.
***