Mencari nafkah di kota Kabupaten dengan mengandalkan selembar ijazah SMA ternyata tidak semudah dibayangkan. Mumu, seorang pemuda yang datang dari kampung memberanikan diri merantau ke kota. Bukan pekerjaan yang ia dapatkan, tapi hinaan dan caci maki yang ia peroleh. Suka duka Mumu jalani demi sesuap nasi. Hingga sebuah 'kebetulan' yang akhirnya memutarbalikkan nasibnya yang penuh dengan cobaan. Apakah akhirnya Mumu akan membalas atas semua hinaan yang ia terima selama ini atau ia tetap menjadi pemuda yang rendah hati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2.
Malam yang kelam. Angin bertiup kencang. Tak lama kemudian hujan rintik-rintik mulai turun. Dingin!
Mumu meringkuk di sudut beranda masjid. Perutnya perih. Lapar ditambah cuaca dingin rasanya sangat menyiksa.
Sudah seminggu Mumu berada di kota Selatpanjang. Uangnya sudah habis tak tersisa.
Dari kemaren Mumu hanya bisa mengisi perutnya dengan air kran masjid.
Ternyata untuk bisa kerja kantoran dengan berbekal ijazah SMA hanya angan-angan kosong belaka.
Semua kantor di sepanjang area perkantoran sudah Mumu datangi. Tak ada satu pun yang menerimanya.
Sikap mereka bermacam-macam. Walaupun ditolak tapi tak semua sikap mereka kasar.
Walaupun sikap mereka tetap dingin karena ia orang kampung yang tak punya relasi, tapi paling tidak ia tidak diusir dengan cara kasar.
Mumu sudah menyerah untuk melamar kerja di kantor.
Besok rencananya ia akan melamar kerja di Toko-toko atau di kedai kopi.
Mau pulang kampung, malu!
Sebenarnya Mumu sudah mencoba juga melamar kerja di tempat-tempat foto kopy dan swalayan. Memang ada lowongan, tapi mereka mencari orang yang sudah berpengalaman. Sedangkan Mumu tidak ada pengalaman sama sekali.
Memang nasib belum menyebelahinya.
...****************...
Di sebuah kost yang termasuk dalam kawasan elit daerah Panam, Pekanbaru. Seorang gadis sedang sesunggukan sambil memeluk bantal. Jika dilihat tisu yang berserakan di kasur, nyata benar bahwa gadis tersebut sudah lama sekali menangis.
Tapi air matanya tak kunjung reda. Berat sungguh masalah yang diderita.
Gadis itu bernama Mirna Safitri, mahasiswi kedokteran semester satu.
Mirna gadis yang manis. Kulitnya putih. Wajahnya ayu. Siapapun yang memandangnya pasti akan merasa nyaman.
Mirna gadis yang cerdas. Oleh sebab itulah orang tuanya menguliahkannya mengambil ilmu kedokteran. Jika sudah selesai akan langsung mengambil spesialis.
Tapi harapan tinggal harapan. Rencana tidak sesuai kenyataan.
Orang yang cerdas selalu penasaran!
Orang yang cerdas ingin menaklukkan tantangan!
Orang yang cerdas ingin membuktikan kecerdasannya agar diakui.
Memang tak salah ungkapan tersebut.
Hal ini bermula dengan tantangan teman-teman seangkatannya, bahwa barang siapa yang bisa menjinakkan sang play boy kampus, maka dia akan didaulat sebagai orang tercerdas seangkatannya.
Tantangan yang konyol sebenarnya!
Tapi itulah sifat manusia, ingin membuktikan kediriannya. Ingin diakui.
Andika pemuda yang tampan. Kaya. Badannya atletis seperti binaragawan.
Karena ketampanan dan kekayaannya sudah banyak anak-anak gadis yang takluk dengannya. Jika sudah bosan, Andika tak segan-segan membuangnya dan berganti dengan yang baru.
Pada awalnya sudah nampak keberhasilan Mirna. Semenjak dekat dengan Mirna, Andika mendadak jadi pemuda yang baik. Penurut. Hal ini membuat Mirna menjadi jumawa.
Akhirnya kebanggaan akan kesuksesan kecil itu telah menutupi otaknya yang biasanya cerdas.
Ini ibaratkan bermain catur, Mirna menggunakan strategi untuk memang. Ternyata Andika juga menggunakan strategi mengalah dan penurut untuk mengelabui Mirna.
Akhirnya Andika memang strategi dan Mirna akhirnya menderita. Terpaksa menelan pil pahit atas kegagalannya. Hingga kini dia hamil tiga bulan.
...****************...
Setelah sarapan dengan minum air kran masjid, Mumu menyeret langkahnya menyusuri sepanjang jalan Banglas ke arah utara.
Jam 07.30 wib.
Kendaraan berseliweran sepanjang jalan. Ini adalah waktu orang-orang berangkat ke kantor.
Dengan menggunakan seragam, wajahnya masih segar, alangkah nyamannya hidup mereka fikir Mumu.
Mumu terus berjalan hingga perempatan Banglas-Kartini, Mumu kepingin belok ke kanan memasuki jalan Pembangunan.
Sebelah kiri jalan ternyata orang berjualan kue.
Mumu menelan air liur melihat kue yang beraneka ragam. Perutnya kembali meronta.
Mumu mencoba bertahan sambil melanjutkan langkahnya. Belum jauh ia melangkah, Mumu melihat hotel yang ada papan plang dengan tulisan 'Dijual'.
Di sampingnya ada kantor. Mumu bergegas ke kantor tersebut yang ternyata adalah kantor Perpustakaan dan Arsip.
Tak ada penjaga di pintu masuk, sehingga Mumu memberanikan diri langsung masuk ke ruangan.
"Mau minjam buku, Dik?" Sapa seorang wanita yang duduk di depan meja.
"Tidak, Buk! Saya hanya ingin bertanya, apakah di sini ada lowongan pekerjaan?" Ucap Mumu dengan penuh harap.
"Maaf, Dik, di sini sedang tidak menerima karyawan baru." Jawab wanita itu.
"Baiklah, Buk. Terima kasih atas informasinya. Saya mohon diri dulu." Mumu melangkah pergi dengan perasaan kecewa.
Belum jauh ia melangkah, tiba-tiba, "Dik, tunggu sebentar!" Wanita tadi keluar sambil memanggil Mumu.
"Ayo masuk! Pak Kadis ingin bertemu."
Mumu bengong. Kok pak Kadis ingin bertemu dengannya? Ada apa?
"Malah bengong. Ayo!"
"I.iya, Buk." Mumu pun segera mengikuti wanita itu dengan terburu-buru.
Setelah mengantar Mumu sampai di depan pintu pak Kadis, wanita yang bernama Zulaikha itu kembali duduk ditempatnya tadi.
"Kak, tumben pak Kadis memanggil orang yang tak jelas ke ruangannya?" Bisik Rani, gadis remaja 19 tahun yang juga bekerja di sini.
"Mana Kakak tahu! Kakak pun merasa aneh juga." Jawab Zulaikha dengan suara pelan.
Mereka pun mulai ngerumpi dengan suara pelan.
Memang aneh!
Pak Wahab, kadis Perpustakaan ini dikenal sebagai orang yang agak sombong. Mana mau dia menolong orang kalau tidak ada keuntungan baginya.
Tapi hari ini Pak Wahab tiba-tiba memperhatikan Mumu, anak muda yang datang dari kampung. Apakah Pak Wahab ingin mempekerjakan Mumu di sini? Apa motifnya?
Tak lama kemudian pintu ruangan pak Kadis terbuka, Zulaikha dan Rani segera menghentikan obrolan mereka dan menatap pak Kadis.
"Mulai hari ini Mumu bekerja di sini untuk bantu-bantu sebagai cleaning Service. Nanti tunjukkan gudang yang di belakang, atur sebagai tempat tinggalnya!" Perintah pak Kadis.
"Siap, Pak!" Jawab mereka serempak.
"Kamu ikuti instruksi mereka!" Pandangan pak Kadis mengarah ke Mumu.
"Ya, Pak. Terima kasih banyak, Pak." Mumu menganggukkan kepalanya.
Ia sangat bersyukur akhirnya ia bisa bekerja dan mempunyai tempat tinggal tanpa harus membayar.
Mengenai persyaratan yang pak Kadis minta, sepanjang tak merugikan orang lain, Mumu tak keberatan. Ia siap menanggung resikonya.
Mulai hari ini Mumu bekerja di sini. Memang tak enak kerja disuruh-suruh.
Suruh ngerjakan ini, suruh ngerjakan itu. Belum selesai kerja ini sudah harus mengerjakan itu.
Tapi Mumu tak mengeluh. Hidup penuh perjuangan.
"Mumu, pindahkan kotak buku di sana, nanti langsung atur menurut jenis buku di rak baca!" Perintah Rani. Semenjak Mumu bekerja di sini Rani paling suka menyuruh-nyuruh.
Tugas berat yang biasanya menjadi tugasnya sekarang semua dikerjakan oleh Mumu.
Dia hanya duduk-duduk manis sambil ngerumpi atau sambil berselancar di dunia maya.
Itu lah dunia kerja. Walau pun zaman sekarang sudah maju, tapi tetap hukum rimba yang berlaku.
Yang lemah tetap ditindas sedangkan yang kuat, yang punya relasi disanjung-sanjung.
Walaupun dalam hati sedikit tak senang tapi Mumu tetap melaksanakan perintahnya juga.
Karena sesuai instruksi pak Kadis, ia harus ikut perintah seniornya di sini.
Raminten