Cinta memang tak memandang logika. Cinta tak memandang status. Suami yang ku cintai selama ini, tega menikah dengan wanita lain di belakang ku.
"Maafkan aku Ris! Tapi aku mencintainya. Dan sebenarnya, selama ini aku tak pernah mencintai kamu!"
"Jika memang kamu mencintai dia, maka aku akan ikhlas, Mas. Aku berharap, jika suatu saat hatimu sudah bisa mencintaiku. Maka aku harap, waktu itu tidak terlambat."
Risma harus menerima kenyataan pahit dalam rumah tangganya, saat mengetahui jika suaminya mencintai wanita lain, dan ternyata dia tak pernah ada di hati Pandu, Suaminya.
Akankah Pandu bisa mencintai Risma?
Dan apakah saat cinta itu tumbuh, Risma akan bisa menerima Pandu kembali? Dan hal besar apa yang selama ini Risma sembunyikan dari semua orang, termasuk Pandu?
Simak yuk kisahnya hanya di Novel ini.
JANGAN LUPA TEKAN FAV, LIKE, KOMEN DAN VOTENYA... KARENA ITU SANGAT BERHARGA BUAT AUTHOR🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lepaskan dia Pandu
"Tapi Mas Pandu tidak bisa dihubungi dari semalam Bu, Nomornya tidak aktif. Padahal tau, saat dia meninggalkan aku, aku sedang sedih karena dia lebih memilih untuk menenangkan dan pulang pada istrinya disana." sahut Clara menjelaskan semua pada ibunya.
"Clara!
Apa istri Pandu sudah mengetahui pernikahan kalian?"
Bu Desmita melepaskan pelukannya dan menatap dalam kepada Clara yang langsung menganggukkan kepalanya.
"Astagfirullah."
Bu Desmita menarik nafas kasar, matanya tajam menatap putrinya.
"Clara!
Kamu tau, istri Pandu sangat menderita saat ini, dia pasti tersiksa karena luka penghianatan suaminya, dan wanita itu kamu. Kamu yang jadi madunya.
Sekarang kamu tau Pandu sedang bersama istrinya, berusaha menenangkannya, kamu sudah menangis seperti ini, tidak terima dan kelabakan dengan semua ketidakterimaan kamu. Lalu seperti apa sakitnya istri Pandu?
Lebih sakit dari yang kamu rasakan!"
Bu Desmita tidak pernah membela kesalahan yang dilakukan anak anaknya, baginya salah ya tetap salah, harus diluruskan, harus di ingatkan.
Namun jika sudah diluruskan, di ingatkan tetap tidak mau mendengarkan.
Maka Bu Desmita, akan memilih diam dan membiarkan anaknya menanggung akibat dari keputusannya sendiri.
"Tapi, Bu!
Mas Pandu tidak mencintai istrinya, dia hanya menjalankan kewajiban sebagai suami saja.
Beda dengan aku, kami saling menyimpan cinta kita sekian lama, dan kini takdir mempertemukan kami dalam ikatan pernikahan. Aku istrinya juga Bu! aku juga berhak atas diri mas Pandu."
Clara berusaha membela diri dari ucapan ibunya yang seolah menyalahkan dirinya yang hanya istri kedua, pernikahan diam diam yang menyakiti istri pertamanya.
"Kamu memang keras kepala, Clara!
Ibu tidak pernah mengajari kamu jadi orang seegois ini, pikirkan dulu sebelum kamu mengambil keputusan, pikirkan hati istri Pandu, dan nasib anak anaknya.
Kalau kamu mau mendengarkan ibu, lebih baik kamu tetap disini, menunggu Pandu kesini lebih dulu, jangan datangi Pandu saat istrinya sedang hancur hatinya.
Bersabarlah, jadilah istri dan wanita yang baik Clara." Bu Desmita kembali mengingatkan anak perempuannya dengan tegas dalam setiap kalimatnya.
Sehingga membuat Clara diam, menunduk dalam, tidak berani menatap mata ibunya yang begitu tajam.
"Clara akan menuruti perkataan ibu. Maafkan Clara, Bu!"
Clara terisak dihadapan ibunya, menjatuhkan dirinya di kaki sang ibu dan meraung disana penuh dengan kecewa dan rasa bersalah.
"Sudahlah, semua yang terjadi adalah keputusan kalian, sekarang terimalah konsekuensinya.
Namun, kamu juga harus bisa bersikap lebih tenang dan sabar, Clara!
Biarkan Pandu menyelesaikan masalah dengan istrinya, beri waktu dia untuk memikirkan dan mengambil keputusan yang terbaik untuk hubungan kalian yang rumit ini.
Apapun nanti yang diputuskan Pandu, sekalian itu menyakiti hati kamu, ikhlaskan. Pahami posisi kamu yang salah.
Tidak ada hubungan yang akan baik baik saja, saat memasukinya sudah dengan cara yang salah.
Tenangkan dirimu, istighfar yang banyak, agar hati dan pikiran kamu kembali tenang."
Bu Desmita memeluk Clara lembut, mengusap pundaknya penuh kasih sayang.
Karena bagaimanapun, kewajiban orang tua untuk terus memberi nasehat dan merangkulnya saat berada di jalan yang salah.
☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️☘️
Sedangkan dirumah sakit, Pandu masih belum diijinkan bertemu dengan Risma.
Pandu mulai merasa curiga akan sakit yang diderita istrinya, kalau hanya pingsan karena kelelahan dan banyak pikiran, tidak mungkin akan masuk di ruangan yang khusus untuk terapi penyakit kanker.
Pandu kembali merasakan cemas dan tidak tau harus bagaimana, karena tidak ada satupun suster yang mau membuka penyakit yang di derita Risma, mereka selalu menjawab, 'silahkan tanyakan langsung pada dokter Abas. Karena itu bukan ranah saya."
Pandu berusaha untuk menemui dokter Abas, namun masih belum bisa ditemui, karena masih ada pasien yang harus ditangani, Padahal pasien itu adalah Risma, wanita yang sedang berjuang untuk tetap bertahan hidup dalam rasa sakit.
"Ada apa ini?
Apa yang terjadi sama kamu, Ris?
Apakah sakit kamu seserius itu, dan kenapa kamu menyembunyikannya dariku, sesakit dan sebenci itukah kamu padaku?"
Pandu terus bergumam dengan pikirannya sendiri, hingga tanpa sadar, Dokter Abas sudah berdiri dihadapannya dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana dan menatap Pandu dengan tatapan kecewa.
"Apa kita bisa bicara, Pak Pandu?"
Dokter Abas mengeluarkan suaranya, dan Pandu seketika langsung mendongakkan kepalanya menatapnya dengan sorot gelisah yang diiringi kebencian.
."Silahkan." jawab Pandu singkat dengan memperlihatkan mimik tak sukanya pada dokter tampan di hadapannya.
"Mari ikut keruangan saya, kita bicara disana."
Tanpa menunggu sahutan dari Pandu, Dokter Abas mengayunkan langkahnya kembali menuju dimana ruangannya berada dan Pandu mengikutinya dari belakang, dengan perasaan tak menentu.
"Silahkan masuk!" Dokter Abas mempersilahkan Pandu memasuki ruangan yang nampak rapi dan terdapat sofa minimalis di ujung ruangan, Pandu melangkahkan kakinya masuk dan mengedarkan pandangannya. Matanya menangkap, foto lama berukurang sepuluh R yang menggantung di dinding tepat berada dibelakang meja kerja dokter Abas.
Pandu memicingkan matanya, menatap awas dan mengamati perempuan cantik yang tengah berdiri diantara sahabat sahabatnya. Tidak asing buat Pandu, dan pikirannya langsung tertuju pada Risma saat masih sekolah dulu.
"Kenapa, apa kamu sedang mengamati foto itu dan penasaran dengan perempuan yang berdiri diantara kami?
Itu Risma saat masih kelas dua SMA.
Itu foto bersama teman teman yang ada satu komplek saat usai kegiatan karang taruna.
Cantik kan dan dia nampak tersenyum ceria, karena memang Risma memiliki sifat humble dan ramah, namun sejak menikah dengan kamu, dia jadi tertutup dan suka menyendiri, bahkan jarang sekali terlihat tersenyum.
Kalau kamu tidak cinta pada Risma, kenapa kamu mempertahankan dia, Pandu.
Lepaskan dia, karena Risma berhak hidup bahagia dengan laki laki yang memperlakukan dia dengan baik dan penuh kasih sayang."
Dokter Abas sengaja memancing emosi Pandu, karena sudah benar benar geram dengan laki laki seperti Pandu yang tak bisa bersikap tegas, berani menikahi perempuan masa lalunya tapi tidak mau melepaskan wanita yang dari dulu memendam luka akibat pengabaiannya.
"Sekali lagi, jaga ucapan anda dokter, Abas!
Ini rumah tanggaku, jangan pernah anda ikut campur kalau anda tidak tau kebenarannya!"
Pandu mencengkram jas putih dokter Abas dengan kedua tangannya, wajahnya memerah menahan emosi yang sedari tadi dipendamnya, dan kini dokter Abas kembali lagi bicara yang membuat Pandu semakin marah.
"Saya hanya sekedar mengingatkan anda, Pak Pandu!
Lepaskan Risma, kalau anda hanya bisa menyakitinya, lepaskan dia, dari pada dia harus terus menangis karena sikap anda. Lepaskan!"
Bukannya takut, justru dokter Abas semakin berani meminta Pandu untuk melepaskan Risma. Dan itu semakin membuat Pandu hilang kendali.
"Kurang ajar!"
Bug! Bug!