Kirana tak pernah menyangka, bujukan sang suami pulang ke kampung halaman orang tuanya ternyata adalah misi terselubung untuk bisa menikahi wanita lain.
Sepuluh tahun Kirana menjadi istri, menemani dan menjadi pelengkap kekurangan suaminya.
Kirana tersakiti tetapi tidak lemah. Kirana dikhianati tetapi tetap bertahan.
Namun semuanya berubah saat dia dipertemukan dengan seorang pria yang menjadi tetangga sekaligus bosnya.
Aska Kendrick Rusady, pria yang diam-diam menyukai Kirana semenjak pertemuan pertama.
Dia pikir Kirana adalah wanita lajang, ternyata kenyataan buruknya adalah wanita itu adalah istri orang dengan dua anak.
Keadaan yang membuat mereka terus berdekatan membuat benih-benih itu timbul. Membakar jiwa mereka, melebur dalam sebuah hubungan terlarang yang begitu nikmat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mei-Yin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Puber kedua?
Saat Kirana terbangun, dia sudah tak mendapati pria yang semalam memeluknya. Kakinya menapak turun, mencari pria tersebut tetapi tak juga ditemukan. Dia hanya sendirian.
Saat tangannya mengambil ponsel, matanya terbelalak lebar saat melihat jam yang terpampang di layar. Pukul sepuluh pagi, dan dia benar-benar merasa selama mendapatkan masalah jam tidurnya tak menentu. Terkadang dia harus terbangun tengah malam dan terjaga sampai pagi, tetapi malam tadi dia begitu lelap hanya karena sebuah pelukan.
“Ke mana Kendrick pergi?” Segera tubuhnya menghilang masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri sebelum turun untuk sarapan.
Saat masih merias diri di depan cermin, Kirana menoleh saat melihat pintu kamar terbuka.
“Kamu darimana, Ken?”
“Gereja,” sahut Kendrick singkat, bibirnya mengulas senyum tipis.
“Kenapa tidak mengajakku! Dasar menyebalkan,” gerutu Kirana, jika tahu pasti dia akan ikut pergi.
“Kamu begitu terlelap. Aku tak tega mengganggu.”
“Aku lapar, bisa kita sarapan dulu?” Kendrick menganggukan kepala. Dia segera menarik lembut tangannya.
“Kita bisa sekalian membeli ponselmu,” kata Kendrick.
“Oke,” sahut Kirana tanpa penolakan.
Keduanya berjalan menuju restoran yang terletak di lantai dua. Tangan Kendrick terus menggenggam dan enggan terlepas, membuat Kirana sedikit merasa canggung jika dilihat banyak orang.
“Bersikaplah seperti biasa. Tidak ada yang mengenal kita di sini,” bisik Kendrick lembut.
Entah mengapa melihat sikap Kendrick yang begitu hangat dan perhatian, membuat sudut hatinya terasa berbunga-bunga.
“Makanlah dengan benar, Kirana.” Pria itu mengusap sudut bibirnya lembut, tatapan matanya terasa begitu menenangkan.
“Makasih.”
Seusai sarapan, keduanya melesat meninggalkan hotel menuju pusat perbelanjaan. Mobil yang telah disediakan hotel membantu perjalanan mereka ke manapun.
Kendrick langsung mengajaknya ke sebuah toko iPhone dan tanpa meminta persetujuan langsung menyebut ponsel keluaran terbaru dengan harga puluhan juta.
“Aku nggak butuh ponsel mahal. Asal bisa dipakai buat kirim pesan dan telepon, udah. Jangan beli yang terlalu mahal.” Kirana berbisik pelan, takut terdengar oleh pegawai di sana.
“Diam, Kirana!” sahut Kendrick, memutar bola mata jengah.
“Silakan pilih warna yang Anda inginkan, Nona. Ada hitam, putih, gold dan rose gold.”
Kendrick langsung memberikan tatapan tajam, memintanya segera memberikan jawaban.
“Rose gold,” jawabnya.
Karyawan tersebut tersenyum ramah. “Pilihan Anda bagus, Nona. Rose gold memang warna yang sedang banyak dicari.”
Setelah semua selesai, Kirana berniat mengeluarkan kartu yang dimiliki, tetapi Kendrick lebih dulu menyerahkan kartu hitam miliknya.
“Pakai ini saja,” pungkasnya cepat.
“Tapi, Ken ....” Kendrick hanya diam, pria itu sepertinya tak berniat membahas hal tersebut.
Setelah ponsel mahal dengan harga puluhan juta sudah di tangan, mereka pergi meninggalkan toko tersebut.
“Aku akan mengganti uangmu,” ucap Kirana membuat pria itu mendengkus.
“Aku nggak butuh uang receh darimu,” sahut Kendrick dengan sombong.
“Kamu mau beli apalagi?” Kirana segera menggeleng tegas.
“Beli aja sesukamu, atau perlu satu mall ini kuberikan untukmu?”
Bugh!
Kirana memukul bahu pria itu dengan paper bag.
“Sembarangan kalau ngomong,” sahutnya.
Keduanya terkekeh dan tersenyum dengan penuh kebahagiaan. Mereka bergandengan tangan seperti sepasang kekasih, atau lebih tepatnya pasangan lapuk mengingat usia keduanya sudah tak muda lagi.
Apakah ini yang dinamakan puber kedua?
...✿✿✿...
Seharian ini Kirana dan Kendrick menikmati waktu bersama. Menghabiskan harinya berjalan-jalan dan menikmati suasana Singapura bersama orang lain, yang bukan pasangan sesungguhnya.
Kirana menikmati setiap perlakuan hangat Kendrick yang membuatnya merasa begitu penting. Pria itu selalu bertanya dan mengutamakan dirinya.
Inilah perasaan yang juga dirasakan dulu bersama dengan Zidan, perasaan dicintai, tetapi kini semuanya hancur tak bersisa. Semuanya lenyap hanya dalam waktu singkat.
Cintanya dicampakkan, kesetiannya diabaikan, perjuangannya tak dihargai sama sekali.
“Melamun terus,” ucap Kendrick, mencium pelipisnya. “Apa yang kamu pikirkan?”
“Nothing,” balas Kirana disertai segaris senyum tipis di sudut bibirnya.
“Aku masih menunggu jawabanmu, Kirana.”
“Untuk?”
“Bercerai dan menikah denganku.”
Kirana menoleh, menatap Kendrick sepenuhnya. Berkali-kali dia menginginkan hal tersebut, akan tetapi perceraian tak akan semudah itu.
“Aku harus ngomong sama anak-anak dulu, Ken. Itu nggak semudah yang terucap.”
“Kamu hanya harus ngomong sejujurnya dan semuanya selesai.”
“Dan membiarkan anakku terluka? Aku nggak akan melakukan itu, Ken.”
“Sampai kapan?”
Kirana menggeleng lemah. “Sampai anakku paham dan mengerti akan keputusan perpisahan orang tuanya.”
“Mereka akan mengerti saat sudah beranjak dewasa.” Kendrick sedikit meninggikan suaranya, berbicara dengan Kirana memang tak mudah karena wanita itu selalu mengutamakan anaknya dibandingkan dirinya sendiri. Dia mengerti karena sebagai ibu perasaan untuk anak-anaknya begitu kuat.
Kirana mengusap wajahnya kasar, dia terisak pelan. Pikirannya kacau ketika memikirkan kedua anaknya. Entah mengapa bayangan ketakutan sudah mulai menghantui sejak dia selalu mengatakan kalimat cerai dari bibirnya.
Ketakutannya bukanlah soal menjadi janda. Lebih dari itu, dia takut tentang pertanyaan yang akan dilontarkan sang anak tentang ayah mereka.
“Jangan menangis, Kirana. Semuanya bisa diselesaikan, pasti ada jalan keluarnya.” Kendrick menariknya, memeluk dan mendekap erat tubuh yang bergetar tersebut.
“Aku takut, mereka ... mereka akan kecewa denganku.”
“Itu hanya ketakutan yang kamu buat sendiri.”
“Apa yang harus —” Kendrick segera membungkam bibirnya dengan kecupan lembut, menghentikan segala ucapan dan ketakutan yang akan dilontarkan.
“Aku akan selalu berada di sisimu.”
To Be Continue ....