(#HIJRAHSERIES)
Keputusan Bahar untuk menyekolahkan Ameeza di SMA Antares, miliknya mengubah sang putri menjadi sosok yang dingin.
Hidup Ameeza terasa penuh masalah ketika ia berada di SMA Antares. Ia harus menghadapi fans gila sepupu dan saudaranya, cinta bertepuk sebelah tangan dengan Erga, hingga terlibat dengan Arian, senior yang membencinya.
Bagaimanakah Ameeza keluar dari semua masalah itu? Akankah Erga membalas perasaannya dan bagaimana Ameeza bisa menghadapi Arian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ana Hasna Raihana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Surat
...-oOo-...
Suara decit yang ditimbulkan oleh gesekan antara sepatu dan lapangan indoor bulu tangkis membuat ngilu beberapa anak-anak yang tergabung dalam eskul bulu tangkis. Ada yang benar-benar memperhatikan pertandingan sengit ini, ada yang sibuk mengobrol bahkan ada juga yang sibuk makan.
Permainan terhenti ketika suara dari jatuhnya sebuah raket. Pertandingan sengit ini usai. Dan hanya selisih dua poin. Ameeza melangkahkan kakinya mendekati Melva. Ia duduk dengan kaki diluruskan.
"Gimana?" tanya Melva. Ameeza tidak menyahut, ia sibuk meneguk air minumnya. Melva memberenggut karena tak mendapat jawaban. "Lo hebat main buku tangkis, kenapa gak gabung dari awal aja, sih? Kenapa milih Club Buku?"
Ameeza menatap lurus pada Erga yang juga sedang duduk bersama anak-anak lainnya. Sejenak mata Ameeza terpejam. Ia ingin memberikan sugesti pada diri sendiri agar tak lagi dekat atau sekadar mengurusi Erga. Amarah yang ia luapkan kemarin membuatnya tersadar, pertandingan tadi sangat sengit, tidak lebih tepatnya pertandingan tadi sangat dingin. Semacam perang dingin.
Jika saja Ameeza bisa memilih lawannya, ia tidak mungkin juga bertanding dengan Erga. Namun, karena pertandingan tadi di pilihkan Ameeza tidak kuasa menolak meski ia bisa saja mengancam dengan kekuasaan milik ayahnya. Yah, siapa juga yang tidak tahu Ameeza adalah anak dari pemilik SMA Antares? Tentu saja semua orang tahu. Hanya saja Ameeza tak ingin menggunakan kekuasaan seperti itu. Lagi pula pertandingan tadi sebagai bentuk latihan saja karena Ameeza merupakan anggota baru di eskul bulu tangkis. Dan memang seharusnya Ameeza bertanding dengan perempuan lagi, tapi Arian—ketua eskul bulu tangkis laki-laki menentang keputusan itu. Yah, awalnya keputusan itu sudah fiks dan disetujui oleh mayoritas anak-anak eskul bulu tangkis. Namun, yah entah kenapa keputusan itu akhirnya diganti. Ameeza rasa Arian tidak senang dengan kehadirannya. Entah itu hanya perasaannya saja.
Arian berteriak di tengah lapangan menyuruh semuanya berkumpul. Alhasil semuanya berkumpul secara tertib. Entah kenapa Ameeza merasa anak-anak eskul bulu tangkis begitu patuh pada perintah Arian. Yah, memang sih Arian adalah ketua. Tapi, tetap saja Ameeza merasa janggal.
Begitu sudah berkumpul Arian mulai berbicara panjang yang membuat Ameeza bosan mendengarnya. Usai pembicaraan panjang itu, diadakan pembagian kelompok. Tentu saja untuk kali ini kelompoknya campur.
Di tepi lapangan Ameeza sibuk menonton pertandingan. Yah, dia kebagian kelompok paling akhir. Bahkan ia tidak mengenal siapapun dikelompoknya. Melva? Perempuan itu berbeda kelompok dengannya. Dan yang lebih sial adalah Ameeza harus satu kelompok dengan Erga dan Arian.
Bosan menonton pertandingan, Ameeza memilih menarik tasnya yang tak jauh darinya. Mengambil HP, lantas memainkannya untuk membunuh kebosanan yang melanda.
Belum sempat Ameeza menggulir layar HP-nya untuk berselancar di sosial media, HP-nya sudah lebih dulu direbut oleh laki-laki di sampingnya. Dia Arian. Ameeza tidak menoleh atau minta HP-nya untuk dikembalikan. Dia hanya melirik sinis lewat ekor matanya. Sembari sesekali mendumel kesal.
"Lain kali jangan main HP! Fokus!" peringat Arian sembari melemparkan HP Ameeza. Beruntungnya HP itu mendarat tepat di atas tas Ameeza yang kebetulan tidak keras karena ada mukena di dalamnya.
Ameeza tak menyahut.
Setelah lama menonton, akhirnya giliran kelompok Ameeza bertanding. Saat awalan memang kelompok Ameeza memimpin. Namun, menjelang akhir kelompoknya mulai kewalahan. Serangan smash bertubi-tubi terus saja menghantamnya, berusaha merobohkan pertahanannya. Hingga puncaknya ketika Ameeza dan Erga saling bertubrukan bahu dan menyebabkan keduanya jatuh. Tentu saja kok tadi tidak tertangkap. Dan alhasil kelompok Ameeza kalah.
Ameeza berdiri sedikit tertatih begitu pun Erga. Jika saja Ameeza tak berniat untuk menjauhi Erga, ia pasti sudah memaki laki-laki itu. Sayangnya hari ini ia tidak ingin membuat keributan lagi di depan banyak orang.
Sedangkan Erga tentu saja laki-laki itu acuh dengan kejadian beberapa menit lalu. Mengingat sifatnya yang diam dan tak banyak bicara, tentu kemungkinan kecil untuknya mempermasalahkan kejadian tadi, lagi pula kejadian itu tidak disengaja. Dan Erga rasa memang sepertinya Ameeza sedang berusaha menjaga jarak dengannya. Jadi, Erga pun mengikuti. Ia berusaha sebisa mungkin untuk tak banyak berinteraksi dengan Ameeza.
...-oOo-...
"Lo ceking amat, Ga. Kayak cuma tulang dibungkus kulit aja," ujar seorang laki-laki yang sibuk membereskan tasnya.
Ameeza yang hendak keluar dari lapangan bersama rombongan perempuan lainnya sejenak menengok ke belakang. Perbincangan itu memang agak samar. Namun, Ameeza masih bisa mendengarnya dengan jelas.
Jika saja Melva tidak menepuk pundaknya, mungkin Ameeza tidak akan tersadar bahwa rombongan mereka sudah keluar semuanya dan Ameeza sendirian di dekat pintu masih memandangi interaksi antara Erga dengan sekumpulan anak laki-laki lain. Walau Ameeza bisa melihat sepertinya mereka masih sibuk berbincang. Sayang karena mereka sudah menjauh menuju pintu keluar yang berada di ujung ruangan, Ameeza jadi tidak bisa mendengar jelas.
"Ayo! Lo liatin apaan?" tanya Melva sembari membenarkan letak tasnya.
Tangan Ameeza mendorong punggung Melva untuk cepat-cepat keluar. Sampai di luar ternyata ada Bella yang menunggu di luar. Dia tersenyum ke arah Ameeza dan Melva. "Hey! Lama amat, mau dikunci ini," kata Bella.
Melva mengangguk sopan. "Maaf, Kak."
Sedangkan Ameeza memilih cuek saja. Ia melangkahkan tungkainya menjauhi Melva yang sibuk berbincang dengan Bella
Mengingat tadi Ameeza begitu penasaran dengan perbincangan Erga dan teman-temannya itu. Tangan Ameeza mengusap kasar wajahnya. Menyesali tingkah spontannya.
Gue benci dia. Yah, gue harus ngejauh.
...-oOo-...
Pagi-pagi sekali Erga sudah berada di depan lokernya. Berharap ada surat yang lainnya dari orang itu. Orang yang mengaku dekat dengan ibunya. Senyum Erga terukir begitu mendapati sebuah kertas di lokernya. Namun, kali ini tidak dibungkus dengan amplop.
Bola mata Erga meredup ketika membaca bait pertama dari surat itu.
To : Erga
Keluarga berantakan, anaknya udah gak punya semangat hidup, udah kayak mayat hidup. Sadar diri dong kesialan keluarga itu disebabin karena adanya lo.
-E2-
Surat yang dipegang Erga jatuh. Tangannya mendadak lemas usai membaca surat itu. Keningnya mengkerut dalam. Matanya terpejam erat, tangannya menyisir rambut lantas setelahnya menarik rambut itu kuat.
Surat itu memang singkat. Namun, sangat tepat menusuk di dadanya. Sayatannya tidak terlihat namun mematikan. Ia paling lemah dan sedih jika sudah diingatkan dengan kondisi keluarganya yang berantakan.
Samar-samar ingatannya kembali memutar ulang kejadian hari perceraian kedua orangtuanya. Ketika resmi bercerai, selama beberapa jam setelahnya ibunya meninggal. Keadaan mental Erga saat itu masih belum baik, ditambah dengan mengetahui ibunya sudah tiada semakin membuatnya terpuruk.
Kepalanya dipaksa mengulik memori satu tahun ke belakang. Hari-hari dimana ayah dan ibunya bertengkar hebat, memecahkan barang-barang yang ada di rumah. Erga yang saat itu masih kelas 9 SMP hanya meringkuk, menyembunyikan wajahnya di antara lekukan lutut sembari punggungan yang menyender ke pintu kamar.
Erga hanya akan keluar kamar jika pertengkaran itu usai. Ketika tak ada lagi suara benda pecah dan teriakan yang memekakkan telinga. Air matanya meluruh saat keluar dari kamar dan mendapati ruang tempat orangtuanya bertengkar berantakan. Banyak pecahan vas bunga yang berceceran di lantai.
Perasaan Erga sebenarnya terguncang, namun ia berusaha mengelaknya. Memilih mendekati kamar ibunya. Meski kadang-kadang kakinya tak sengaja menginjak pecahan vas bunga hingga berdarah. Meskipun terluka Erga tak merasakan apapun. Ia seperti mati rasa, kepalanya pusing dan air matanya terus menerus membasahi pipi. Sempat terpikir dibenaknya, apakah pertengkaran kedua orang tuanya ini karenanya? Sebab orang tuanya ketika bertengkar selalu menyebut-nyebut nama Erga.
Dengan datangnya surat berisi kalimat-kalimat jahat itu tentu saja memberikan efek yang sangat dahsyat. Bahkan tubuh Erga tiba-tiba merosot ke bawah. Kakinya terasa lemas dengan mata terpejam erat, hingga tanpa sadar tetes bening mengalir melewati pipinya.
Satu hal yang terpikirkan dibenaknya sekarang.
Apakah aku memang penyebab semuanya? Apakah kejadian satu tahun lalu itu karenaku?
...-oOo-...