Nafisa, gadis istimewa yang terlahir dari seorang ibu yang memiliki kemampuan istimewa. Tumbuh menjadi gadis suram karena kemampuan aneh yang dimiliki.
Melihat tanda kematian lewat pantulan cermin, membuatnya enggan bercermin seumur hidupnya. Suatu ketika ia terpaksa harus berdamai dengan keadaannya sendiri, perlahan ia mulai berubah. Dengan bantuan sang sahabat, ia menolong orang-orang yang memiliki tanda kematian itu sendiri.
Simak kisah menarik Nafisa, kisah persahabatan dan cinta, juga perjuangan seorang gadis menerima takdirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cermin 28
Liburan keluarga yang bisa dibilang gagal menjadi awal terbukanya Fisa pada keluarga, Kia dan Husin meminta putrinya jujur, dengan ditemani Arjuna, Fisa menceritakan segalanya. Awalnya ia takut sang ibu marah, karena selama ini ibunya selalu menentang dirinya bersinggungan dengan yang tak kasat mata, sebisa mungkin menghindari mereka untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan terjadi.
Tapi, karena Fisa mengutarakan isi hati yang sebenarnya, bahwa ia mulai bisa berdamai dengan keadaan justru dengan tidak menghindari mereka, Kia pun mengalah. Ia hanya memastikan agar putrinya senantiasa berhati-hati, menjaga diri agar tidak terluka. Kia juga bercerita bahwa nenek Fisa dulu meninggal karena kemampuan yang dimiliki, saat sang nenek bertekad membantu mereka yang tak kasat mata.
“Fisa akan berhati-hati Ibu, tenang saja, cukup doakan Fisa,” ucapnya, membuat ibu dan ayahnya menghela nafas pasrah. Tak ada yang bisa mematahkan kehendak gadis itu lagi, beruntungnya Arjuna dengan kesadaran diri menawarkan akan selalu membantu Fisa dan menjaganya apapun yang terjadi.
“Astaga Arjun, kamu manis sekali Nak, bisa-bisa tante jadiin mantu kamu nanti,” kelakar Kia yang membuat semua orang tertawa, bahkan Husin pun tak lagi kesal seperti tadi, ia melihat sendiri bagaimana Arjuna memperdulikan putrinya.
“Ibu ih.” Fisa memukul pelan pundak ibunya, ia merasa malu.
“Nggak apa-apa kalau mau besanan, justru itu lebih baik, iya kan Yah?” Shella meminta persetujuan suaminya, dan Evan mengangguk mantap, sementara Arjuna tersipu malu.
***
Upacara sekolah baru saja usai, bel tanda masuk kelas berbunyi nyaring, para siswa dan siswi berebut kembali ke kelas masing-masing, termasuk Fisa dan Nuria. Namun, sebelum kembali ke kelas mereka menyempatkan diri ke toilet, dan di sana mereka tak sengaja mendengar beberapa siswi yang sedang asyik berghibah.
“Hey, kalian sudah dengar kabarnya si Alena?”
“Kenapa memangnya?” tanya gadis lain.
“Biasa, setelah kepergian Hana Alena cs kan nggak punya sasaran empuk lagi, jadi mereka suka tiba-tiba ngebully siswi random gitu. Nah kebetulan, gadis yang mereka ganggu terakhir kali menyimpan bukti perundungan itu, dan melaporkannya langsung ke kepala sekolah.”
“Terus-terus?”
“Yah tentu dilaporkan lah.”
“Syukurin tuh, bukannya sekolah bener malah jahat sama orang, bibit psikopat.”
“Eits, kamu salah, orang tua Alena datang, katanya sih minta kasus putrinya dilupakan. Yah kamu tau sendiri, uang yang bertindak, bisa apa coba pihak sekolah? orang bokapnya Alena donatur terbanyak sekolah kita.”
“Wah, ini sih nggak adil namanya.”
“Tapi kamu tenang aja, bokap Alena keras cuy, meski kasus putrinya diselesaikan tapi Alena sendiri nggak selamat, dia digebukin ayahnya sendiri di lorong dekat perpustakaan.”
“Kapan?”
“Sekarang, aku dengar dari Deren yang sengaja lewat sana, kita lihat yuk kita videoin. Gimana?”
“Oke, gas berangkat!”
Dua gadis itu berlalu pergi sambil cekikikan, setelah itu diam-diam Fisa dan Nuria keluar dari bilik toilet. Dua gadis itu saling berpandangan, mereka berdua syok mendengar cerita ini.
“Fis, apa kita lihat juga?” tanya Nuria.
“Buat apaan coba? meskipun Alena salah nggak harus kita bahagia diatas penderitaannya. Menurutku dihajar di lingkungan sekolah, keterlaluan nggak sih orang tuanya? bisa kan nanti tunggu pulang?”
“Maka dari itu kita harus lihat, kita nggak tahu kan dihajar ini model kek mana, palingan juga cewek tadi berlebihan, mana ada orang tua menghajar putrinya sendiri, palingan cuma dinasihatin,” jawab Nuria, masih berharap sang sahabat menuruti keinginannya. Jiwa keponya meronta-ronta.
“Justru itu Nuria, ngapain kita lihat itu? udah ah, kita kembali ke kelas saja.” Fisa menarik tangan Nuria, mengajaknya kembali ke kelas.
Nuria cemberut, meski begitu ia mengikuti Fisa tanpa membantah lagi. Di Tengah jalan mereka berjumpa beberapa lelaki membawa cermin besar, seorang guru memandu para lelaki itu menuju mushola di samping lapangan bola.
“Pelan-pelan ya Pak, pelan-pelan, musholanya ada di samping lapangan bola di belakang!” ucap guru muda itu.
“Pagi pak Afandi, cerminnya besar sekali Pak? mau dibawa kemana?” tanya Nuria iseng.
“Pagi juga, ini buat cermin mushola, yang disana pecah karena anak-anak main bola nggak hati-hati,” jawab guru muda itu.
“Oh begitu.” Nuria manggut-manggut.
Saat itulah Fisa melihat Alena berjalan beriringan dengan seorang lelaki paruh baya dan wanita berpakaian mewah dan dandanan tebal. Fisa mengira itulah orang tua Alena seperti yang diceritakan para gadis di toilet tadi. Alena berjalan sambil terus menunduk, sudut bibirnya berdarah sementara pipinya merah, Fisa merasa janggal melihat pemandangan ini.
Namun, rupanya bukan hanya dirinya yang menyadari hal ini, Nuria disampingnya menyiku lengannya, memberi kode agar Fisa lebih memperhatikan tangan Alena yang luka-luka.
“Benar-benar dihajar Fis,” bisiknya.
Ayah Alena berhenti dan berbalik menghadap sang putri, satu tangan menunjuk-nunjuk di depan wajah Alena yang masih terus menunduk. Sementara wanita disampingnya menyeringai senang, seolah-olah menikmati pemandangan di depannya.
Nafisa menghela nafas panjang, melihat wajah muda wanita itu ia yakin itu bukan ibu kandung Alena. Fisa mengalihkan pandangan, tatapan matanya terjatuh pada cermin yang berhenti diangkut dan diletakkan bersandar di dinding, entah kemana para lelaki tadi bersama pak Afandi.
Fisa menyesal melihat pantulan keluarga Alena dari cermin besar itu, sinar putih hampir menyentuh pusar di kaki sang wanita bermake up tebal, dan sinar berwarna ungu ada di kaki ayah Alena. Fisa reflek menggenggam tangan Nuria.
“Ada apa Fis?” Melihat tatapan mata sang sahabat tak beralih dari cermin, dengan nafasnya yang tersendat-sendat, Nuria mulai memahami apa yang terjadi. “Fisa, kamu lihat apa?”
“I-itu, ayah dan ibu Alena. Sesuatu akan terjadi pada mereka.”
....