Tak kunjung garis dua, Inara terpaksa merelakan sang Suami untuk menikah lagi. Selain usia pernikahan yang sudah lima tahun, ibu mertuanya juga tak henti mendesak. Beliau menginginkan seorang pewaris.
Bahtera pun berlayar dengan dua ratu di dalamnya. Entah mengapa, Inara tak ingin keluar dari kapal terlepas dari segala kesakitan yang dirasakan. Hanya sebuah keyakinan yang menjadi penopang dan balasan akhirat yang mungkin bisa menjadi harapan.
Inara percaya, semua akan indah pada waktunya, entah di dunia atau di akhirat kelak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Oktafiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29. Menuju jalan kebenaran
Matahari telah condong ke barat, pertanda akan pulang menuju peraduan. Sinar kuning keorenan pun menyinari bumi, membuat suasana sore itu terasa menenangkan.
Nara dan Beta masih duduk dan saling diam sejak setengah jam lalu, sambil memandangi pohon ketapang yang tumbuh berjajar di pinggiran taman. Ranting-rantingnya tampak bergoyang ketika tiupan angin berhembus. Daun-daun yang telah menguning, pada akhirnya berguguran.
Kotak dus kecil berisi martabak manis itu telah tandas di tangan Beta tanpa sedikitpun Nara mencicipi nya. Mungkin karena pengaruh bayi yang ada di rahim Beta, membuat makan adik iparnya itu lahap.
"Aku lapar, Mbak," celetuk Beta ketika melihat Nara sedang menatap kotak bekas martabak manis tersebut.
Nara terkekeh mendengar pengakuan Beta. "Iya. Mbak tahu kok. Makan lagi kalau masih lapar," jawab Nara sambil tersenyum lembut.
"Sudah kok, Mbak."
Diam kembali mengisi suasana di antara Beta dan Nara. Angin yang berhembus, menerpa hijab dan wajahnya, membuat Nara memejamkan mata. "Segar ya, anginnya," ucap Nara bermaksud ingin mengajak Beta untuk melakukan hal yang sama.
Ketika mata Nara terbuka, Beta sudah memejamkan mata dengan bibir yang mengulas senyum tipis.
"Mbak?" panggil Beta yang membuat Nara terkejut karena sedang memandangi adik iparnya itu.
"Kenapa?" tanya Nara setelah berhasil menguasai diri.
"Terimakasih ya." Beta berucap tulus dengan mata yang setia terpejam.
Nara mengangguk sebagai jawaban. Walau gerakan kepalanya itu tidak bisa dilihat oleh Beta. "Mbak tidak ingin bertanya padaku?" ucap Beta lagi yang kini sudah menatap Nara sepenuhnya.
Nara menghembuskan napasnya pelan. "Sudah berapa bulan?" tanya Nara membalas tatapan Beta.
"Sudah empat bulan, Mbak. Aku tidak tahu harus bagaimana." Beta terdengar frustasi kala mengatakan hal tersebut.
"Mama sudah tahu?" tanya Nara memastikan, yang segera mendapat gelengan lemah dari Beta.
"Aku takut, Mbak. Mama pasti akan marah dan mengusirku. Belum lagi Kak Arjuna dan Antika yang mungkin akan menghakimiku." Nara masih mencoba mendengarkan pendapat Beta tentang masalah yang sedang dialaminya.
"Namun, cepat atau lambat mereka akan tahu, Ta. Lebih baik kamu memberitahu mereka lebih dulu daripada mereka tahu dari orang lain. Rasa kecewa karena dibohongi akan lebih parah dibanding kecewa karena sebuah kejujuran," jelas Nara mencoba menyadarkan Beta.
Bukannya berpikir, Beta justru kembali menangis. Nara yang paham jika Beta sedang terguncang, memilih memenangkan. Dia memeluk Beta dan memberikan usapan lembut pada punggungnya.
"Mbak. Maaf karena dulu aku selalu bersikap buruk. Aku selalu ikut menjelekkan Mbak Nara ketika Mama dan Kak Antika sedang melakukannya. Sekarang, justru aku yang terkena karma sendiri," racau Beta penuh penyesalan.
Nara menghela napas kasar. Sejujurnya, dia memang sering sakit hati ketika ucapan pedas dan menohok ditujukan padanya. Namun, hal itu tidak membuat Nara berniat untuk membalas rasa sakit yang di derita. Biarlah Tuhan yang akan turun tangan sendiri membalas perbuatan buruk tersebut.
"Tidak masalah. Semoga dengan datangnya musibah ini, bisa merubah kamu menjadi pribadi yang lebih baik. Karena sejatinya, di dunia ini ada hukum tabur tuai. Apa yang kamu tanam, maka akan kamu tuai. Jadi, tanamlah kebaikan." Nara kembali berucap panjang lebar, berharap adik iparnya itu bisa berbuah menuju jalan kebenaran.
Cukup lama Beta sesenggukan dalam pelukan Nara. Hingga dia memilih merenggangkan jarak lebih dulu sambil mengusap matanya yang sembab. "Mbak?"
"Kenapa?"
"Aku lupa belum minum," racau Beta sambil tertawa kecil.
Nara yang mendengar itu, ikut tertawa sambil menggelengkan kepala. "Kita beli di sana ya? Sekalian pulang?" tawar Nara yang seketika merubah raut cerah Beta menjadi bermuram durja.
"Aku takut pulang ke rumah, Mbak," lirih Beta sambil menunduk, menatap jemarinya yang bertaut.
Nara memejamkan mata untuk mencari cara agar Beta mau pulang. Hari sudah semakin gelap dan suaminya pasti akan khawatir karena sejak tadi Nara belum mengecek ponsel.
"Kalau begitu, kamu pulang ke rumah Kak Arjuna saja ya?" tawar Nara dan Beta masih tampak ragu.
"Bagaimana jika Kakak tahu?" tanya Beta mengungkapkan ketakutannya.
Helaan napas kasar pun terdengar. "Kakak dan Mama harus tahu, Ta. Hanya mereka yang pasti masih akan peduli padamu. Mereka yang akan mengurus semua termasuk mencari laki-laki yang membuat kamu dalam keadaan seperti ini."
Setelah berpikir sejenak, pada akhirnya Beta menurut dan ikut Nara untuk pulang ke rumahnya.
Baru saja Nara akan melajukan motor ketika dering panjang ponselnya bergetar. Nara meminta izin kepada Beta untuk menerima telepon lebih dulu barangkali itu hal penting.
Nama Arjuna tertera di sana sebagai pihak penelepon. Nara melirik Beta yang saat ini sedang menatap dirinya dengan penuh tanda tanya. "Siapa, Mbak?" tanya Beta penasaran.
"Mas Arjuna."
"Angkat saja tidak apa-apa." Setelah mendapat persetujuan, Nara menerima telepon tersebut.
"Assalamu'alaikum, Mas? Ada apa?" tanya Nara langsung pada intinya.
"Waalaikumsalam. Ke rumah sakit sekarang ya, Ra? Darah tinggi Mama kambuh dan harus di rawat. Mas akan kirim alamat rumah sakitnya ya."
Nara mengerjap pelan. Situasi kali ini terlalu buruk untuk memberitahukan perihal kehamilan Beta.
"Baik, Mas. Aku segera kesana. Kirim alamatnya ya." Panggilan telepon pun terputus. Nara memutuskan untuk bertanya nanti setelah suaminya berada di hadapan.
"Kenapa, Mbak?" tanya Beta penasaran.
"Mama masuk rumah sakit. Kondisi mama drop dan Mbak belum tahu karena apa," jawab Nara.
Beta yang mendengar itu, menutup mulut tidak percaya. "Ayo, Mbak. Kita harus segera ke sana!"