NovelToon NovelToon
Benih Pengikat Kaisar

Benih Pengikat Kaisar

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Balas Dendam / CEO / Cinta setelah menikah / One Night Stand / Percintaan Konglomerat
Popularitas:3.7k
Nilai: 5
Nama Author: Puji170

Satu tahun menikah, tapi Sekar (Eka) tak pernah disentuh suaminya, Adit. Hingga suatu malam, sebuah pesan mengundangnya ke hotel—dan di sanalah hidupnya berubah. Ia terjebak dalam permainan kejam Adit, tetapi justru terjatuh ke pelukan pria lain—Kaisar Harjuno, CEO dingin yang mengira dirinya hanya wanita bayaran.

Saat kebenaran terungkap, Eka tak tinggal diam. Dendamnya membara, dan ia tahu satu cara untuk membalas, menikahi lelaki yang bahkan tak percaya pada pernikahan.

"Benihmu sudah tertanam di rahamiku. Jadi kamu hanya punya dua pilihan—terima atau hadapi akibatnya."

Antara kebencian dan ketertarikan, siapa yang akhirnya akan menyerah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2

Kaisar Harjunot, lelaki berusia 27 tahun itu, menarik sudut bibirnya. Sebuah senyum tipis yang lebih mirip ejekan daripada keramahan.

"Bukan wanita seperti yang aku pikirkan?" ulangnya, nada suaranya berlapis cemooh yang dingin.

Kai tidak berbicara tanpa alasan. Ia ingat dengan jelas—semalam, di bawah pengaruh obat bius yang entah bagaimana masuk ke dalam tubuhnya, ia memerintahkan asistennya untuk mencari seorang wanita malam. Seseorang yang bisa melayaninya tanpa banyak tanya.

Namun kini, wanita di depannya justru menangis. Bahunya bergetar, bibirnya mengucapkan penolakan dalam suara yang nyaris pecah—seolah dirinya adalah korban.

Sungguh menggelikan.

Kai menatapnya lebih lama, menikmati kepanikan yang menguar dari wajah itu. Tatapannya menyapu tubuh mungil yang bergetar di hadapannya—kusut, lemah, dan penuh luka tak kasatmata.

Ia tertawa kecil. Dingin.

"Kalau bukan, lalu kamu siapa?" tanyanya, melangkah mendekat dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan. "Wanita baik-baik yang salah masuk kamar? Atau istri yang mencari petualangan di ranjang pria lain?"

Eka semakin mengepal selimut di tubuhnya. Tangannya putih pasi, gemetar hebat.

"A-aku tidak tahu kenapa aku ada di sini... Aku pikir kamar ini—"

"Cukup cari alasan!" Kai menyela, suara tajamnya membelah udara seperti bilah pisau. "Katakan saja berapa harganya."

Eka tersentak. Napasnya tertahan di tenggorokan.

Ia turun dari ranjang, tubuhnya tertatih-tatih menahan perih di bagian yang tak ingin ia pikirkan. Kedua tangannya gemetar saat meraih pakaiannya—sebuah gaun merah yang kini tampak menyedihkan. Robek di berbagai sudut, lusuh, ternoda.

Gaun itu dulu adalah kebanggaannya. Ia membelinya setelah menabung selama setahun, menyisihkan sedikit demi sedikit dari uang belanja yang diberikan Adit.

Saat mengenakan gaun itu, ia membayangkan momen spesial. Ia ingin terlihat cantik di mata Adit. Ia ingin hari itu menjadi kenangan yang manis.

Namun sekarang… gaun itu menjadi saksi bisu kehancurannya.

Matanya panas, tapi air mata tak lagi jatuh. Untuk apa? Tidak ada gunanya menangis di depan pria seperti yang tidak manusiawi ini kan?

Kai masih berdiri di tempatnya, ekspresinya malas, seolah muak dengan dramanya. "Kenapa diam? Tidak ingin menyebut harga?"

Eka menggigit bibir, menahan isakan. Rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, mengiris setiap inci keberadaannya. Ia menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan sisa-sisa keberanian.

"Aku bukan wanita seperti yang kamu kira," suaranya lirih, namun tegas.

Kai mengangkat alis. Ada ketertarikan samar di matanya, seolah mendengar sesuatu yang menggelitik telinganya.

"Itu sudah kamu katakan tadi." Ia melangkah lebih dekat, begitu dekat hingga Eka bisa merasakan hawa dingin yang menguar darinya. Tatapannya mengunci Eka dalam ketakutan yang mencekik. "Tapi kenyataannya, kamu tetap ada di ranjangku pagi ini. Perlu aku perjelas situasinya?"

Eka mengeratkan genggaman pada kain merah di tangannya, seakan itu satu-satunya pegangan yang tersisa dalam hidupnya.

Ia menatap Kai dengan mata yang berkilat, bukan karena keberanian, melainkan keputusasaan yang membara di dalamnya.

"Aku tidak menjual diri," ulangnya.

Kali ini, suaranya lebih mantap. Seakan berusaha menyelamatkan sisa harga dirinya yang hampir hancur. Setelah mengenakan baju, Eka meninggalkan kamar itu dengan luka dan keputusasaan.

"Hai, tunggu!" cegah Kai sayangnya Eka sama sekali tidak menggubris. Dentuman pintu keras membuat Kai frustasi. Ia segera melirik ke arah ranjang yang menjadi tempat pergulatannya semalam dan menemukan setitik darah seger di sana.

"Di-dia... Masih perawan?"

***

Setengah jam perjalanan terasa seperti seumur hidup bagi Eka. Setiap detik yang berlalu menambah beban di dadanya, menyesakkan hingga nyaris membuatnya sulit bernapas.

Bagaimana ia bisa menjelaskan semua ini saat kembali ke rumah keluarga Wirawan? Kehormatannya telah direnggut oleh pria lain. Apa Adit masih mau menerimanya? Jika ia diusir, ke mana harus pergi?

Pikirannya berkelana lebih jauh. Keluarganya di kampung sangat menjunjung tinggi nama baik. Jika mereka tahu apa yang terjadi, apakah mereka masih mau menerimanya? Atau justru akan membuangnya seperti aib yang memalukan?

Nyeri menjalar ke kepalanya, denyutannya menusuk hingga ke dasar batin. Ketakutan mencengkeram hatinya yang sudah cukup luka.

Tanpa sadar, langkahnya telah membawanya ke depan rumah keluarga Wirawan. Eka menatap pintu kayu yang begitu familiar, namun kini terasa asing. Jantungnya berdegup tak karuan.

Apakah tempat ini masih bisa disebut rumah baginya?

Belum semuanya terjawab, tapi suara tawa dari dalam rumah menciptakan dentuman lain di dadanya.

Eka berdiri mematung di ambang pintu. Aroma makanan yang sedap menyeruak ke dalam hidungnya, tapi tak sedikit pun membangkitkan selera. Matanya terpaku pada meja makan yang seharusnya menjadi bagian dari kesehariannya.

Namun ada yang berbeda. Ada sosok asing yang duduk di kursinya, kursi yang bahkan sulit ia jangkau dalam satu tahun ini. Seorang wanita muda dengan wajah manis dan senyum yang tampak terlalu nyaman di tengah keluarga ini.

Sementara itu, tak ada satu pun yang tampak terkejut dengan kehadiran Eka. Seolah dirinya tak lebih dari bayangan yang keberadaannya tak diinginkan.

"Oh? Lihat siapa yang akhirnya pulang."

Suara itu menghantam Eka seperti cambukan.

Ia menoleh pelan. Yuni, ibu mertuanya, menatapnya dengan ekspresi penuh penilaian, bibirnya melengkung dalam senyum dingin yang jelas tidak tulus.

"Kamu jalan sampai nyasar ke mana, hah?" Nada bicaranya datar, tapi setiap kata terasa seperti paku yang menghujam dada Eka. "Atau sengaja menghilang semalaman dengan alasan yang sudah bisa kami tebak?"

Jantung Eka mencelos.

Di sebelah Yuni, Rina mendecakkan lidah sambil menyilangkan tangan di dada.

"Masya Allah, Kak. Muka lecek, baju kusut, kelihatan jelas banget habis dari mana." Rina menyeringai, matanya memicing tajam. "Kamu pikir rumah ini tempat singgah, ya? Pergi semalaman, pulang-pulang dengan tampang penuh dosa."

Eka mengepalkan tangannya tapi bibirnya tetap membisu, seolah otaknya tidak bisa menyusun kalimat demi kalimat. Sesekalinya kalimat yang bisa keluar kini terhalang begitu saja, "Bukan begitu, aku—"

"Bukan begitu?" Yuni menyelanya cepat. "Lalu apa? Kamu mau bilang semalaman di masjid?"

Tawa dingin meledak dari Rina. "Iya, ya, Bu. Mungkin Kak Eka semalaman tahajud."

Eka menelan ludah. Matanya bergerak ke arah Adit, berharap setidaknya ada pembelaan. Tapi laki-laki itu hanya duduk diam, menyendokkan makanan ke piring wanita asing di sampingnya.

Seketika, udara di dada Eka habis.

Yuni mengikuti arah tatapan Eka, lalu tersenyum tipis. "Oh? Kamu belum kenalan?" Nadanya dibuat seolah-olah ini hal kecil. "Ini Nadin. Sekretaris Adit. Kasihan, dia sendirian di kota ini."

Yuni menghela napas dramatis, lalu melirik Eka dengan sinis. "Jadi ya... daripada repot-repot menunggu perempuan yang entah pulang jam berapa dan dalam keadaan seperti apa, lebih baik aku carikan istri baru untuk Adit. Yang lebih... pantas."

Darah Eka membeku. "A-apa?"

Rina menyeringai. "Iya, Kak. Lagian, laki-laki mana sih yang mau istri yang hilang semalaman? Mas Adit itu berhak dapat yang lebih baik."

Adit masih tidak mengatakan apa pun.

Tidak menyangkal.

Tidak membela.

Tidak ada penjelasan.

Dan di sana, Nadin hanya tersenyum sopan—senyum yang membuat Eka ingin berteriak.

Eka terhuyung selangkah ke belakang. Mereka sudah memutuskan.Tanpa memberi kesempatan padanku untuk bicara?

1
Dia Fitri
/Ok/
Hayurapuji: terimakasih kakak
total 1 replies
Muslika Lika
Ya ampun patkaai..... imajinasi mu lho thor.... melanglang buana....
Muslika Lika: bener bener si eka eka itu ya.....😂
Hayurapuji: hahhaha, dia dipanggil anak buahnya Pak kai, nah si eka kepleset itu lidahnya jadi Patkai
total 2 replies
@Al🌈🌈
/Good/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!