Dunia tak bisa di tebak. Tidak ada yang tau isi alam semesta.
Layak kehidupan unik seorang gadis. Dia hanyalah insan biasa, dengan ekonomi di bawah standar, dan wajah yg manis.
Kendati suatu hari, kehidupan gadis itu mendadak berubah. Ketika dia menghirup udara di alam lain, dan masuk ke dunia yang tidak pernah terbayangkan.
Detik-detik nafasnya mendadak berbeda, menjalani kehidupan aneh, dalam jiwa yang tak pernah terbayangkan.
Celaka, di tengah hiruk pikuk rasa bingung, benih-benih cinta muncul pada kehadiran insan lain. Yakni pemeran utama dari kisah dalam novel.
Gadis itu bergelimpangan kebingungan, atas rasa suka yang tidak seharusnya. Memunculkan tindakan-tindakan yang meruncing seperti tokoh antagonis dalam novel.
Di tengah kekacauan, kebenaran lain ikut mencuak ke atas kenyataan. Yang merubah drastis nasib hidup sang gadis, dan nasib cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon M.L.I, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pernahkan pakaian baru dianggap rusak hanya karena sebuah kancing? [1]
✨AGAR MEMUDAHKAN MEMAHAMI ALUR, BACA
SETIAP TANGGAL, HARI, DAN WAKTU DENGAN
BAIK
✨PAHAMI POTONGAN-POTONGAN CERITA
✨BERTYPE ALUR CAMPURAN (MAJU DAN
MUNDUR)
^^^Sabtu, 30 September 2023 (11.55)^^^
Matahari semakin terik, perlahan naik ke titik tengah. Menunjukan jika waktu juga telah muncul siang. Emosi keduanya masih tertahan, sibuk duduk dan berkutat dengan pikiran masing-masing.
Mereka duduk di taman depan rumah sakit, saling berhadapan untuk menunggu supir Iefan datang dan menjemput. Awalnya Natha juga berniat pulang sendiri menggunakan bus, tapi Iefan yang sudah membaca niatan gadis itu menahan.
Dia menyuruh Natha untuk tetap pulang bersamanya, juga emosi agar Natha tidak terus menolak seperti sebelumnya, jadi gadis itu yang tidak enak hati dan turut merasa bersalah memilih untuk menurut kepada Iefan kali ini.
Mereka mendudukkan tubuh di kursi taman Rumah Sakit, dalam keadaan saling marah dan bungkam. Tak ada yang mau buka omongan setelah perdebatan tadi.
Iefan masih kalut memikirkan beberapa tingkah laku Natha terakhir yang terus aneh dan berubah. Dia marah karena Natha bahkan menyembunyikan banyak hal dari dirinya. Sekilas juga memikirkan bagaimana kondisi Olivia setelah melihat kejadian sore sabtu tengah lapangan kemarin.
Gadis yang polos dan lemah lembut tersebut pasti terluka, tapi sedikit Iefan bingung sejak kapan Natha menyukai Aslan. Jika memang hal itu benar, kenapa Natha tidak pernah mengatakannya kepada dia, bukankah gadis itu juga telah mendengar ungkapan Aslan di ambang pintu kelas atas perasaan laki-laki itu terhadap Olivia.
Apakah Natha sekarang hendak menjadi teman yang menusuk dari belakang, seperti apa yang selalu di katakan serta di curigai para gadis di sekolah.
Tapi ada hal yang tetap pasti dari semua kebingungan itu, yakni Natha yang memang menyembunyikan hal tersebut dari Iefan, sehingga sering kali menjadikan Iefan geram untuk bertanya langsung saat ini.
Tapi dia tahan dan memilih diam, berfikir mungkin Natha akan mengatakannya sendiri kelak. Sementara berbeda jauh dengan gadis yang duduk di hadapan Iefan, gadis itu bungkam dan larut dalam pikiran otaknya, mencoba mencerna suatu hal dengan saraf-saraf yang menjalar di benak.
Ada hal yang tidak seharusnya terjadi malah terjadi, hal yang bukan menjadi kuasa Natha malah menjadi tindakan dia, hal yang tidak seharunya Natha ungkapkan, malah dia katakan.
Udara panas terus naik di dalam hanyutan pikiran keduanya, larut dengan hembusan angin yang menerpa beberapa bunga dan dedaunan di sekitaran taman. Beberapa orang juga mulai kembali ke dalam gedung setelah berlalu lalang untuk menikmati udara sejenak di pagi hari.
Sudah hampir satu jam lebih mereka menunggu, tetapi sopir Iefan tak kunjung datang. Sekilas Natha melihat tampilan panggilan di handphone Iefan yang berdering, tapi tidak kunjung di angkat oleh sopirnya, padahal laki-laki itu sudah berulang kali mencoba menghubungi.
Menjelaskan jika penantian mereka sekarang rancu dan tidak pasti. Natha bangun dan mendekat ke kursi Iefan di depan tiba-tiba. Ada sekantong kresek putih berisikan sekumpulan obat di sudut kocek tengah hoodie laki-laki tersebut.
Iefan ternyata tetap bersikeras membeli obat tanpa persetujuan Natha, menganggap jika memang tongkat tidak diperlukan, maka setidaknya obat ini masih penting dan pasti digunakan.
Makanya dia hendak berinisiatif untuk membeli diam-diam, sengaja agar nanti ketika sudah sampai di rumah Natha baru di berikan atau selipkan di tempat manapun yang tidak akan bisa di tolak lagi oleh gadis itu.
Iefan mendongak dan memandang heran wajah Natha di hadapan, dia menatap dengan penuh tanda tanya, tapi sekilas ketika melirik arah gerakan bola mata Natha laki-laki itu cepat paham.
Natha tengah melirik obat di kocek tengah hoodie yang dia kenakan. Jadi Iefan bergegas menyembunyikan ke dalam agar tidak diketahui oleh Natha, berfikir jika Natha tahu kantong ini adalah obat, gadis itu pasti akan marah.
Tapi Natha tidak sebodoh itu untuk di kelabui, dia sudah tahu dari sebelumnya kalau Iefan tetap membeli obat yang Natha larang tadi. Di luar dugaan, Natha justru mengulurkan tangannya di depan wajah Iefan. Seolah sedang meminta obat yang laki-laki itu sembunyikan.
Menunjukan jika dia memang sudah tau obat yang Iefan selubung. Dengan terpaksa Iefan mengeluarkan obat yang tenggelam dalam kocek tengah Hoodienya, wajah laki-laki itu cemberut, dia kesal dan pasrah ketika menyerah obat yang dibelinya atas telapak tangan Natha. Pikirnya mungkin sekarang Natha akan langsung membuang obat tersebut dengan marah.
“ Gue mau pulang pakai bus. Lu kalau mau ikut terserah, kalau ngga juga terserah. “ Natha berbicara dengan nada acuh.
Dia langsung memasukan kantong berisi obat tersebut ke dalam saku celana, rupanya masih memiliki lembaran uang guna membayar biaya bus untuk pulang sekarang.
Mengingat gadis itu sebelumnya memang sudah berencana untuk pergi ke suatu tempat, sebelum Iefan yang tiba-tiba datang dan memaksa Natha pergi ke rumah sakit bersamanya.
Iefan tersenyum kecil melirik Natha yang rupanya tidak membuang obat yang dia beli. Bergegas laki-laki itu menyusul Natha, dia akan mengikuti kemauan gadis itu sekarang, mengingat sopir pribadinya juga tidak kunjung datang dan tak bisa dihubungi.
Ricuh jalanan memenuhi setiap langkah kedua insan itu saat ini. Banyak orang yang berlalu lalang, beragam jenis umur dan status social. Ada yang berjualan di tepian jalan, mengamen, berkendara dan saling memberi klakson karena macet, juga beberapa manusia lain dengan aktivitas jalan kaki mereka.
Giliran Iefan yang memandangi sekitaran lingkungan itu, rautnya heran dan panik. Walau diam, tetapi masih terlihat jika pria itu tidak terbiasa hidup di keadaan menengah ke bawah seperti ini.
Iefan selalu berpergian dengan mobil mewahnya, jadi tidak merasakan panas, atau padatnya manusia-manusia lain dengan kesibukan mereka di jalanan layaknya sekarang. Natha diam memerhatikan tingkah lelaki itu, sedikit merasa kasian.
Tapi mereka tidak punya pilihan lain selain pulang menggunakan bus. Sopir Iefan juga tidak memiliki kabar, mau sampai berapa jam lagi mereka harus menunggu.
Natha tidak tahan harus menunggu di sana, pikir dia setidaknya akan lebih baik jika lelaki itu menunggu di rumahnya. Tidak akan kepanasan atau termenung seperti tadi.
Dari kejauhan Natha melihat keberadaan halte di sebrang jalan. Tapi mereka perlu menyebrang untuk sampai, jadi Natha menarik ujung lengan baju Iefan untuk mengikutinya. Beruntung ada lintasan penyebrangan di dekat sana, meraka tidak perlu jauh-jauh mencari penyebrangan lagi.
Iefan dan Natha sudah berdiri di depan garis lurus zebra cross. Tersusun di antara kumpulan manusia lain yang hendak menyebrang juga.
Anak mata Natha fokus menunggu lampu di depan berubah hijau, mengatup kecil karena silau cahaya mentari yang memaksa masuk, dia harus mendongak untuk melihat tiang lampu lalu lintas itu berubah warna.
Natha tidak terlalu memerhatikan keberadaan Iefan dibelakang, lelaki itu jauh tinggi dari tubuhnya. Pasti akan nampak juga jika lampu di depan menjadi hijau.
Sementara yang sebenarnya terjadi adalah keadaan dingin dan tegang di wajah Iefan kala itu. Kedua tangannya menggenggam erat, keringat bercucuran di sekitaran pelipis laki-laki tersebut, dia berdiri di belakang Natha sambil menatap lurus ke arah garis putih hitam di jajaran depan. Wajahnya pucat memandangi, sekilas ingatan tentang seseorang di sana bermunculan di kepala Iefan.
^^^Senin, 01 Mei 2013 (21.19)^^^
Desiran angin meniup tirai lemah di sekitaran bibir jendela sebuah rumah. Menggerakkan telinga lobang persegi panjang tersebut, sampai terdengar berbentur dengan tembok di sekitar.
Udara dan pepohonan di samping rumah beriak-riak, daunnya berhambur gugur ke permukaan tanah serta pekarangan. Hari tidak hujan, tapi langit-langit terlihat gelap. Mengulai suram dalam gejolak malam yang begitu panjang.
Sama halnya dengan suara isak tangis yang memenuhi sudut kamar seorang anak perempuan. Dia duduk memeluk lutut, tenggelam dalam kegelapan kamar tidak berlampu. Kepalanya menyusup masuk ke sea-sela lutut.
Menyisakan secarcah cahaya dari luar pintu yang terbuka setengah. Ada tangan yang bergetar hebat menahan rasa takut. Melingkar membungkam isak tangis yang di tenggelamkan gelapnya hawa malam yang dingin.
“ Ngga bisa! Kamu ngga bisa ninggalin aku begitu aja! Kita udah berumah tangga hampir 20 tahun, tapi kamu malah bisa-bisanya tergiur dengan kemolekan seorang gadis jalang! “ Perempuan berumur, teriak marah di tengah sunyinya rumah.
Memenuhi setiap sudut dan tempat yang ada, tidak luput di dentumkan oleh gelombang amarah yang memuncak.
“ Bukan salah aku! “ Seorang laki-laki paru baya menjawab. Dia tidak mau kalah adu mulut. “ Kamu yang terlalu sibuk dengan kehidupan kamu dan anak-anak. Kamu ngga mikirin aku! “
“ Apa kamu bilang? Ngga mikiran kamu? Laki-laki sialan! “ Suara barang-barang pecah terdengar di hamparan ruangan luar, menyecerkan beling-beling kaca yang bertebar di sekitaran lantai.
“ Aku udah mati-matian buka usaha supaya kamu dan anak-anak bisa hidup enak, aku juga ikut berjuang demi kamu. Tapi sekarang kamu malah bilangin kalau aku ngga mikirin kamu?! “
“ Oh jadi kamu ngga terima kalau kamu juga ikut kerja. Kamu ngga terima kalau kita buka bisnis ini sama-sama? Iya gitu!? “ Keduanya terus berdebat.
Saling tidak terima dengan unek-unek yang di simpan. Dan barulah di malam ini tumpah keluar, penuh emosi dan kepala panas.
Terdengar suara hembusan wanita yang frustasi dan lelah membalas, tetesan cairan bening ikut jatuh, menetes satu persatu di sekitaran lantai yang berantakan di hambur oleh perabotan dan barang-barang pecah.
“ Kamu liat! Semua bisnis kita itu berhasil gara-gara aku…! “ Wanita itu kesal, menunjuk dirinya sendiri dengan penuh penekanan. Dia sudah tidak mampu lagi menghadapi.
“ Aku yang menghandle semuanya. Aku yang cari cara, aku juga yang ngatur gimana supaya agar bisnis kita ini bisa maju. Sementara kamu cuma sebagai kaki tangan aku. Aku yang kerja! Bukannya kamu! “ Dia sangat kesal dan frustasi.
Tidak terpikirkan lagi kata-kata apa yang pantas untuk di keluarkan saat ini. Bertutur kesal sambil menangis penuh kecewa.
Laki-laki yang berada dihadapan wanita tersebut ikut emosi, dia begitu gusar dan tidak sanggup untuk terus berdebat. Bergerak ke sana kemari mencoba menahan amarah. Tangan laki-laki itu naik turun memijit kening.
Melihat hal tersebut wanita itu terdiam sejenak, ada tetesan terakhir di matanya yang tumpah atas lantai. Tampak nafasnya menarik panjang sebelum lanjut berbicara.
Seolah ingin mengatakan suatu hal yang begitu berat dan hanya menjadi pilihan satu-satunya saat ini. “ Udah… “ Wanita itu berbicara pelan, sukmanya sudah tidak mampu berteriak lagi. “ Kalau kamu emang udah ngga sanggup lagi buat sama-sama aku. Lebih baik kita pisah aja. “
“ Memang! “ Laki-laki berumur di depan membalas penuh amarah. “ Aku datang ke sini cuma buat ngambil barang-barang aku,. Dan aku juga jelasin ke kamu kalau kita malam juga kita pisah!! “
Dubrakkk!!!!
Suara pintu kamar anak perempuan itu menghantam, terbuka lebar mengangakan isinya, ada seorang anak laki-laki berusia 12 tahun di tengah-tengah ambang jalur keluar masuk. Terlihat sangat khawatir mencari keberadaan adiknya.
Anak laki-laki itu segera masuk dan menghampari anak perempuan yang berusia 3 tahun lebih muda darinya, setelah menemukan penampakan anak tersebut di dekat kaki bawah kasur, dan memojokkan dirinya dengan kurungan tangan dan lutut.
Beruntung tubuh anak perempuan yang dicari masih terlihat di cercah cahaya redup lampu luar, jadi anak laki-laki yang datang cepat menemukan serta menghampiri untuk memeluk erat sang adik.
“ Ngga papa Fanie, ngga papa. Abang ada di sini. It’s okey. Tenang… “ Anak laki-laki yang ternyata adalah Iefan kecil mendekap, dia mengelus lembut rambut adiknya agar tenang.
Ada wajah khawatir di raut anak laki-laki itu. Sementara Fanie, adik perempuan satu-satunya dari Iefan sudah memecahkan tangisan di pelukan sang kakak.
“ Aku takut bang… “ Suara Fanie kecil bergetar, dia tersedu-sedu ketakutan, sangat terpukul menerima perkelahian di antara kedua orang tuanya hamparan luar.
“ Tenang Fanie… Abang ada di sini. Abang udah datang, kamu jangan takut, ya… “
...Dibalik malam itu,...
...Ada sosok orang tua yang telah menjadi pembunuh batin bagi anaknya sendiri ....
^^^Minggu, 28 Mei 2013 (08.13)^^^
“ Fanie…! Kau di mana… “ Iefan tersenyum lebar mencari adiknya di sekitaran rumah. Mereka tengah bermain petak umpet.
Sampai keberadaan adik semata wayangnya itu, kala terlihat di teras rumah membuat Iefan bersemangat datang dan menyergap. Dia bermaksud untuk menangkap keberadaan adiknya di sana. Tapi penampakan sebuah lembaran kerta di tangan Fanie, membuat Iefan kaget dan cepat merebut.
“ Ayah akan menikah? “ Fanie kecil bertanya dengan tatapan polos.
Dia tidak akan terlalu mengerti membaca undangan itu, tapi masih cukup untuk mengenali foto sang ayah, dia tampilan gambar undangan, serta masih bisa membedakan antara undangan ulang tahun ataupun pesta pernikahan.
Iefan yang melihat cepat merobek lembaran berhias tersebut, dia menyembunyikan potongan situ sisanya di belakang punggung.
“ Ngga! Kamu salah baca, itu nama om kita. “ Berusaha anak laki-laki itu menebar senyum. Mencoba berbohong dari adik kecilnya yang polos.
“ Itu foto ayah bang… “ Fanie menatapi wajah Iefan serius.
Perlahan senyuman di raut Iefan menghilang. Di menatapi wajah adiknya dengan diam.
Malam itu ibu duduk di tepian kolam renang, terlihat tengah merokok dan termenung. Ada beberapa buliran air di tatapan kosong wanita itu. Hingga Iefan datang dan menyadari kesedihan yang ibunya alami.
Setelah malam pertengkaran itu ibu Iefan masih berharap ayah mereka akan kembali. Pulang kerumah dan memulai kembali kehidupan baru. Hati wanita itu masih besar walau sempat menerima kenyataan bahwa suaminya telah berselingkuh.
Dia masih bisa memaafkan suaminya dan melupakan kejadian kemarin jika laki-laki itu mau pulang. Tapi siapa sangka harapan ibunya hanya sebuah angan-angan, ayah mereka malah mengirimkan surat undangan pagi tadi.
Menjadikan sekarang keadaan ibunya yang kacau balau. Jiwanya terasa sangat remuk setelah semua imajinasi belaka yang dia harapkan, mereka telah membina rumah tangan selama bertahun-tahun, rela ibu Iefan mencoba membuka bisnis demi membantu perekonomian keluarga, karena kala itu ayah Iefan yang bekerja di sebuah perusahaan tiba-tiba di berhentikan secara sepihak.
Alhasil laki-laki berumur itu hanya bisa mencari pekerjaan lain yang serabutan, tapi tidak terlalu cukup untuk menafkahi dua anaknya yang telah lahir. Tapi dengan bisnis yang ibu Iefan lakukan barulah mereka bisa hidup lebih baik, bergelimpangan harta seperti yang di dapatkan sekarang.
Di sela wanita itu juga membuka warung depan rumah, sebenarnya hanya untuk menjadi pekerjaan di kala senggang, sambil menjalankan bisnis yang utama.
Siapa sangka setelah perolehan itu laki-laki yang sangat di cintainya malah berkhianat, ibu Iefan tidak sengaja menangkap basah suaminya bersama wanita panggilan di kamar hotel, yang memang sebenarnya sudah di curigai sejak lama.
Jadi ibu Iefan hanya mencoba memastikan dengan mata kepalanya sendiri di malam penangkapan tersebut, yang rupanya sungguh mengecewakan hati. Dia tidak berharap jika perselingkuhan suaminya itu akan benar-benar terjadi, tapi kini seolah telah memberikan kenyataan pahit.
“ Ibu. “ Iefan bersuara pelan mendekat ke ibunya dari belakang.
Wanita paru baya yang semula melamun terperanjat sadar, dia cepat mematikan dan menyembunyikan rokok yang dihisapnya dari anak laki-laki yang datang.
Tapi asap dan bau rokok di sana tidak bisa cepat di sembunyikan, tetap saja Iefan tahu ibunya sedang merokok menahan kesedihan kala itu. Perlahan tangan kecil Iefan tiba-tiba naik menyeka kedua belah pipi ibunya, membuat sang ibu terdiam dan terkejut.
“ Aku akan menjadi pria yang akan melindungi ibu dan Fanie. Ibu jangan takut dan sedih. You should to promise me. “
Senyum ibu merekah mendengar anak laki-laki sulungnya berbicara. Tidak menyangka anak berusia 12 tahun itu akan begitu dewasa, padahal seharusnya dia sudah tau bagaimana kejahatan yang ayahnya lakukan.
Iefan memang marah pada ayahnya, hati anak mana yang tidak terluka dan menangis melihat orang tua mereka berpisah. Tapi anak laki-laki itu begitu dewasa dalam menanggapi, setelah kejadian perkelahian di malam itu Iefan tetap terlihat biasa saja, dia yang banyak mengibur Fanie dan mencoba membuat adiknya lupa.
Tertawa dengan topeng yang menutupi kesedihan, seolah dia yang paling tegar di antar ketiganya. Kesedihan di kedua anak dan ibu itu sempat menjadi hangat, mereka memeluk satu sama lain, sampai asisten rumah tangga mereka tiba-tiba bersuara dari belakang.
“ Bu! Dek Fanie, ngga ada di kamarnya! “
Seketika Iefan dan ibunya kaget, mereka saling menatap panik dan khawatir, di tengah malam pukul 23.23, Iefan bersama ibu dan beberapa asisten yang ada di rumah pergi mencari Fanie kecil di sekitaran yang mereka bisa.
Anak itu tidak akan mungkin pergi jauh, mengingat dia tidak tahu cara berkendara atau mempunyai uang untuk berpergian. Jadi palingan hanya bisa berjalan kaki ke tempat-tempat lain. Ibu Iefan juga sempat mencoba menghubungi ayah mereka untuk menanyakan kabar Fanie, takut jika gadis itu pergi ke kediaman mereka.
Tapi ayahnya mengatakan jika tidak ada anak perempuan yang datang ke rumah mereka. Ibu dan Iefan semakin khawatir setelah mendapat jawaban tersebut, beberapa asisten dan tetangga mereka ikut mencari. Namun tak kunjung menemukan keberadaan Fanie.
Iefan akhirnya teringat akan kebiasaan Fanie, yang suka duduk di taman sekitaran tepi jalan dekat rumah mereka. Anak itu suka memandangi lampu di jalan berubah-ubah dari merah, kuning, dan ke hijau.
Dia juga terus bertanya-tanya mengapa hanya tiga warna itu yang di pilih, mengapa tidak warna-warna lainnya yang lebih menarik. Antusias terhadap fenomena-fenomena kehidupan di dunia.
Dihari biasanya Iefan suka menemani Fanie duduk di sana, juga membawa dia sambil berpegangan tangan untuk menyebrangi bolak-balik. Memang tidak banyak kendaraan yang lalu lintas di jalan itu, mungkin hanya sesekali mobil atau truk yang berpergian keluar kota.
Bergegas Iefan lari sendiri ke daerah sana, beberapa orang yang ikut mencari menjadi kaget. Akhirnya memutuskan untuk menyusul kepergian Iefan.
Benar saja sosok Fanie yang di cari, rupanya tengah menunggu depan zebra cross di seberang, membuat Iefan akhirnya lega, dia cukup tenang karena akhirnya menemukan keberadaan raga adiknya.
Ada beberapa kendaraan yang berlalu lalang, lampu di atas juga masih berwarna merah bagi pejalan kaki, makanya Fanie masih menunggu di seberang untuk menyebrang lagi. Fanie tersenyum sumeringah usai melihat keberadaan abangnya dari kejauhan.
Dia melambai-lambai dengan gembira. Terlihat polos padahal tidak tahu seberapa panik orang-orang di sekitaran yang mencarinya. Perlahan bibir Iefan menaik untuk membalas senyum, di hati terdalamnya masih kacau, tapi kembali mencoba terlihat tegar depan sang adik seperti biasa, mengunakan topeng yang seolah tidak terjadi apa-apa.
Tidak bisa membuat adik perempuannya itu ikut sedih atau bingung, jika Iefan tidak membalas senyuman itu saat ini. Dia tahu adiknya begitu peka, gadis kecil itu yang bahkan lebih dahulu menyadari keanehan pada ayah mereka sendiri, ketika belum ketahuan selingkuh.
Orang rumah belum menyadari perlakuan bejat ayah, bahkan termasuk Iefan dan ibunya, yang kemudian barulah Iefan ketahui saat sang adik menceritakan tentang kejanggalan menurut pandangan anak perempuan tersebut.
Begitu juga ibu Iefan, yang baru tahu sendiri setelah menemukan kejanggalan besar, terlebih beberapa asisten rumah tangga juga menemukan pakaian ayah yang tertempel banyak lipstick.
Sempat Iefan tidak percaya dengan perkataan anak kecil seperti Fanie, dia pikir adiknya terlalu banyak berkhayal, tapi setelah melihat dan sempat mencari tahu sendiri, barulah Iefan tahu jika ayahnya memang benar telah melakukan hal hina itu, juga ikut sadar betapa pekanya Fanie, adik perempuannya.
“ Abang!! “ Fanie berteriak dari seberang. Dia membentuk kerucut dengan telapak tangan untuk memperbesar suaranya.
Iefan mendengar dari sisi sebaliknya, walaupun sedikit samar. Tapi dia masih melihat gerakan bibir anak perempuan itu dengan seksama. “ Apa?! “
Iefan membalas berteriak. Lampu belum berubah hijau, jadi dia hanya bisa menunggu dan membalas perkataan adiknya dari trotoar yang berseberangan.
“ Kau akan marah jika aku melakukan suatu hal yang tidak baik?! “ Fanie terlihat sedikit takut untuk bertanya dalam teriakannya. Alis gadis itu menyatu sejenak.
Iefan sedikit bingung ketika Fanie bertanya, keningnya mengkerut dengan heran untuk mencerna. Masih berfikir jernih dengan perkataan yang adiknya keluarkan. “ Kau mau melakukan apa?! “
Tiba-tiba Fanie terdiam ketika abangnya membalas. Anak itu menatap Iefan beberapa waktu, lalu tersenyum manis membalas. “ Maaf, ini untuk ibu dan ayah. “ Fanie berbicara tanpa berteriak lagi. Hanya mulutnya yang bergerak di selingi senyuman gigi. Tertawa ria dengan gejolak mata yang telah bergenang.
Tidak terdengar di telinga Iefan. Tapi samar-samar dari gerakan bibir anak itu Iefan sedikit mengerti. Dia tidak memahami maksud Fanie semula, hingga keberadaan anak perempuan itu yang sudah berjalan ke tengah zebra cross.
Setelah sebuah mobil yang melintas di sela menghalangi pandang Iefan semula akhirnya usai, membeludakkan bola penglihatan Iefan setelahnya.
Ada senyuman yang terus mengitari di bibir munggil Fanie ketika menatapi Iefan dari tempanya berada. Anak laki-laki itu tidak menyangka jika Fanie telah berjalan ke tengah jalan, padahal lampu masih berwarna kemerahan bagi pejalan kaki.
“ Faniee!!!!! “
Titttttt!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! Gubrak!
Ibu yang baru datang terduduk lemas, nafasnya tercekat, bahkan wanita itu tidak bisa lagi berkata-kata. Beberapa orang-orang di sana berteriak, mereka histeris dan menangis. Berlarian menghampiri raga Fanie yang sudah bersimbah darah di jalan.
Iefan terdiam membeku, pandangannya datar, matanya memerah dengan cairan yang mengenang, terasa semua suara berdengung menghantam telinga Iefan.
Langkah anak laki-laki itu untuk berlari menyusul Fanie sebelumnya terhenti, tangannya yang menggantung hampa di depan jatuh. Anak laki-laki itu terdiam dengan genggaman erat di kedua telapaknya. Berakhir dengan satu hembusan dari hidung Iefan.
“ Fanie… “
...~Bersambung~...
✨MOHON SARAN DAN KOMENNYA YA
✨SATU MASUKAN DARI KAMU ADALAH SEJUTA
ILMU BAGI AKU