Cinta datang tanpa diundang. Cinta hadir tanpa diminta. Mungkin begitu yang dirasakan oleh Halim saat hatinya mulai menyukai dan mencintai Medina-gadis yang notabene adalah muridnya di sekolah tempat dia mengajar.
Halim merasakan sesuatu yang begitu menggebu untuk segera menikahi gadis itu. Agar Halim tidak mengulangi kesalahannya di masa lalu.
Apakah Halim berhasil mendapatkan hati Medina?
Apakah Medina menerima cinta dari Halim yang merupakan Gurunya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ils dyzdu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Sekitar dini hari, Halim terbangun dari tidurnya. Dia memang terbiasa bangun di jam-jam dini hari, untuk menunaikan sholat malam.
Awalnya dia lupa kalau sudah menikah. Tapi saat melihat ke samping, terpampang nyata kalau dia sudah punya belahan jiwa. Mana cantiknya limited edition lagi. Ngalahin Mamanya sendiri.
Halim tersenyum. Penampilan Medina saat tidur begitu mempesona.
Selimut saja sudah sampai lantai saking mempesonanya.
Hem, mungkin Medina tidak terbiasa boboknya pake selimut. Halim manggut-manggut, mengiyakan pikirannya.
Kalau Halim memang terbiasa pakai selimut saat tidur, karena di kamarnya ada AC.
Di kamar Medina, memang agak terasa panas. Di tambah lagi Medina tidur mengenakan abaya.
‘Kasihannya Istri aku. Pasti dia gak nyaman tidur pakai baju begitu. Nanti aku belikan aja baju tidur tanpa lengan, biar leluasa tidurnya. Kalau kedinginan, ‘kan ada aku yang menghangatkan. Hihihi.’
Halim senyum-senyum sendiri. Tangannya terulur untuk membelai kepala Istrinya.
Betapa bahagianya dia bisa memiliki Medina. Apa lagi kalau ingat tadi malam. Bisa menyentuh, mencium, dan meremas-remas gundukan kenyal milik Medina.
Duh! Halim menyentuh bibirnya yang tidak bisa berhenti tersenyum dan berkedut.
Tadi malam bibir ini dia pakai untuk melumat lembut bibir Istrinya. Dia lalu menatap tangannya. Tangan ini dia gunakan untuk menyentuh kulit lembut Istrinya.
Halim cengar-cengir. Menahan gejolak ingin berteriak kegirangan, karena lagi-lagi betapa bahagianya dia menikahi Medina.
Halim memiringkan badannya ke arah Medina. Halim belai pipi Medina dengan sayang.
Halim condongkan sedikit badannya lebih dekat. Setelah itu, Halim kecup pipi Medina.
Halim kembali menyentuh bibirnya. Untuk kesekian kali dia heboh senyum-senyum sendiri.
Niatnya, Halim ingin membangunkan Medina untuk sholat tahajud berjamaah. Tapi kelihatannya Medina begitu lelah
“Kasihan. Gak usah dibangunin ‘deh.”
Halim beranjak pergi mengambil wudhu. Kemudian dia menunaikan sholat malam.
Dalam doanya dia memohon ampun, betapa dia begitu kurang ajar, meminta yang aneh-aneh untuk kemarin. Bahkan, mendoakan yang tidak-tidak pada Istrinya.
Mata Halim memanas. Berkali-kali dia memohon dan meminta maaf pada Allah. Allah Maha Baik. Doa yang tidak baik, pasti tidak akan dikabulkan.
Selesai sholat, Halim kembali merebahkan diri lagi di samping Medina.
Halim mengecup kening Medina dan membelai pipinya.
Halim jadi teringat kenapa dan apa sebab, Medina tidak mau dia nikahi kemarin itu.
‘Hem, besok aku tanyakan sama Istri aku yang cantik ini.’
Iiiihh. Halim mode gemas on. Dia jadi ingin cubit pipi Medina.
‘Eh, jangan ‘deh. Nanti bangun pula.’
Haaaaah. Halim menatap plafon di kamar yang tak seberapa luas ini. Matanya lama-lama terasa berat. Dia akhirnya tertidur dengan mimpi yang indah-indah.
......***......
“Adek. Bangun, Dek. Udah subuh. Kita sholat berjamaah, yok?”
Telinga Medina sayup-sayup mendengar suara merdu seorang laki-laki.
“Adek. Istrinya Abang.”
Medina menggeliat. Dia yang awalnya posisi miring membelakangi Halim, langsung berbalik dan tersentak kaget.
Medina mengerjapkan matanya beberapa kali. Sampai-sampai dia kucek matanya.
Apakah matanya ini sudah menangkap sesosok bayangan? Sesosok bayangan tamfan?
Bayangan yang tidak memakai baju itu, begitu sexy dan maskulin. Auwooo.
Perut kotak-kotaknya yang bukan nasi kotak itu, sungguh begitu memanjakan mata ini.
Medina hampir ngences karena adegan tidak sengaja ini.
Halim yang baru saja memakai kaos, berbalik menghadap Medina yang sedang duduk bengong menatap dirinya.
Halim menampilkan senyum tampan versi dia.
“Adek, udah bangun, ya?”
Medina menyunggingkan senyum. Dia baru saja sadar, kalau dia sudah menikah kemarin. Sekarang Suaminya ada di hadapannya secara nyata, bukan secara virtual apalagi secara halusinasi.
“Abang, udah mandi, ya?”
“Iya. Adek mandi, ya? Habis itu, kita sholat berjamaah.”
Medina mengangguk. Dia lalu turun dari ranjang dan mengambil handuk yang ada di gantungan pintu.
Medina melirik sekilas Suaminya, yang sedang menyisir rambut di depan cermin itu.
Rambut Halim basah. Berarti Suaminya itu baru saja keramas.
Medina baru teringat, kalau sehabis malam pertama, harus mandi junub ‘kan?
Medina manggut-manggut. Dia segera pergi ke kamar mandi. Karena dia tidak mau membuat Suaminya menunggu lama.
Selesai mandi dengan rambut basah, Medina segera pergi ke kamarnya.
Belum lagi sampai, dia berpapasan dengan Widya yang senyum-senyum tidak menentu.
Medina mengernyit. Apa ada yang salah, ya?
“Belum sholat, Me?”
“Belum, Bu. Ini mau sholat sama Abang.”
“Ya udah. Sana cepat ganti baju. Nanti masuk angin loh. Hihi.”
Medina menyipitkan matanya. Apa pulak lah Ibunya malah terhihi di pagi-pagi buta begini. Haaaaah.
Sesampai di kamar, Medina segera mengambil baju kaos dan celana training di lemari, lengkap dengan embel-embelnya. You know lah.
Dia kemudian menoleh pada Suaminya yang duduk di atas ranjang, sibuk memperhatikannya dengan senyuman terpatri. Dia sebenarnya masih malu ganti baju di hadapan Suaminya.
Tapi mau bagaimana lagi, semua dari tubuhnya sudah halal untuk dilihat Suaminya.
Tak lama, mereka sholat subuh berjamaah. Sesudah itu, Medina ijin ke dapur untuk memasak. Sedangkan Halim duduk di ruang tamu dengan membawa Alquran Medina. Dia biasa murojaah sehabis subuh.
.....**.....
“Banyak juga barang-barangnya ya, Bang? Masya Allah.”
Medina dan Halim membongkar barang-barang hantaran.
Ada tas, baju, mukenah, make-up, sepatu, dan banyak lainnya.
“Kita simpan di kamar Medi dulu ya, Bang?”
“Iya. Ayo Abang bantu.”
Mereka berdua membawa barang-barang itu ke kamar.
Saat Medina masih sibuk menyusun barang, Halim berjingkat-jingkat menutup pintu dan menguncinya.
Halim dekati Medina dan memeluk Istrinya dari belakang. Dia hirup aroma harum dari ceruk leher Medina.
Hemmmm, wanginya begitu menggoda.
“Ah, Abang.”
Suara dan nada bicara Medina terdengar begitu manjah. Halim membalikkan badan Medina menghadap ke arahnya.
Halim membelai wajah Medina, mendekatkan wajahnya, lalu memiringkan kepalanya.
Halim mencium bibir Medina dengan lembut sekali.
Medina yang mulai terasa menikmati ciuman Suaminya, dengan refleks melingkarkan tangannya ke pinggang Halim.
Oouuhh. Betapa bahagia Halim. Karena dengan inisiatif sendiri, Istrinya menyentuh dirinya.
Baru saja Halim hendak membimbing Medina ke ranjang. Suara ketokan pintu sudah membuyarkan semuanya.
Mereka berdua sama-sama terkekeh. Halim memilih untuk duduk di ranjang, sedang Medina segera membuka pintu. Ternyata sudah ada Ibunya di depan pintu.
Widya menutup mulutnya dengan tangan. “Uupss. Ibu ganggu, ya?”
Medina terkekeh. “Gak kok, Bu. Ada apa, Bu?”
“Ibu lupa mau bilang ini kemarin. Kalian pergi ziarah ya ke makam Ayah?”
Medina menepuk keningnya. “Astaghfirullah. Medi lupa, Bu.”
“Hehe. Ya udah, gerak sekarang aja gih? Mumpung masih pagi.”
“Iya, Bu.”
Widya segera berlalu. Dia juga banyak kerjaan mengantar tempe ke kedai-kedai.
Medina mendatangi Halim lagi. Dia duduk dekat dengan Suaminya.
Tangan Halim terangkat mengusap kepalanya. “Berangkat sekarang, Dek?”
Medina mengangguk. “Iya, Bang. Biar gak panas. Kalau nanti sore, mau istirahat aja di rumah. Besok ‘kan sekolah.”
Halim mengangkat kedua alisnya. “Adek kok gak cuti juga kayak Abang?”
Medina terkekeh. “Abang ada aja. Memang bisa anak murid cuti? Hehe.”
Halim garuk-garuk kepala. “Abang ngapain kalau Adek sekolah?”
Medina memasang wajah sok berpikir. “Hem, ngapain, ya?”
Halim bukannya menjawab, dia malah mendekat dan mengecup pipi Medina.
Medina sampai tersentak kaget karena ulahnya.
“Abaaaang.”
Aduh! Aduh! Lagi-lagi nada manjah nya itu, benar-benar membuat Halim ingin terbang ke angkasa. Meluapkan segala rasa bahagianya.
“Gapapa, dong. Cium Istri Abang bikin Abang senang.”
Medina jadi senyum-senyum sendiri. Dia menyentuh tangan Halim dan menggenggamnya.
Halim sampai tertegun, karena tindakan Medina yang tiba-tiba ini. Untung saja dia gak pengsan.
“Abang, maaf. Adek mau bilang ini sama Abang.”
Halim mengerjapkan matanya. “A-apa? Adek tadi panggilkan dirinya apa?”
Medina menunduk malu-malu. “Egh, Adek.”
Oouuhhh. Sungguh sudah tidak bisa Halim jabarkan rasa bahagia dihatinya saat ini.
Halim memejamkan mata merasakan kebahagiaan yang membuncah ini.
Rasa-rasanya dia memang ada gila-gilanya. Istrinya panggilkan dirinya sendiri ‘Adek’ aja, dia senangnya udah seperti hendak kayang dan merayap di dinding. Aigooo!
......***......
Assalamu'alaikum Pembaca aku 🤗.
Selamat membaca, ya? 🤗💐
Untuk para Pembaca aku, habis baca harap like, ya? Biar nampak aja gitu kalau dibaca. Hehe.
Biar senang hati akoh yang mirip bidadari ini. Wuahaha.
Akoh pada kalian, sarang heo love muah muah 💐❤️