Aku hampir gila, karena dihadapkan pada dua wanita.
Nadira adalah gadis pilihanku, sedangkan Naura adalah gadis pilihan ibu.
Jika tetap mempertahankan Nadira, maka hati ibulah yang akan tersakiti, tetapi jika memilih wanita pilihan ibu, maka aku harus siap melihat Nadira terluka dan kecewa.
lalu aku harus bagaimana? Apa aku bisa mencintai wanita pilihan ibu seperti aku mencintai Nadira?
hai...mampir yuk di cerita terbaruku!
jangan lupa like dan komen ya.. terima kasih...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Embunpagi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 29
"Naura..Rafka."
Ujar ibu di sela Isak tangisnya.
"Ada apa dengan Naura Bu?" Tanyaku ikut panik.
"Dia..dia..."
Ah, rasanya aku tidak sabar menunggu penjelasan ibu. Aku lalu membuka pintu kamar dan berjalan menuju kamar Naura. Aku mengintip dari celah pintu yang terbuka sendiri.
Mataku memanas melihat pemandangan menyedihkan yang ada di balik pintu.
"Aisyah... anak ibu..kamu pup ya..aduh..kenapa gak bilang ibu sayang..maaf ya..ibu gak tahu. Jangan nangis ya..sebentar ibu ganti dulu popoknya."
Naura mulai membersihkan boneka beruang itu layaknya anak bayi kemudian membalutnya dengan baju miliknya.
"Sudah selesai. Sudah bersih sudah wangi. Aisyah..sayang ibu..jangan begadang ya..ibu sudah lelah, nak. Ibu ngantuk." Celoteh Naura pada boneka beruang itu.
"Bu sini.."aku berbisik memanggil ibu.
Ibu segera mendekat padaku, lantas mulut ibu ternganga kala melihat Naura menyusui boneka beruang itu.
"Rafka..."
Ucap ibu sambil menggelengkan kepalanya. Jujur kami berdua tidak percaya dengan apa yang kami lihat.
"Ibu? Ibu ngapain berdiri disitu? Sini Bu!" Ucap Naura sambil tangannya melambai.
Ibu menatapku, aku hanya mengangguk, meminta ibu menuruti kemauan Naura.
"Bu, Aisyah tidak tidur satu malaman ini. Boleh aku menitipkan Aisyah pada ibu sebentar saja. Aku lelah Bu."
Ujar Naura sambil menguap.
Ibu mengangguk setuju. Naura memberikan boneka beruang pada ibu. Selanjutnya ia memilih berbaring.
Dan benar saja, sebentar saja Naura sudah terlelap. Aku bisa mendengar helaan napasnya yang tidak teratur.
"Nau.. kamu kenapa nduk? Kenapa kamu bisa begini?"
Ibu menangis sambil mengusap rambut kusut Naura.
"Raf, apa yang harus kita lakukan?"
Tanya ibu disela-sela tangisannya.
"Kita bawa Naura ke rumah sakit jiwa Bu."
Aku mencoba memberi saran pada ibu.
"Ibu tidak setuju Raf, itu bukan penyelesaian menurut ibu."
Ibu menolak mentah-mentah saran yang kuberikan.
"Lalu? Kita harus apa Bu?"
Otakku benar-benar buntu. Aku benar-benar tidak menyangka jika Naura bisa gila seperti ini karena kehilangan Aisyah.
***
Semakin hari keadaan Naura semakin memprihatinkan. Ia sudah jarang mandi, jika ibu memaksanya, maka ia tidak segan-segan untuk memukul ibu.
Hari-hari Aisyah hanya mengurus boneka beruang yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri.
Aku dan ibu mulai kewalahan mengurus Naura. Aku yang tidak selalu ada di rumah, acapkali gelisah jika meninggalkan ibu sendirian di rumah bersama Naura.
Hingga suatu hari...
"Raf..kamu pulang sekarang ya. Naura ngamuk. Ibu gak bisa membujuk Naura lagi. Sekarang ibu lagi sembunyi di kamar. Naura bawa pisau, Raf. Ibu takut."
Suara ibu yang bergetar disambungkan telepon membuat aku bergegas pulang ke rumah.
Beruntung tidak ada macet, sehingga aku bisa lebih cepat sampai di rumah.
Sebelum aku masuk, lebih dulu aku waspada. Jangan sampai Naura kembali mencelakai aku.
"Kembalikan anakku..kembalikan anakku.."
Terdengar teriakan suara Naura.
Aku membuka pintu pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara.
Syukurlah Naura masih fokus mencucuki pintu kamar ibu. Setidaknya ia tidak sadar akan kedatangan ku.
Hal yang akan aku lakukan adalah mengambil pisau dari tangan Naura, kemudian aku akan mengingat Naura sebentar saja. Setidaknya sampai Naura lebih tenang.
Aku berjalan mengendap-endap, lalu..
Aku menghitung dalam hati. Satu..dua..ti..ga hap!
Aku berhasil mengambil pisau dari tangan Naura.
Naura tampak berang kala ia tahu aku lah yang mengambil pisau dari tangannya.
"Kamu..!" Ia membesarkan matanya.
Sumpah! Ini lebih seram dari apa pun.
Sepanjang menikah aku tidak pernah melihat mata Naura sebesar ini.
Naura berlari ke ruang tamu.
Pikiranku mulai kacau. Jangan-jangan Naura mau mengambil pot di atas meja.
Dan..benar saja!
Naura berjalan ke arahku dengan tangan kanan memegang pot kecil yang di taruh ibu diatas meja ruang tamu.
Ia cekikikan senang.
Prang! Hampir saja aku terkena lemparan pot itu. Beruntung aku bisa menghindar.
"Hihiiii...takut ya?" Ejeknya padaku.
Kemudian ia berlari hendak keluar rumah.
Secepat mungkin aku mengejar Naura. Jangan sampai ia keluar dari rumah dan membuat kekacauan diluar sana.
"Lepaskan...lepaskan aku...tolong...tolong.." Naura berteriak histeris saat aku berhasil menangkapnya.
"Bu..tolong ambilkan tali..." Aku teriak pada ibu. Mendengar suaraku, ibu tampak membuka pintu kamarnya.
"Bu, tolong ambilkan tali!" Pintaku pada ibu.
Ibu kembali masuk kedalam kamarnya, lalu keluar lagi membawa sebuah kain.
"Gak ada tali Bu?"
"Ini saja Raf, supaya tangannya gak sakit." Sahut ibu.
Aku mulai mengikat tangan Naura.
"Raf..jangan kencang-kencang, kasihan nanti tangannya sakit." Ujar ibu dengan nada khawatir.
"Tenang saja Bu, ini tidak akan lama, sampai nanti Naura jauh lebih tenang, kita akan lepaskan ikatan tangannya." Sahutku lagi.
Naura masih berusaha membuka ikatan tangannya. Namun sepertinya ia tidak punya tenaga. Setelah membiarkan Naura begitu saja di atas lantai akhirnya aku membopong tubuh Naura ke atas kasur yang sudah dibereskan ibu.
"Nau..aku akan lepas ikatan ini. Tapi janji ya..janji jangan bertindak diluar batas."
Cuih!
Diluar dugaan ku, ludah Naura mengenai wajahku.
Kesabaran ku akhir-akhir ini memang benar-benar diuji oleh Naura.
Ibu yang ikut menyaksikan kelakuan Naura bergegas menepuk-nepuk pundak ku, "sabar ya Raf. Sabar..Naura sedang sakit. Kalau dia tidak sakit, tidak mungkin dia akan bertindak kurang ajar seperti ini."
Aku menghela napas, lalu berdiri menjauh pada Naura.
Mengambil tisu diatas meja dan mengusap wajahku.
Aku merenung, mencari penyelesaian atas kasus Naura. Kemana aku akan meminta pertolongan?
***
Hari ini aku mengunjungi rumah Nadira. Sudah beberapa hari ini ia merengek meminta aku datang ke rumahnya.
"Hai sayang...kangen.." seru Nadira sembari mengecup pipiku.
Wangi aroma tubuh Nadira menguar memenuhi indera penciumanku.
Sebagai lelaki normal hasratku bangkit saat melihat Nadira. Apalagi hampir beberapa bulan tidak tersalurkan.
"Masuk yuk." Ajaknya sambil menggandeng tanganku.
"Kok sepi? Mama papa kemana?"
"Itulah raf, kamu sampai gak tahu, kan?" Omel Nadira.
" Mama papa sedang pergi ke Australia, biasa deh, ada acara keluarga." Ucapnya lagi.
"Sebentar ya Raf." Nadira meninggalkan aku di ruang tamu. Tidak lama Nadira muncul kembali dengan membawa segelas jus jeruk.
"Minum Raf."
Nadira meletakkan jus jeruk tepat di depanku. Kemudian ia duduk menyender di bahuku.
"Masalah kamu sudah beres,. Raf?"
Tanya Nadira sembari tangannya memainkan ujung lengan bajuku.
"Masalah apa?" Tanyaku bingung.
Huft!
Nadira menghela napas, "masalah Naura. Apa dia sudah sembuh?"tanya Naura dengan raut wajah sebal.
"Entahlah Nad. Aku bingung." Sahutku sambil meminum jus jeruk.
"Maksud kamu?"
"Nadira seperti orang gila. Boneka beruang dianggapnya Aisyah, anak kami yang sudah meninggal. Aku gak tahu bagaimana cara menyembuhkan Naura.
"Bagaimana kalau Naura kita bawa ke rumah sakit jiwa? Orang yang gila sudah pasti dibawa ke rumah sakit jiwa. Naura itu harus di rawat oleh orang-orang yang paham betul tentang kejiwaan, Raf. Kalau kamu setuju, aku punya saudara yang bekerja menangani orang gila. Nanti aku kenalin deh sama saudara aku." Ucap Nadira tersenyum penuh kemenangan.
Namun, apakah Rafka setuju dengan saran Nadira?
Dasar wanita licik dan picik!!
"menikahi yg di cintai itu harapan
mencintai yg di nikahi itu kewajiban" Ust.Adi Hidayat
klu mau balik suruh sivrafa sujudv7 hari 7 malam siang dan malam. terus diiviioin.
terus anaknya sipelakor kamu syruh buang kerumah orang tua nadira atau bawa ke panti sosial.
najis amat kamu sampai gila stress dan amenesia.