Prang!!!
Seeeeettt!!
Hujan deras menyelimuti malam ketika Hawa Harper mendapati sebuah mobil mewah terguling di jalan sepi. Di balik kaca pecah, ia melihat seorang pria terluka parah dan seorang anak kecil menangis ketakutan. Dengan jantung berdebar, Hawa mendekat.
“Jangan sentuh aku!” suara pria itu serak namun tajam, meski darah mengalir di wajahnya.
“Tuan, Anda butuh bantuan! Anak Anda—dia tidak akan selamat kalau kita menunggu!” Hawa bersikeras, melawan ketakutannya.
Pria itu tertawa kecil, penuh getir. “Kau pikir aku percaya pada orang asing? Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti lari, bukan menolong.”
Tatapan Hawa ragu, namun ia tetap berdiri di sana. “Kalau aku lari, apa itu akan menyelamatkan nyawa anak Anda? Apa Anda tega melihat dia mati di sini?”
Ancaman kematian anaknya di depan mata membuat seorang mafia berdarah dingin, tak punya pilihan. Tapi keputusan menerima bantuan Hawa membuka pintu ke bahaya yang lebih besar.
Apakah Hawa akan marah saat tahu kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Hawa Tersipu
Pagi hari mentari Dubai bersinar cerah, memancarkan sinarnya ke setiap sudut balkon hotel yang dihuni Hawa, Harrison, dan Emma. Suara burung-burung yang jarang terdengar di kota metropolitan ini terdengar samar, mengiringi pagi yang tak biasa bagi Hawa.
Hawa berdiri di depan cermin, mengenakan gaun sederhana berwarna krem yang jatuh lembut hingga lututnya. Rambutnya dibiarkan terurai, memberikan kesan natural namun anggun. Wajahnya memerah saat mengingat kejadian semalam, ketika Harrison dengan penuh keyakinan menyatakan cintanya dan memberikan perhiasan berlian yang kini melingkar manis di pergelangan tangannya.
Hawa menatap gelang itu sesaat, tersenyum sendiri. "Apa benar ini semua terjadi?" gumamnya, masih merasa seperti bermimpi.
Pintu kamar terbuka perlahan, menampilkan Harrison yang sudah rapi dengan kemeja biru muda dan celana panjang hitam. Senyum tipis menghiasi wajahnya yang biasanya tampak dingin. Namun kali ini, tatapannya begitu lembut, seperti sinar mentari yang menghangatkan hati.
"Hawa, Emma sudah menunggumu di ruang makan. Dia sangat semangat untuk sarapan bersama," ujar Harrison sambil menyandarkan diri di pintu.
Hawa mengangguk pelan. "Aku akan segera ke sana. Maaf membuat kalian menunggu."
Harrison melangkah mendekat, lalu berhenti tepat di hadapannya. "Tidak perlu minta maaf. Lagipula, menunggumu bukanlah sesuatu yang buruk," katanya dengan nada rendah namun penuh makna.
Hawa menunduk, wajahnya kembali memerah. "Mas Harrison... kau terlalu berlebihan."
Harrison tertawa kecil. "Kalau begitu, ayo. Jangan biarkan Emma terlalu lama menunggu. Dia pasti sudah menyiapkan sesuatu untuk mengerjaimu."
Saat Hawa dan Harrison tiba di ruang makan hotel, Emma sudah duduk di meja, menyambut mereka dengan senyum lebar. Gadis kecil itu tampak begitu ceria, mengenakan gaun biru muda yang serasi dengan warna kemeja Harrison.
"Kak Hawa! Akhirnya datang juga. Aku pikir Kak Hawa lupa kalau ini pagi terakhir kita di sini," ujar Emma dengan nada jahil.
Hawa tertawa kecil. "Maaf, Emma. Aku hanya butuh waktu sedikit lebih lama untuk bersiap."
Emma menyipitkan mata, menatap Hawa dengan tatapan menggoda. "Hmm, Kak Hawa kelihatan beda pagi ini. Apa karena gelang itu?"
Hawa terkejut, lalu refleks menyembunyikan tangannya di balik meja. "Emma, jangan bercanda..."
Namun, Emma tidak menyerah begitu saja. Ia mendekatkan wajahnya ke arah Hawa, lalu berkata dengan suara berbisik yang cukup keras untuk didengar Harrison, "Apa Kak Hawa sekarang pacar Papa?"
Hawa tertegun, sementara Harrison hanya tersenyum tanpa berkata apa-apa. Wajah Hawa memerah seketika, dan ia tidak tahu harus bagaimana menjawab pertanyaan itu.
Melihat reaksi Hawa, Emma tertawa kecil, lalu berseru, "Aku tahu jawabannya! Kak Hawa dan Papa sudah pacaran, kan? Aku suka sekali! Sekarang aku punya keluarga lengkap!"
Hawa menatap Harrison, meminta bantuan, namun pria itu hanya mengangkat bahu sambil tersenyum jahil. "Emma, jangan membuat Kak Hawa malu," ujar Harrison akhirnya, meski nada bicaranya menunjukkan bahwa ia menikmati situasi ini.
"Kak Hawa cantik kalau malu," tambah Emma sambil tertawa, membuat Hawa menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Harrison yang melihat itu hanya tersenyum lebar. "Emma, cukup. Biarkan Kak Hawa menikmati sarapannya dengan tenang," ujarnya sambil mengusap kepala putrinya.
Meskipun malu, Hawa merasa hangat di tengah kejahilan Emma dan perhatian Harrison. Sarapan pagi itu terasa begitu harmonis, penuh canda dan tawa yang membuat mereka bertiga semakin dekat.
Setelah selesai berkemas, mereka bertiga berangkat ke bandara. Ares sudah menunggu di lobi hotel, memastikan semua keperluan mereka terpenuhi. Namun, yang menarik perhatian Ares adalah perubahan sikap Harrison. Pria yang biasanya dingin dan tegas itu kini tampak lebih santai, bahkan tersenyum lebar saat berbicara dengan Hawa dan Emma.
"Ares," panggil Harrison sebelum masuk ke mobil. "Pastikan jadwal kita tidak terganggu. Aku ingin Hawa dan Emma merasa nyaman sepanjang perjalanan."
Ares mengangguk, namun dalam hatinya ia tersenyum kecil. "Sepertinya Tuan Harrison benar-benar telah menemukan seseorang yang mampu mengubahnya," pikirnya.
Di pesawat, Harrison memilih duduk di sebelah Hawa, sementara Emma duduk di kursi lain yang tidak jauh dari mereka. Gadis kecil itu tertidur pulas setelah lelah bermain di bandara.
Harrison memperhatikan Hawa yang tampak menikmati pemandangan dari jendela pesawat. "Hawa," panggilnya pelan.
Hawa menoleh, wajahnya terlihat tenang namun sedikit penasaran. "Ya, Mas?"
Harrison menggenggam tangan Hawa, membuat wanita itu terkejut. "Aku ingin kau tahu, aku sangat bersyukur kau ada di sini. Kau membawa kebahagiaan yang sudah lama hilang dari hidupku."
Hawa menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya yang memerah. "Mas Harrison... aku juga bersyukur bisa mengenalmu dan Emma."
Melihat Hawa yang malu-malu, Harrison tersenyum kecil, lalu tanpa ragu ia mencium kepala Hawa. Tindakan itu membuat Hawa terdiam, hatinya berdebar hebat.
"Mas!" bisiknya, mencoba protes, namun suaranya terdengar begitu lemah.
Harrison hanya tertawa kecil. "Maaf, aku tidak bisa menahan diri."
Saat pesawat mulai memasuki perjalanan malam, Harrison bahkan berani memeluk Hawa. Tangannya yang kuat namun lembut melingkari tubuh wanita itu, memberikan rasa aman yang belum pernah Hawa rasakan sebelumnya.
Hawa hanya bisa tersenyum kecil, membiarkan dirinya tenggelam dalam kehangatan pelukan Harrison. Ia tahu, momen ini akan menjadi salah satu kenangan terindah dalam hidupnya.
Ketika pesawat melanjutkan perjalanan panjang menuju tanah air, suasana di dalam kabin terasa hening, hanya terdengar suara mesin pesawat yang konstan. Emma masih terlelap di kursinya, sesekali menggeliat manja dalam tidurnya. Harrison dan Hawa tetap terjaga, menikmati momen kebersamaan yang begitu tenang namun penuh makna.
Harrison memandang Hawa yang duduk di sebelahnya. Tatapannya lembut, berbeda jauh dari kesan dingin yang selalu ia tunjukkan kepada dunia. Hawa menyadari tatapan itu dan memalingkan wajah, merasa gugup. Namun Harrison tidak berhenti. Ia menggenggam tangan Hawa yang berada di pangkuannya, membuat wanita itu menoleh kembali.
"Hawa," ucap Harrison pelan, namun tegas. "Aku tahu ini semua terjadi begitu cepat. Tapi aku tidak ingin ada keraguan di antara kita."
Hawa menatapnya, bingung namun tersentuh. "Keraguan apa, Mas Harrison?"
Harrison tersenyum kecil, lalu menatap Hawa dengan lebih serius. "Keraguan bahwa aku sungguh-sungguh ingin kau ada di hidupku. Bukan hanya untukku, tapi juga untuk Emma. Aku sudah yakin dengan perasaanku, dan aku ingin kau tahu itu."
Hawa terdiam, merasakan dadanya berdebar lebih kencang dari sebelumnya. Kata-kata Harrison begitu tulus, seperti angin sejuk yang menyapu hatinya yang perlahan mulai percaya pada cinta lagi.
"Mas Harrison," jawab Hawa pelan, suaranya nyaris seperti bisikan. "Aku... aku juga merasa bahwa hidupku berubah sejak aku bertemu denganmu dan Emma. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi aku... aku bahagia di sini, bersama kalian."
Harrison tersenyum, wajahnya terlihat lega mendengar jawaban Hawa. Ia kemudian mendekatkan wajahnya sedikit, hingga jarak di antara mereka hanya beberapa inci.
"Kalau begitu, tetaplah di sini, Hawa. Bersama kami. Jangan pergi," bisiknya dengan nada yang begitu dalam, seolah meminta janji yang tidak terucap.
Hawa hanya bisa mengangguk, tidak mampu berkata apa-apa. Air matanya menetes perlahan, bukan karena sedih, melainkan karena bahagia yang tak mampu ia gambarkan dengan kata-kata.
Melihat air mata itu, Harrison menghapusnya dengan ibu jarinya. "Jangan menangis. Aku tidak ingin kau merasa terbebani. Ini adalah pilihanku, dan aku akan memastikan kau tidak pernah menyesalinya."
Hawa tersenyum melalui air matanya, merasa seolah berada di tempat yang benar untuk pertama kalinya dalam hidupnya.
Saat malam semakin larut, pesawat memasuki zona yang lebih tenang. Lampu kabin diredupkan, menciptakan suasana yang lebih intim di antara penumpang. Harrison masih menggenggam tangan Hawa, dan kali ini, ia menarik wanita itu lebih dekat ke sisinya.
Hawa terkejut, namun tidak menolak. Ia membiarkan dirinya bersandar pada bahu Harrison, merasakan kehangatan dan rasa aman yang begitu kuat dari pria itu.
Harrison menyentuh rambut Hawa dengan lembut, bermain-main dengan ujungnya yang halus. "Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku merasa seperti ini," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Hawa menoleh sedikit, menatap Harrison dengan rasa ingin tahu. "Seperti apa, Mas?"
"Seperti aku benar-benar bisa percaya pada seseorang," jawabnya sambil menatap Hawa dengan tatapan penuh arti. "Setelah semua yang terjadi dengan pernikahanku yang lalu, aku pikir aku tidak akan pernah bisa merasakan ini lagi. Tapi kau... kau berbeda."
Hawa merasakan matanya kembali memanas, namun kali ini ia menahan air matanya. Ia tahu, ini adalah momen yang tidak bisa diulang.
"Terima kasih, Mas Harrison," ucapnya dengan suara bergetar. "Terima kasih sudah percaya padaku."
Harrison tidak berkata apa-apa lagi. Sebagai gantinya, ia memeluk Hawa dengan lembut, membiarkan wanita itu bersandar sepenuhnya padanya. Bagi Hawa, pelukan itu adalah bentuk kepercayaan yang lebih dari cukup untuk membuatnya yakin bahwa ia berada di tempat yang benar.
Saat pesawat mulai mendekati tanah air, Hawa akhirnya tertidur di bahu Harrison. Wajahnya terlihat begitu tenang, seolah semua beban hidupnya lenyap seketika. Harrison memandangi wajah wanita itu dengan penuh kasih, lalu tanpa ragu, ia mengecup keningnya sekali lagi.
"Aku akan menjagamu, Hawa. Kau dan Emma. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti kalian," bisiknya, meski ia tahu Hawa tidak mendengarnya.
Ares yang duduk di beberapa kursi di belakang mereka memperhatikan pemandangan itu dengan senyum kecil. Dalam hati, ia merasa lega. Harrison, pria yang selama ini ia hormati sebagai atasan, akhirnya menemukan seseorang yang mampu menyembuhkan lukanya.
Ketika pesawat akhirnya mendarat, Harrison membangunkan Hawa dengan lembut. Wanita itu membuka matanya perlahan, merasa sedikit bingung namun segera tersenyum ketika melihat Harrison.
"Kita sudah sampai?" tanyanya dengan suara serak karena baru bangun.
Harrison mengangguk sambil membantu Hawa duduk tegak. "Ya. Tapi jangan terburu-buru. Aku akan memastikan semuanya siap sebelum kita turun."
Emma yang juga baru bangun langsung meraih tangan Hawa. "Kak Hawa, aku senang sekali liburan ini! Terima kasih sudah membuat semuanya menyenangkan."
Hawa tersenyum lebar, lalu memeluk Emma dengan erat. "Aku juga senang, Emma. Kamu anak yang luar biasa."
Harrison melihat momen itu dengan senyum yang tidak bisa ia tahan. Dalam hati, ia merasa bahwa inilah awal baru bagi hidupnya. Dan kali ini, ia yakin tidak akan ada yang bisa menghancurkannya lagi.
Mereka bertiga berjalan keluar pesawat bersama, dengan tangan Harrison yang sesekali menyentuh punggung Hawa, memberikan rasa aman yang tidak tergantikan. Ini bukan hanya akhir dari perjalanan mereka di Dubai, tetapi juga awal dari kisah yang jauh lebih indah di masa depan.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, jangan lupa like dan komentarnya ya.
Terima kasih.