NovelToon NovelToon
Adara'S Daily

Adara'S Daily

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Dosen / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Alunara Jingga

Tentang keseharian seorang gadis biasa dan teman-temannya. Tentang luka.
Tentang penantian panjang, asa dan rahasia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alunara Jingga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Family

Saat ini aku berada di parkiran Fakultas Biologi, sesuai permintaan Mas Dwi kemarin, Tika, Piga dan Vita punya keterampilan baru sejak mengenal Neesha, menghilang. Daneesha mengabarkan bahwa mereka tengah berada di Gili Trawangan. Untuk mengusir bosan, aku menelpon Neesha.

"Kalian kapan perginya? Kemarin masih di rumah," tanyaku terheran, pasalnya kemarin sebelum aku dan Mas Dwi pulang ke rumah kami, mereka berlima masih dirumah bunda Nadia. Aku mengajak mereka ikut pulang, namun menolak keras.

"Kemarin sore, bareng Mas Zian juga ini," jawabnya menyebut nama sepupunya.

"Rere ga ikut? Mereka bertiga baik?"

"Ada, mana mau si Rere ditinggalin. Tenang aja, mereka aman kalo sama aku. Mba Ara mending hahahihi aja sama Mamas Duwa." Panggilan khusus dari Daneesha untuk kakak pertamanya adalah Mamas Satu, dan Mamas Duwa untuk Mas Dwi. Sedang mereka berdua memanggil Neesha dengan Tiga, karena memang nama mereka berarti seperti itu. Deka Putra Rahadian, Firdaus Dwi Rahadian dan Daneesha Tria Rahadian.

"Hahahihi apaan, bocah?! Ketularan Ojik pasti. Duit cukup?"

"Cukup, tapi aku masih nerima donasi kok, Mba. Hahaha."

"Kirimin nomor rekening, ntar ku tambahin."

"Bohonglah, semalam udah dikirimin Mamas Duwa, aku udah bilang kok semalem. Dia ga bilang ke Mba? Malah sempat ngobrol sama Piga."

Aku mengernyit, Mas Dwi memang menerima telpon entah dari siapa semalam, namun ia tak berbicara apapun. Dan aku tak bertanya karena sibuk menata ulang posisi perabotan di kamar kami.

"Kaga ada. Aku semalam sibuk, jadinya ga nanya juga."

"Taulah yang sibuk, manten anyar gaesss. Lagi anget-angetnya." Terdengar tawa riuh dari seberang sana. Bah, main keroyokan.

"Tau apaan sih, kaya udah jadi manten aja. Dasar pisang karbitan, mateng sebelum waktunya!" seruku.

"Halah, yang begitu mah ga perlu jadi manten dulu baru paham. Semalam berapa kali? Gimana performa mamasku? Hm??" Walau tak berhadapan langsung, aku hapal bagaimana mimik Daneesha Tria saat ini, pasti tengah menyeringai dan memainkan alisnya. Menyebalkan memang. Dan bisa-bisanya, dia yang berucap, aku yang malu.

"Bener-bener karbitan si bocah! Jangan kebanyakan mantengin yang iya-iya! Sekolah yang bener dulu, ibadah yang bener! Jangan sampai kebawa arus!" omelku.

"Hanyut dong?!"

Aku menghela nafas, butuh kesabaran memang jika berhadapan dengan adik iparku satu-satunya ini. Aku keluar dari mobil, bersandar di pintu.

"Iya, jangan salah pilih teman, karena bisa mempengaruhi hidup kamu. Pilih teman itu perlu, dek. Cari teman yang bisa mengingatkan kamu kalo lagi salah jalan, jangan yang justru semakin menjerumuskan. Teman yang bisa jadiin kita pribadi lebih baik, yang bisa melindungi kamu. Zaman sekarang, cari teman itu mudah, tapi yang benar-benar ingin berteman itu yang susah."

"Kaya Mba sama Limas? Yang kata mereka titik puncak itu Mba Ara dan alasnya itu mereka? Seolah menempatkan Mba Ara yang satu-satunya perempuan diatas mereka, yang artinya mereka menghormati Mba, selalu siap ketika dibutuhkan, selalu ada saat Mba Ara berada di posisi sulit."

"Hmm?? Kata siapa? Limas ya limas, ga ada arti spesifik."

"Salah, Bang Emr bilang ke aku kayak gitu. Ngga asal sebut nama katanya. Karena memang Mba ini pemegang kendali diantara mereka, tuas rem, pengendali gas. Mereka ga pernah melewati batas karena ingat diantara mereka ada satu perempuan berharga yang harus di lindungi. Ini yang ngomong ke aku Bang Emr ya, dan diamini sama yang lain, aku cuma menyampaikan ulang ucapan dia."

Aku diam, ah, ternyata di balik tingkah laku menyebalkan mereka, tersimpan hati yang bersih. Aku merindukan celotehan konyol mereka, walau ketika bersama, pasti terjadi baku hantam, layaknya Tom dan Jerry. Setelah beberapa obrolan ringan, Neesha pamit untuk menyudahi panggilan, jadwal mereka hari adalah snorkling di laut bersih Gili.

Aku melihat arlojiku, sudah dua puluh lima menit aku disini, tak juga terlihat bayangan Mas Dwi. Ia hanya mengabari lewat pesan di aplikasi hijau, memintaku menunggu sekitar sepuluh menit lagi. Tak ku balas, takut mengganggu konsentrasinya. Aku masih bersandar sembari memainkan ponsel saat seseorang menghampiriku.

"Kamu lagi nunggu Pak Hadian? Mau bimbingan? Kenapa ngga masuk ke ruangannya? Malah nunggu disini. Kalau butuh dosen itu harusnya tahu aturan, jangan mencegat di tempat parkir seperti ini, ngejogrok di mobilnya pula. Mahasiswa kok ngga paham aturan?! Saya bilang ke Pak Hadian biar ga lulusin kamu, mau?!" Ia terlihat tak senang dengan keberadaanku yang tengah bersandar di kendaraan hitam ini.

"Maaf, Bu. Saya memang sedang menunggu beliau, tapi untuk urusan lain, bukan bimbingan skripsi," tuturku, masih sopan, karena bagaimana pun ini lingkungan kampus, tempat sakral bagiku.

"Terus mau apa? Minta diantar pulang? Ga tahu malu! Bersikaplah layaknya mahasiswa, hormati dosenmu! Jangan ambil kesempatan, mentang-mentang Pak Hadian ga enakan, kamu mau manfaatkan untuk keuntunganmu!" cerocosnya, seolah paling tahu dan paling benar. Aku malas meladeninya, ku buka pintu mobil, saat akan masuk, ia menarik kardigan yang ku gunakan, hampir saja aku terjungkal ke belakang.

"Wah, saya baru menemukan mahasiswa sekurang ajar ini. Siapa namamu? Berapa NIM mu? Saya pastikan akan melaporkan kamu ke Wakil Dekan 1, bila perlu ke Dekan sekaligus."

"Ke rektor ga sekalian, Bu? Lagian Ibu ini siapa sih? Saudaranya Pak Hadian, bukan. Istrinya juga bukan," gerutuku.

"Saya memang bukan istrinya, tapi calon istrinya. Jadi tolong, jaga sikapmu! Jangan seperti perempuan murahan! Setidaknya kalau mau open BO, jangan tawarkan pada dosenmu agar mempermudah jalan kelulusanmu!!"

Aku tertawa, sungguh, mengapa kami di kelilingi oleh badut? Kemarin Hana, sekarang dia? Ayolah, katanya dosen, orang intelek, lalu apa ini? Astagfirullohaladziim. Aku beristigfar berulang, memohon diberi keluasan sabar. 'Ini Mas Uwik kemana sih, gue tinggal juga lama-lama' aku membatin.

"Schatz, maaf ya, kamu jadi nunggu lama. Jadi ke kantor kan, Yang?" tiba-tiba Mas Dwi muncul dari sampingku, tak melihat perempuan menyebalkan di depanku. Panjang umur, Pak Suami.

"Iya nih, Yang. Kamu dari mana aja? Ini lho mahasiswi kamu kok kurang ajar, main masuk ke mobil kamu aja." netraku membola demi mendengar ucapan dari Wena. Iya, dia Wena, yang sedari tadi mencerca tanpa jeda.

"Eh, ada Bu Wena, ada apa, Bu?"

"Loh kok Ibu lagi? Tadi udah bener manggilnya, sayang," rajuknya dengan suara yang dibuat semendayu mungkin, muak.

"Eh? Ibu salah paham. Tadi sa-"

"Udah, ga usah malu kalau di depan perempuan macam ini, biar dia sadar posisinya. Jangan mentang-mentang mau cepat lulus malah nyari jalan pintas seperti ini. Jangan sia-siakan masa mudamu, kamu harusnya sadar dan berpikir tentang masa depan yang benar!" nasehatnya membuatku memutar bola mata malas, sementara Mas Dwi yang perlahan mulai paham arah masalah ini, tampak memasang wajah dingin dan datar, khas ketika menahan kesal.

Aku tertawa, selain karena wajah Mas Dwi, juga karena ucapan Wena. Aku memanggilnya Wena tanpa embel-embel. Ku rasa tak masalah karena dia yang terlebih dahulu memulai.

"Malah ketawa, kan, ini hasilnya kalau ngga dengerin apa yang orang tua ajarkan! Ga ada hormatnya sama yang lebih tua." ia tampak semakin murka.

Sebelum terjadi keributan, aku menyodorkan sebuah amplop.

"Dateng ya, mohon maaf, suami saya nggak pengen nyari istri lagi, kalau kata dia, saya aja ngga abis-abis. Hehehe ...." aku tertawa garing. "Mas Uwik dah punya maung, itu saya, yang kata anda open BO," lanjutku.

"Apa?! Dia bilang apa?? Ibu jangan seenaknya ya! Ini istri sah saya! Saya nggak terima, Bu. Telpon Ojik, Yang. Biar kita selesaikan dengan hukum!" titahnya, aku menghembuskan nafas kasar, ini biasanya yang paling kalem dia, yang paling tenang juga dia, sekarang kenapa jadi galak gini?? Dua hari ini ia terus menggerutu tentang orang-orang toksik di sekitarku.

"Udah ah, malu di lihatin mahasiswa! Ayo, katanya mau ke kantor." Aku mengelus lengannya, sementara ia masih menatap datar pada Wena. "Tatap terooos, masih lama ga nih? Aku tinggal aja ya?!" seruku, dan seketika mengalihkan perhatian Mas Dwi dari Wena.

"Iya, Sayang. Ayo," sahutnya.

"Mas, Mas Hadian beneran udah nikah? Kok ga bilang ke saya? Jadi selama ini saya salah paham dengan perhatian Mas?"

"Dih, udah manggil mas aja sih." Aku misuh-misuh sembari menyangga daguku dengan kedua tangan, sepertinya drama ini akan sedikit lama.

"Buat apa? Lagi pula anda ini yang ndableg! Saya kan sudah bilang jangan mendekat! Semakin saya ngomong, semakin gencar pula reaksi anda. Andai saya tidak memperhitungkan harga diri anda di depan mahasiswa dan dosen lain, mungkin sedari dulu saya memaki. Atau harusnya itu yang saya lakukan dulu agar anda tak seperti ini? Sudahlah, Bu, hubungan kita memang hanya sebatas rekan kerja, tak lebih, harusnya dulu sewaktu saya tahu anda menyebarkan kabar tak benar, saya menyanggahnya, tapi saya terlalu sibuk hingga tak peduli dengan kabar tak menyenangkan itu."

"Dari dulu, saat ini sampai lusa dan seterusnya, perasaan saya cuma buat istri saya, dan anda tak berhak untuk turut campur. Sudah jelas ya, Bu Wena Juliani. Untuk selanjutnya, jika anda menyinggung Adara lagi, saya tak segan untuk bertindak tegas! Selamat pagi"

Setelah berkata panjang lebar, akhirnya Mas Dwi masuk juga, kami sudah berada di luar lingkungan fakultas biologi. Sekilas, tampak Wena masih berada di tempat semula, kasihan sih, tapi mau bagaimana lagi, untuk mencegah sebelum terlambat.

"Kasihan, tapi dia juga nyebelin," gumamku.

"Biarin aja, kamu ini lho, dek. Cepet banget kasihan sama orang."

"Ck, lagian Mas dari kemarin bertanduk terus."

"Kan Mas gemes, Yang. Heran, di sekeliling kamu banyak banget tanah sengketa," ucapnya yang membuatku heran.

"Dimana? Suruh Ryan yang selesaiin kalo masalah tanah dan sejenisnya."

"Itu, si Hana sama emaknya, hari ini si Wena. Bermasalah semua, mungkin emang terbuat dari tanah sengketa."

Pedas ya, bund.

"Hahaha, yaudah, jangan di pikirin. Bikin pusing."

Sepanjang perjalanan aku hanya mendengar omelan keresahan Bapak Firdaus Dwi Rahadian, sesekali aku menanggapinya dengan tawa. Ternyata di balik sifat sabar yang selama ini ditampakkan, tersimpan jiwa julid yang terpendam. Ojik di gabung Amri dan Ian saja kalah. Tapi aku suka, dia yang lebih terbuka dan ekspresif seperti ini.

"Babe, aku ga tahu kalo kamu julid tuh ngalahin Mak Odah, tetangganya Amri. Padahal tiap kami ngejulid, kamu yang paling anti dan jadi rem. Kayanya kamu ketularan kita deh, betapa kasihan jiwa julidmu terkurung dan meronta." aku tertawa disambut pelototannya.

"Ngga gitu juga, Yang. Aku ga suka ada orang yang ngejelekin kamu. Siapapun itu, sampe besok si Hana bikin drama lagi, dia bakal nyicipin makanan sel."

"Ahahaa, iya, iya. Tapi, mas, ngeliat Mas yang ekspresif gini rasanya pengen trial jadi Meimei."

"Meimei siapa? Kartun negara tetangga? Kenapa coba pengen jadi tokoh itu?" tanyanya heran.

"Jadi pengen bilang, Aya suka, Aya suka." Aku menirukan ucapan Meimei lengkap dengan ekspresinya yang membuat Mail ingin muntah.

"Ya Allah, Ay. Ke kantornya besok aja, yuk!"

"Lah, ngapa? Tinggal satu belokan lagi nyampe ini."

"Besok aja, lagian ga ada yang urgent ini. Ada yang lebih mendesak lagi."

"Apaan emang?"

"Pengen ngelonin istri, gemesin banget!"

"Idiiiiiiiihhh!" teriakku.

\=\=\=

"Astagfirullohaladziim" aku beristigfar sedang Mas Dwi sudah batuk tersedak karena tingkah empat manusia absurd di panggung sana. Sepertinya otak mereka sedikit bergeser karena kebanyakan lembur.

Keempat lelaki itu, dengan kostum yang ku tahu adalah pakaian tradisional salah satu suku di Afrika sana, yang mereka dapat entah darimana memegang alat musik masing-masing. Ryan dengan bass dan sebagai vokal utama seperti biasanya, Amri dengan senyum jumawa menenteng simbal tangan dengan merk Pearl, Ojik tak kalah heboh dengan timpani (drum perkusi) sedang Ian sudah siap dengan gitarnya. Entah apa yang akan mereka lakukan dengan semua itu dan kapan mereka mempersiapkan semua ini?

Tamu undangan kami tampak bersorak heboh begitu mereka mulai beraksi. Tak dapat ku tahan tawaku, ketika intro mulai di mainkan, sesaat, segala aktifitas di acara ini terhenti, semua memberikan atensi mereka pada panggung musik di bawah pohon akasia. Resepsi kami memang di ruang terbuka, di halaman depan rumah baru kami, mengingat cuaca memang cerah walau malam hari. Tak ada pelaminan seperti umumnya, kami berbaur dengan tamu undangan.

Kembali pada empat lelaki aneh di stage, Ryan dengan sepenuh hati mengeluarkan suara terbaiknya, diikuti nada seriosa dari Amri yang sesekali memainkan simbal yang ada di tangannya. Sungguh, mereka begitu totalitas dengan penampilan perdana mereka berempat malam ini. Mereka membawakan lagu lawas The Lion Sleeps Tonight yang mereka remake sendiri. Walau terlihat konyol, tapi mereka mampu menghipnotis semua yang ada disini, bahkan tak sedikit yang mulai mengeluarkan ponsel dan mengarahkan pada mereka.

Sedang para istri mereka mulai rusuh menyuruh mereka turun, namun tak di hiraukan. Mereka begitu menghibur malam ini, ah, beruntungnya aku memiliki orang-orang seperti mereka. Apalagi yang ku cari? Hidupku sungguh sempurna karena di kelilingi oleh mereka yang layak dan pantas ku sebut keluarga. Iya, kini mereka yang ku panggil sahabat telah menjadi keluarga berhargaku. Aku tertawa, sekali lagi, mendengar bisik lelaki penyempurna hidupku,

"Ini mereka mau perform atau nyuruh kita tidur sih? Liriknya itu loh."

"Heh, jangan mulai julid! Penulis aslinya aja baru kemarin-kemarin nerima royalti dari lagu yang akhirnya populer karena jadi soundtrack si simba," balasku.

Suamiku itu akhirnya mengalah, kembali mendengarkan suara khas Ryan.

"Ga ikutan, Yang?" tanyaku.

"Nggak, orang-orang tahunya aku buta nada, cukup kamu aja yang tahu suaraku gimana. Kalo mau denger, ntar aja, ga pake twinkle little star lagi ya, pake ini aja," cengirnya.

"Ahahaa, iya, Bae. Pengen denger kamu nyanyi lagu ini. Yaudah, jangan nyanyi depen orang lain, apalagi si onoh." Lirikku pada Wena yang tengah memperhatikan kami. Mas Dwi merangkulku yang tentunya ku balas.

"Moga Wulan sama Ima ngga kontraksi mendadak abis ini." ia mulai lagi dengan julid nya dan langsung ku tepuk keras.

"Makanya jangan doain yang jelek!"

"Nggak, Yang. Ampun." Ia tertawa setelahnya.

"Schazt, genug! Lache nicht mehr, ich falle!" seruku.

"Hah? Jatuh kemana?" ia menatapku terheran, sementara ia semakin mengeratkan rangkulannya di pinggangku.

"Verliebe dich immer wieder in dich." kerlingku padanya, dia menatap gemas padaku.

"Pinter ya gombalnya! Awas aja ntar kalo udah selesai ini! Lagian ini kapan kelarnya sih?!"

"Ya sabar atuh, Pak Hadian! Dua jam lagi palingan"

"Ck, lama! Padahal mau usaha buat nambah anggota keluarga ini," desisnya, aku sekali lagi menepuk punggungnya.

"Ich liebe dich, mein mann," bisikku. Ia langsung menarik paksa aku untuk masuk rumah. Masih ku dengar suara Ryan, aku menoleh ke arah panggung, dan memberikan simbol heart pada mereka, yang mereka sambut dengan tawa, seperti paham situasiku.

"Selamat lebur Adara!" teriak Amri, yang tentu semua yang ada disana menoleh pada kami, ah, Amri tetaplah Amri, bangke memang!.

...\=\=\=\=\=\=\=\=...

Translate

-Schazt, genug! Lache nicht mehr, ich falle

(Sayang, cukup! Kamu bisa bikin aku jatuh}

_Verliebe dich immer wieder in dich

(Jatuh cinta lagi dan lagi sama kamu)

1
Anjan
gitu dong, ngaku!
Anjan
Slice of life nya dapat banget, humornya juga dapet. Semangat, Kakak author!
Anjan
enteng kali si jule
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!