“Apa ... jangan-jangan, Mas Aldrick selingkuh?!”
Melodi, seorang istri yang selalu merasa kesepian, menerka-nerka kenapa sang suami kini berubah.
Meskipun di dalam kepalanya di kelilingi bermacam-macam tuduhan, tetapi, Melodi berharap, Tuhan sudi mengabulkan doa-doanya. Ia berharap suaminya akan kembali memperlakukan dirinya seperti dulu, penuh cinta dan penuh akan kehangatan.
Namun, siapa sangka? Ombak tinggi kini menerjang biduk rumah tangganya. Malang tak dapat di tolak dan mujur tak dapat di raih. Untuk pertama kalinya Melodi membuka mata di rumah sakit, dan disuguhkan dengan kenyataan pahit.
Meskipun dirundung kesedihan, tetapi, setitik cahaya dititipkan untuknya. Dan Melodi berjuang agar cahaya itu tak redup.
Melewati semua derai air mata, dapatkah Melodi meraih kebahagiaan? Atau justru ... sayap indah milik Melodi harus patah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SPMM16
Nadia membasuh wajahnya yang sembab di wastafel, sedari tadi ia menangis di toilet rumah sakit. Penjelasan Dokter Andra tentang Melodi, membuat hatinya sedih. Ia hanya mampu berdoa, semoga semua kemungkinan buruk itu tidak akan pernah terjadi pada sahabatnya.
KRUCUK!
Perut wanita bertubuh gempal itu kembali berbunyi. Bukan karena lapar, melainkan nyeri akibat terlalu banyak mengkonsumsi sambal saat menyantap soto medan di kantin rumah sakit. Maklum saja, Nadia memang pecinta pedas. Belum turun bibirnya, belum lah berhenti.
"Memang betul kata orang tua zaman old, yang berlebihan itu nggak pernah baik. —Tapi, kalau uang yang berlebihan, kagak nolak gue." Gumamnya seraya membuka kembali pintu toilet dan kembali masuk ke dalam sana demi menuntaskan hajatnya.
Nadia menyeka keringat di keningnya yang sebesar biji jagung, lalu kembali fokus. Namun, fokusnya mendadak pecah ketika suara dua wanita perlahan-lahan memenuhi ruangan. Terlebih lagi yang mereka bicarakan adalah, Dokter Andra.
"Pasti cewek gendut tadi udah kegeeran tuh dideketin sama Dokter Andra."
"Itu udah jelas lah, Mir. Apalagi Dokter Andra itu dokter tertampan di rumah sakit ini. Hampir semua perawat di rumah sakit ini pada kesengsem sama dia."
"Bener itu. Kalau cewek-cewek berpendidikan kayak kita aja kesengsem sama ketampanan Dokter Andra, apalagi cewek nggak berpendidikan kayak tadi. Lihat aja tadi tuh sepatunya, norak banget, ‘kan?"
"Hahaha! Iya! Aku kira ular beneran, gila. Di jamin deh, sekarang ini dia lagi kegeeran, pasti dia mikir kalau Dokter Andra naksir sama dia."
"Bodoh kalau tuh cewek sampai lancang mikir begitu. Jelas-jelas Dokter Andra cuma kasihan doang sama dia. Kita yang spek nya kayak Camila Cabello aja dicuekin, apalagi yang kayak begitu? Iuuuuuhhhh, mana lah mau Dokter Andra sama di—"
BRAK!
"Ayam—ayam!" Teriak salah satu perawat yang bergunjing ketika Nadia membuka pintu dengan sedikit membanting. Keduanya terbelalak dan saling melempar pandang, orang yang mereka bicarakan ternyata ada di ruangan yang sama.
Nadia berjalan santai dengan wajah datar ke arah wastafel. Membasuh tangannya yang sudah dibalur sabun, dengan air mengalir. Kemudian ia menjentikkan sisa air di tangannya ke arah wajah dua perawat yang menggunjingkan dirinya.
Kedua perawat yang sedari tadi mengejeknya, kini saling bergandengan tangan. Jantung mereka berdetak kencang.
"Berpendidikan ya?" Nadia tersenyum tipis. "Lulusan apa kalian?"
"D3," sahut salah satu perawat dengan bangga.
"Oh, D3? Perkenalkan ya, saya yang kalian sebut-sebut sebagai wanita tidak berpendidikan ini, hanya tamatan S3." Nadia mengulurkan tangan, tetapi, sedetik kemudian ia kembali menarik tangannya. "Ah, maaf, saya lancang. Padahal pendidikan kita tidak setara, bisa-bisanya saya begitu kurang ajar ingin menjabat tangan kalian."
Wajah kedua perawat perlahan-lahan memerah.
"Denger ya baik-baik," Nadia berkacak pinggang. "Bukan Dokter Andra yang tidak mau sama saya, tapi, saya lah yang tidak mau sama pria yang kalian gembar-gemborkan sebagai pria tertampan di rumah sakit ini. Selera kalian yang seperti itu? —Sorry, selera saya jauh lebih tinggi lagi."
Nadia melipat tangannya di depan dada, menatap sinis dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Kasihan ya, spek Camila Cabello gini sampai dicuekin, makanya sampai gila dan kehilangan etika. —Saya, gendut-gendut gini, gak pernah tuh ngejer-ngejer kaum burung." Nadia tersenyum mengejek. Kemudian ia berbalik badan dan melangkah.
Namun, ia kembali berbalik badan. Menatap dua perawat yang terlihat gerah. "Camila Cabello cabang mana kalian? Cabang Nganjuk? Muka burik kepedean nyama-nyamain diri kayak penyanyi Hollywood papan atas. Nggak punya urat malu?"
Setelah berkata demikian, Nadia keluar dari ruangan tersebut. Namun, langkahnya terhenti di depan ruangan tersebut. Ia mematung di tempat, menatap Dokter Andra yang juga tengah menatapnya lekat-lekat.
‘Dari tadi dia di situ? Dan... dia diam doang?’ batin Nadia kesal.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Ya sudah deh, kalau emang se-privasi itu ... aku keluar dulu," suara Vina terdengar nyaring dari ruangan Melodi.
Nadia yang sedari tadi bersandar di luar ruangan sambil menguping pembicaraan mereka, mulai merenggangkan otot-otot nya. Jangan harap, Vina, wanita yang kerap memicu huru-hara bisa keluar dari ruangan tersebut tanpa menikmati belaian manja darinya.
Nadia menungging di depan pintu. Dari celah pintu, ia mengintip langkah kaki Vina yang hampir mendekat. Begitu langkah kaki sepupu Aldrick itu tiba di balik pintu, Nadia lekas berdiri. Dan, dalam hitungan detik, ia mendorong pintu tersebut dengan sangat kuat.
BUGH!
Arrrggghhh!
Vina menjerit keras saat keningnya terbentur daun pintu. Jidat jenongnya memerah. Ia mengusap-usap pelan, lalu menatap Nadia nyalang.
"Apa-apaan sih gajah bengkak ini!" hina Vina.
"Jangan sampai gue jedukin lagi, nih? Longsor entar pale lo," ancam Nadia serius.
Vina bergidik, sedikit menggeser posisinya. "Lo pasti sengaja, ‘kan?"
"Idih, zolim lo sama gue. Nuduh-nuduh sembarangan. Lo aja yang bego, ngapain berdiri di depan pintu?" Nadia berkacak pinggang.
"B-bego? Lo ngehina gue?!" Telunjuk Vina menuding tepat di depan wajah Nadia.
Dan secepat kilat juga Nadia menepis kasar ujung jari Vina. "Nggak usah di hina pun sudah TERHINA kok."
Setelah berkata demikian, Nadia berjalan santai ke ranjang Melodi dan mengabaikan jeritan-jeritan kecil dari Vina. Ia mengulas senyuman tipis pada Ajeng, lalu menatap lembut Melodi.
"Mel, karena Aldrick udah di sini ... gue pulang dulu ya," pamit Nadia.
Melodi mengangguk pelan. Ia paham, Nadia memang tidak pernah betah jika harus berada di ruangan yang sama dengan Ajeng. Menurut Nadia, ibu mertua Melodi kerap menatapnya dengan tatapan tak suka.
Nadia melangkah menuju pintu, menatap sengit ke arah Vina yang kakinya bak masih terpaku di sana.
"Awas aja kalau lo sampe berani-beraninya nguping, gue ganti tuh permata anting lo pakai helm honda." Nadia mendengus sebelum kakinya melangkah keluar pintu.
*
*
*
bagus banget.
Aku setiap baca 😭🤣😭🤣😭🤣😭
Sukses terus kak othor/Determined/
,, penyesalan,, membuat sesak di
di dada, dalam penyesalan hanya
dua kata sering di ucapkan,
,, andaikan dan misalkan,, dua
kata ini tambah penyesalan.
thanks mbak 💪 💪