Cantik, cerdas dan mandiri. Itulah gambaran seorang Amara, gadis yang telah menjadi yatim piatu sejak kecil. Amara yang seorang perawat harus dihadapkan pada seorang pria tempramental dan gangguan kejiwaan akibat kecelakaan yang menimpanya.
Sanggupkah Amara menghadapi pria itu? Bagaimanakah cara Amara merawatnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SHIRLI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seperti maling tertangkap basah
Amara membawa nampan berisi makanan lengkap dengan segelas jus jeruk menuju kamar Dimas. Meski dengan rasa was-was, ia memberanikan diri dan tetap berusaha menjalankan tugasnya dengan baik. Berbekal jarum suntik juga tentunya.
"Assalamualaikum," ucap gadis itu setelah membuka pintu yang sudah ia ketuk terlebih dahulu. Dengan senyum manis menghiasi wajahnya, Amara melangkah mendekati Dimas dengan langkah tenang.
"Bawa apaan lo?" Dimas bertanya dengan nada ketus tanpa menoleh pada yang ditanya. Tampak sibuk dengan ponselnya, lelaki itu masih dalam posisi yang sama sebelum Amara meninggalkannya tadi.
"Saya membawakan hidangan sarapan untuk Mas Dimas. Nasi goreng kesukaan Mas Dimas masakan Bi Eli." Amara yang berdiri tak jauh dari Dimas sedikit menurunkan posisi nampan itu agar Dimas bisa melihat isinya dengan jelas.
"Lo nyuruh Bi Eli masak buat gue?" sembari melirik pada Amara, Dimas bertanya dengan menunjukkan ketidaksukaannya.
"Tidak Mas, Bi Eli sudah menyiapkannya sejak tadi, kok." Amara membantah dengan tegas untuk meyakinkan Dimas. "Silahkan dimakan Mas, mumpung masuh hangat," ucapnya dengan antusias sambil menyodorkan nampan itu pada Dimas.
Bukannya menerima nampan itu, Dimas malah membuang muka. "Gue nggak mau makan masakan Bi Eli!" ucapnya seketika dengan wajah dingin tanpa dosa.
"Hah? Loh, kenapa Mas? Biasanya juga Bi Eli yang masak buat Mas Dimas, kenapa sekarang mendadak nggak suka?" protes Amara dengan sikap Dimas yang nampak aneh tiba-tiba. Entah mengapa ia mencium bau-bau tidak beres dari perilaku Dimas.
"Emang iya," jawab Dimas cepat. "Tapi selama gue sakit, lo yang bertanggung jawab atas kesehatan gue, kan? Jangan tanggung-tanggung dong! Lo juga harus perhatikan makanan yang gue konsumsi. Termasuk menyiapkan dan mengolahnya dengan tangan lo sendiri."
"Jadi saya sendiri yang harus masak makanan untuk Mas Dimas?" tanya Amara dengan intonasi yang meninggi. Matanya pun membulat sempurna seolah-olah tak percaya.
"Iya, lah! Kenapa? Nggak mau?" Sambil bersedekap dada, Dimas memberondong Amara dengan pertanyaan bernada meremehkan. "Kalau nggak mau, lo tinggal out saja dari rumah ini, gampang kan? Nggak usah khawatir, bayaran lo tetep utuh, kok!" imbuhnya sambil tersenyum bangga.
Kok jadi aku yang disuruh masak. Aku mana bisa? Paling mentok juga numis kacang panjang. Lalu kalau dia minta makanan yang ribet-ribet bagaimana?
Dimas terseyum menatap Amara yang tampak sedang berpikir. Dan saat pandangan mereka bertemu, ia pun berucap untuk memastikan. "Gimana? Gue kurang baik apa coba. Udah bebasin lo dari pekerjaan, dengan gaji utuh pula. Keren ya kan," tuturnya dengan alis yang turun naik.
Amara menyunggingkan senyum sangat manis. Namun Dimas tahu senyuman itu terlihat dipaksakan. "Mau. Saya mau masak buat Mas Dimas." Amara menjawab cepat
Dimas mendengkus sambil memalingkan wajahnya. Sial. Kenapa dia mau, sih! Harusnya dia pilih pergi dengan gaji utuh. Lalu kenapa memilih bertahan dan menambah pekerjaan? Trik yang kupakai gagal ternyata. Sepertinya aku perlu mencoba cara lain lagi kalau begini caranya.
Memasang wajah sinis, Dimas menoleh dan melirik Amara dengan sorot tajam. "Terus ngapain lo masih berdiri di sini? Buruan masak sana!"
Amara tergagap dan langsung menganggukkan kepalanya. "I-iya mas. Kalau begitu saya permisi," pamitnya, lalu segera mengayunkan langkahnya menuju pintu dengan tangan masih membawa nasi goreng yang tak dianggap itu.
"Hey, tunggu!"
Panggilan Dimas membuat Amara menghentikan langkahnya seketika. Tangan yang sudah menyentuh pegangan pintu mendadak gemetar seiring jantung yang mulai berpacu lebih kencang. Apa lagi, sih? batinnya geregetan.
Berusaha bersikap tenang dengan tersenyum yang dipaksakan, Amara pun berbalik badan. "Ya Mas, ada apa?"
"Sini lo!" Dimas menjentikkan jari telunjuknya agar Amara mendekat.
Amara melangkah pelan sembari menggigit bibir bawahnya. Kewaspadaannya pun ia tingkatkan dan berhenti di posisi yang menurutnya aman dengan sedikit lebih jauh dari Dimas.
Dimas berdecak. "Maju sini agak deketan!"
Amara meringis sambil menganggukkan kepala. "Iya Mas," ucapnya. Lantas mendesah pelan sebelum kemudian melangkah mendekat dengan mimik terpaksa.
Amara tampak kikuk saat Dimas mengamati dirinya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tentu saja hal itu membuatnya merasa tidak nyaman, hingga pandangannya tertuju pada Dimas dengan sorot penuh peringatan.
Sembari mendengus kesal, gadis berkulit putih itu memberanikan diri untuk bertanya. "Kenapa menatap saya seperti itu?"
Dimas berdecih mendengar pertanyaan Amara. "Maksud lo apa? Lo pikir gue tertarik sama tubuh lo yang biasa aja ini? Ih, sorry ya, gue nggak minat!" ucap Dimas dengan nada meremehkan.
Amara terseyum kecut dengan semburat rona merah di pipinya. Bibir Dimas yang selalu nyeplos tanpa penyaringan tak jarang membuatnya wirang. Amara hanya bisa menelan ludah saat laki-laki itu berkali-kali memaki. Bahkan kadang menghinanya. Ia hanya menganggap hal itu bukan apa-apa selama umpatan itu terlontar dari bibir orang gila seperti dia. Hehehe.
Namun melihat ekspresi Dimas yang menatapnya penuh selidik itu tak urung membuatnya penasaran. Ia pun balas memperhatikannya dengan kening yang berkerut. "Lalu kenapa melihat saya seperti itu?"
Dimas terseyum miring lalu menadahkan tangannya. "Keluarin sesuatu yang ada disaku baju lo!" titahnya sambil mengedikkan dagu.
Amara sontak membulatkan mata. seharusnya ia tak perlu terkejut saat Dimas mengetahui tempat penyimpanan benda keramat yang sudah pernah dicicipinya juga. Lelaki itu pasti tau ia merogohnya dari saku sebelum menyuntikkan benda itu.
Tak ingin membuat Dimas curiga, ia berusaha bersikap tenang seolah-olah tak menyembunyikan apa-apa.
"Saya nggak nyimpan apa-apa di saku baju kok Mas, beneran." kilahnya sambil tersenyum yang dibuat semanis mungkin.
Namun rupanya Ia tetap tak bisa menipu Dimas begitu saja. Sebab lelaki itu sudah menangkap bahasa tubuhnya yang salah tingkah.
Dengan tubuh kaku, Amara menggeser kakinya dan menarik diri untuk menjauh dari Dimas.
Seperti maling yang tertangkap basah, Amara bersikeras menyembunyikan jarum suntikan meski ujungnya yang sedikit menonjol itu bisa dilihat jelas oleh tatapan awas Dimas.
Dimas berdecak sambil mengibaskan tangannya yang masih menggantung di udara. Seringainya muncul untuk mengekspresikan rasa jengkel. "Ngapain lo menjauh kaya gitu? Sini mendekat! Gue tau lo nyembunyiin sesuatu di saku. Iya kan! Ngaku lo!"
Amara menggelengkan kepalanya. Gadis berjilbab itu masih keras kepala dan tak mau mengakui.
Dimas yang merasa kesal akhirnya beranjak dari tempatnya. Ia lantas melangkah pelan mendekati Amara dengan tatapan penuh ancaman.
Merasa terintimidasi, Amara sontak menarik diri dengan perlahan melangkah mundur. Ia menggigit bibir bawahnya yang memucat.
Bayangan ngeri mendapatkan suntikan itu lagi membuat tubuhnya gemetar hebat dan berimbas pada nampan yang bergetar dalam pegangannya. Amara membelalak terkejut saat Dimas meraih dan mencengkeram lengannya. Sementara tangan lain lelaki itu berusaha merogoh sesuatu dari saku.
Dimas terseyum penuh kemenangan setelah mendapatkan apa yang dicarinya. Pandangannya kemudian berpindah pada Amara yang tengah memalingkan wajah seolah sedang menghindar. "Ini apa hah!" sentaknya sambil menunjukkan suntikan itu di depan mata Amara.
Bersambung
kasih bonus dong 😘😘😘
😨😨