Bagaimana jika kamu yang seharusnya berada di ambang kematian justru terbangun di tubuh orang lain?
Hal itulah yang terjadi pada seorang gadis bernama Alisa Seraphina. Ia mengalami kecelakaan dan terbangun di tubuh gadis lain. Alisa menjalani sisa hidupnya sebagai seorang gadis bernama Renata Anelis Airlangga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Caca Lavender, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28
Serangkaian acara ospek diikuti oleh Rena dengan baik. Sebagian besar mahasiswa mengenalnya, karena nama ‘Renata Anelis’ memang sedang naik daun sekarang. Walaupun banyak yang ingin menjadi teman dekatnya, tapi Rena memutuskan untuk membatasi diri di kampus.
Rena sering menolak ajakan teman satu angkatan maupun kakak tingkat yang mengajaknya nongkrong. Hanya sesekali ia ikut nongkrong bersama teman-teman satu jurusan untuk menjaga relasi pertemanan.
Bukannya sombong atau apa, tapi ia memiliki rutinitas yang cukup padat. Pagi hingga sore ke kampus untuk mengikuti ospek. Pulangnya, ia akan melakukan bermacam-macam hal, mulai dari berlatih menyetir mobil, menulis lirik lagu baru, mengerjakan tugas ospek, atau bahkan hanya sekedar tidur.
Hari ini adalah hari terakhir ospek. Ia pulang agak telat karena harus ikut sesi foto bersama teman-teman dan kakak tingkat satu jurusan. Ngomong-ngomong, ada salah satu teman perempuan yang menawarkan untuk mengantarnya pulang karena mereka tinggal di gedung apartemen yang sama. Rena pun setuju, maka dari itu, ia menghubungi sang kekasih agar tidak datang menjemputnya.
Saat sesi foto sudah selesai dan Rena bersiap-siap untuk pulang, tiba-tiba ponselnya berbunyi tanda ada pesan masuk.
Ting!
Gadis itu segera membuka ponselnya.
...+62xx-xxxx-xxxx...
/Aku sudah menunggumu di luar. Di parkiran mobil.
/-Derryl
Rena mengernyitkan dahi membaca pesan teks itu. Derryl? Untuk apa laki-laki itu datang ke kampusnya?
Ting!
...+62xx-xxxx-xxxx...
/Cepatlah. Atau aku akan menghampirimu ke dalam gedung.
“Tck! Sialan! Apa-apaan si brengsek ini?!” kesal Rena.
Gadis itu hendak berlari keluar, tapi tangannya dicegah oleh seseorang.
“Mau kemana?” tanya teman yang ingin mengantarnya pulang tadi.
“Eh, aku masih ada urusan. Kamu pulang duluan saja, ya,” ucap Rena.
Setelah itu, ia pun segera berlari keluar sebelum Derryl benar-benar menghampirinya ke dalam gedung dan menimbulkan rumor.
...----------------...
Rena melangkahkan kakinya cepat menuju tempat parkir. Rahang gadis itu mengeras ketika melihat sosok laki-laki yang beberapa menit lalu mengganggunya sedang bersandar pada mobil sport sambil bersidekap dada.
“Apa maumu sebenarnya, hah?!” kesal Rena setelah berada di hadapan Derryl.
Laki-laki itu mengulas senyum santai, “hei, santai saja. Kenapa kamu marah-marah? Aku hanya ingin mengantarmu pulang.”
“Siapa yang ingin pulang bersamamu? Lebih baik aku jalan kaki daripada harus menumpang di mobilmu,” sinis Rena.
Derryl terkekeh pelan, “kamu ini seorang selebriti, mana bisa berjalan kaki sendirian di depan publik. Lagipula, ini sudah malam, pasti banyak orang jahat berkeliaran di jalanan.”
Rena menaikkan sudut bibirnya sambil menatap Derryl dengan sebelah alis terangkat.
“Kamu sepertinya sangat tahu tentang penjahat jalanan, ya?” sindir Rena.
Derryl terdiam sebentar, tapi tak lama kemudian, laki-laki itu kembali memasang wajah santai.
“Sebaiknya kamu tidak menolak ajakanku, Rena. Apa kamu lupa? Sebentar lagi, kita akan bertunangan,” ucap Derryl memperingatkan.
“Cih, dalam mimpimu,” gumam Rena, lalu beranjak dari hadapan Derryl.
Grep!
Langkah Rena terhenti saat Derryl menahan tangan kiri gadis itu. Rena bisa melihat wajah Derryl yang tadinya menunjukkan ekspresi santai, kini berubah menjadi wajah penuh kekesalan.
“Kenapa kamu jual mahal sekali?” geram Derryl, “aku akan melapor kepada papamu kalau kamu masih saja bertingkah keras kepala.”
Rena yang mendengar ancaman itu sontak merasa marah. Ia benar-benar tidak suka diancam dan diremehkan. Rena menghempas tangan Derryl hingga cekalan laki-laki itu pada tangannya terlepas.
“Kamu pikir ancamanmu akan membuatku takut? Cih, lebih baik kamu menyerah. Baik kamu, ayahmu, ataupun papaku, kalian semua tidak bisa mengaturku,” tegas Rena.
Setelah mengatakan itu, Rena langsung pergi dari hadapan Derryl. Sedangkan Derryl hanya diam sambil menatap kepergian Rena dengan penuh amarah.
“Lihat saja, Rena. Kamu akan segera takluk padaku,” gumam Derryl.
...----------------...
Rena melangkahkan kakinya dengan gusar memasuki unit apartemen miliknya. Wajah gadis itu tampak suram karena kejadian di tempat parkir kampusnya tadi.
Bruk!
“Sialan!!”
Gadis itu melempar tasnya dengan keras di atas ranjang kamarnya, lalu berteriak kesal.
“Berani-beraninya si brengsek itu meremehkanku,” geram Rena, “apa? Melaporkanku pada papa? Cih, dia sangat bodoh.”
Drrt… drrt…
Rena mengambil ponselnya yang berdering dari saku rok hitamnya.
‘Kak Leo’ is calling…
Gadis itu segera menetralkan emosinya, lalu menggeser ikon hijau untuk menjawab panggilan dari sang kakak.
“Halo, Kak Leo. Ada apa?” tanya Rena segera setelah panggilan itu tersambung.
“Halo, Rena. Besok kamu ulang tahun, kan?” suara Leo terdengar dari seberang telepon.
Rena mengernyitkan dahinya, lalu menjauhkan ponsel sebentar untuk mengecek tanggal hari ini.
“Oh, benar, besok tanggal 5 Agustus,” ucap Rena sambil kembali mendekatkan ponselnya ke telinga.
“Besok pulanglah ke rumah utama. Kita sekeluarga akan merayakan ulang tahunmu bersama-sama,” kata Leo.
“Cih, kalian mau merayakan ulang tahunku setelah apa yang papa lakukan padaku beberapa waktu lalu?” decih Rena.
“Kakak minta maaf atas tindakan papa, Rena. Tapi tolong, pulanglah besok. Mama dan Flo sangat berharap bisa merayakan ulang tahunmu bersama,” pinta Leo.
Rena menghela nafas panjang mendengar ucapan memohon Leo.
“Tck! Iya iya, aku akan pulang,” jawab Rena dengan nada malas.
“Benarkah? Kalau begitu, kakak akan menjemputmu besok,” ucap Leo senang.
“Eh, tidak usah, Kak!” sahut Rena, “jangan menjemputku. Aku bisa pergi sendiri.”
“Baiklah. Kalau begitu, kami tunggu kedatanganmu, adik kecil.”
Rena tertawa kecil mendengar suara riang kakak pertamanya itu. Kemudian, telepon itu pun berakhir.
“Kalau mau merayakan ulang tahunku, seharusnya mereka yang datang ke tempatku. Kenapa malah jadi aku yang diundang ke pesta ulang tahunku sendiri?” gumam Rena sambil menggeleng-gelengkan kepala.
...----------------...