"The Regret of My Seven Older Brothers"
Di balik kehidupan mewah dan kebahagiaan yang tampak sempurna, delapan bersaudara hidup dalam kesejahteraan yang diidamkan banyak orang.
Namun, semuanya berubah ketika kecelakaan tragis merenggut nyawa sang ayah, sementara sang ibu menghilang tanpa jejak.
Si bungsu, Lee Yoora, menjadi sasaran kemarahan dan penilaian keliru ketujuh kakaknya, yang menyalahkannya atas kehilangan yang menghancurkan keluarga mereka.
Terjebak dalam perlakuan tidak adil dan kekejaman sehari-hari, Yoora menghadapi penderitaan yang mendalam, di mana harapan dan kesedihan bersaing.
Saat penyesalan akhirnya datang menghampiri ketujuh kakaknya, mereka terpaksa menghadapi kenyataan pahit tentang masa lalu mereka. Namun, apakah penyesalan itu cukup untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26: Kenangan.
Hingga makanan di piring mereka sudah hampir habis, Taehwan membuka pembicaraan yang membuat Yoora harus menghentikan suapannya sejenak.
"Apa kamu mau berjalan-jalan dulu sebelum pulang?" tanyanya, nada suaranya penuh pertimbangan.
"Jalan-jalan?" tanyanya, memastikan dia tidak salah dengar.
"Iya… hanya di sekitar sini. Bukankah tempat ini punya banyak kenangan untuk kita ?" ujar Taehwan, seolah menyadari betapa pentingnya rumah ini bagi mereka, Yoora terdiam sejenak, senyuman tipis terukir di wajahnya.
"Eumm… kalau Oppa tidak keberatan," balasnya, suaranya terdengar lembut, namun penuh kehangatan.
"Baiklah... Habiskan dulu makananmu. Setelah itu baru kita pergi, oke?" Ujar Taehwan sembari tersenyum kecil.
Yoora melirik makanannya yang tinggal sedikit, lalu meletakkan sumpitnya.
"Aku sudah selesai. Ayo pergi sekarang?" tanyanya penuh semangat, matanya berbinar-binar.
"Baiklah," jawab Taehwan dengan lembut, sambil berdiri dari kursinya.
Keduanya kini berkeliling di sekitar rumah tersebut. Angin sepoi-sepoi berhembus, membawa harum khas pedesaan yang terasa begitu menenangkan. Rumah yang mereka singgahi sekarang adalah rumah milik kakek dan nenek mereka dari pihak ibu. Rumah sederhana yang penuh kenangan bagi bagi semua nya , terutama bagi yoora karena di sinilah ia sering menghabiskan waktu kecilnya, namun ingatan itu ternyata tidak nampak jelas di benak nya .
"Ini rumah kakek dan nenek dari pihak mommy, kan? Ingatan ku samar tentang tempat ini " Yoora bertanya sambil melihat ke sekeliling, mengenang masa lalu yang penuh kebahagiaan, yang begitu samar.
"Iya… mommy sering menceritakan tentang mereka. Katanya, kakek dan nenek selalu mendukung mommy, bahkan saat keluarga Lee menentang pernikahannya dengan Daddy." Jawab Taehwan mengangguk.
" Mommy memang selalu bilang kalau tempat ini adalah tempat paling nyaman untuknya. Katanya, di sinilah dia merasa dihargai tanpa melihat status atau kekayaan. Tapi aku tidak tahu terlalu banyak tentang cerita ini " ujar yoora yang memang tidak tahu , tentang apa yang Taehwan katakan . Taehwan mengangguk setuju, melihat sekeliling dengan pandangan yang tak kalah nostalgik.
" Mommy, memang bukan berasal dari keluarga terpandang seperti Daddy, Dia hanya wanita sederhana dari desa ini, namun takdir mempertemukannya dengan keluarga besar seperti keluarga Lee. Mommy dahulu bekerja di perusahaan Daddy sebagai sekertaris pribadi nya," Ujar Taehwan, mejelaskan apa yang dia ketahui pada Yoora.
Yoora mendengarkan dengan seksama, matanya berkaca-kaca. Ia tahu betapa keras perjuangan ibu mereka untuk diterima oleh keluarga Lee yang penuh dengan pandangan elit.
"Pernikahan mereka bahkan ditentang oleh seluruh anggota keluarga Lee, tapi, Daddy kita berjuang habis-habisan untuk bisa menikah dengan mommy," lanjut Taehwan sambil menghela napas, kenangan yang mungkin pernah diceritakan oleh ibunya kembali terlintas dalam pikirannya.
"Orang-orang selalu berpikir mommy hanya ingin menguasai kekayaan keluarga Daddy, kan?" Yoora terdiam, memikirkan bagaimana ibunya pasti menjalani hidup yang penuh perjuangan.
"Ya, banyak yang beranggapan begitu, apalagi Daddy adalah putra bungsunya keluarga Lee. Mereka mengira mommy menikah hanya demi harta. Tapi mommy tetap bertahan, bahkan ketika sering mendapatkan perlakuan dingin dari mereka." Ujar Taehwan.
Yoora menunduk, merasa campuran emosi yang sulit dijelaskan. Dia merasakan kebanggaan sekaligus kesedihan atas kehidupan ibunya.
"Aku ingin sekali bisa bertemu dan mendengar langsung dari mommy… bagaimana dia bisa bertahan dengan semua itu, tapi sekarang ntah di mana dia berada , mungkin kah mommy juga membenci ku karena aku telah membuat nya kehilangan cinta nya ? " bisik Yoora dengan suara yang nyaris tenggelam oleh angin.
"Aku pun ingin bertemu dengan mommy, tapi aku tidak tahu harus mencari nya kemana .. tidak ada clue ataupun orang yang bisa di tanya tentang mommy, setiap kali aku membicarakan ini dengan Seon Hyung dia selalu mengatakan jika dia sedang mencari nya . Tapi pada kenyataannya sampai saat ini pun aku tidak pernah lagi bertemu dengan mommy " ucap Taehwan, berusaha mengabaikan ucapan terakhir sang adik .
"Aku minta maaf oppa , karena aku kalian semua harus kehilangan kasih sayang dari Daddy dan mommy, benar kata Seon oppa seharusnya aku tidak pernah di lahir kan ke dunia ini " jawab Yoora .
"Heyy... Ucapan apa itu , tolong jangan menambahkan rasa penyesalan ku padamu dengan berkata hal seperti itu di hadapan ku . Kamu tahu setiap mengingat hal itu , aku berasa seperti orang bodoh," ujar Taehwan.
"Oppa .. apa oppa masih ingat wajah Woe-hal-meoni dan Woe-hal-abeoji ? " Tanya yoora penasaran.
"Aku tidak ingat jelas," jawab Taehwan menggeleng lemah .
( Catatan: Dalam bahasa Korea 외할머니 (Woe-hal-meoni), 외할아버지 (Woe-hal-abeoji) adalah sebutan atau panggilan untuk nenek dan kakek dari pihak ibu , sedangkan panggil untuk nenek dan kakek dari pihak ayah adalah; 할머니 (Hal-meoni) dan 할아버지 (Hal-abeoji).
Kata "외" (woe) ditambahkan untuk membedakan penyebutan kakek dan nenek dari pihak ibu, karena dalam budaya Korea interaksi antara anggota keluarga itu sering di anggap formal dan tidak boleh sembarang ( terutama dalam sebuah acara tertentu, yang melibatkan keluarga besar ) . Selain itu jika kalian ingin menyebut orang asing yang sudah di anggap tua atau lansia kalian bisa menyebutnya: 할매 (Hal-mae) untuk nenek dan 할배 (Hal-bae) untuk kakek , kata ini termasuk bahasa informal di korea , tapi tidak menghilangkan kesan hormat untuk orang yang di sebut. Tolong koreksi jika author salah).
"Oppa... Ceritakan lagi tentang mommy" ujar yoora sembari menatap sang kakak.
"Aku tidak tahu banyak juga tentang mommy, yang aku tahu mommy wanita yang begitu baik dan cantik . Dia wanita yang sangat penyayang dan penyabar , aku tidak tahu di mana keberadaan nya sekarang . Ingin rasanya memeluk nya " ujar Taehwan yang membuat Yoora semakin terdiam.
Taehwan yang baru menyadari kesalahannya dalam bicara , menepuk bahu Yoora dengan lembut, seakan ingin menyampaikan bahwa dia juga merasakan hal yang sama, dan menyuruh nya untuk tidak terlalu menyalahkan dirinya sendiri.
"Ini semua tidak sepenuhnya kesalahan mu , Yoora. Banyak hal yang aku sesali dan baru kusadari sekarang… kalau saja aku lebih peka terhadap mommy dan terhadap kamu juga." Jawab nya .
"Tapi setidaknya, sekarang kita bisa menghargai semua kenangan ini bersama, Oppa." Ucap Yoora tersenyum tipis sambil menatap Taehwan, merasa ikatan di antara mereka semakin kuat.
"Iya, Yoora. Terima kasih karena telah tetap ada di sini, meski aku sempat menyakitimu begitu dalam." Ucap Taehwan membalas senyum Yoora dengan lembut.
Keduanya terus berjalan dalam diam, membiarkan kenangan di rumah itu mengisi hati mereka dengan kehangatan yang perlahan menggantikan semua rasa pahit. Bagi Yoora, rumah ini bukan hanya tempat biasa; di sinilah ia merasakan arti cinta tanpa syarat, meski terkadang terselubung oleh jarak dan waktu. Di sini, untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ada harapan bagi keluarga mereka yang mulai merajut kembali hubungan yang sempat hancur.
"Tak ada yang berubah di sini, kan?" tutur Taehwan pelan, matanya menyapu halaman belakang rumah tua itu. Yoora tersenyum tipis, mengangguk.
"Masih sama indahnya... Oppa, apa kalian sering datang ke sini?" tanyanya, menatap ke arah Taehwan yang terlihat tenggelam dalam pikirannya.
"Aku Jungsoo, dan Namjin Hyung sering, tapi... untuk yang lain, aku tidak begitu tahu," jawab Taehwan, tatapannya tetap lurus ke depan, seolah ada sesuatu yang ingin ia cari di masa lalu.
"Akhhh... begitu," Yoora berbisik, mencoba menahan gugupnya. Sejauh ini, ia masih merasa canggung berbicara banyak hal dengan Taehwan.
"Kamu masih ingat, saat aku, Jungsoo, dan Jihwan Hyung mendorongmu di sana?" tanyanya, menunjuk ke arah sudut taman. Seketika, kenangan masa kecil mereka kembali mengalir, saat dirinya seringkali di jahili oleh Taehwan dan Jungsoo.
"Iya, aku ingat…" Yoora menunduk, suaranya lirih. Dalam pikirannya, dia masih bisa membayangkan perasaan takut dan kecewa waktu itu, terutama saat Seonho dan Yongki memarahinya habis-habisan karena ulah Taehwan dan Jihwan.
"Kenapa kamu tidak membenci kami, Yoora?" Tanya Taehwan terdiam sejenak, lalu menatap Yoora dengan raut bersalah.
"Tidak..." jawabnya pelan. Meski perasaan sakit dulu tak sepenuhnya hilang, namun kebencian tidak pernah ada di hatinya. Tidak untuk mereka dan semua saudara nya .
Setelah itu, hening kembali menyelimuti, hanya suara burung dan gesekan dedaunan yang terdengar. Mereka kini berada di ayunan di belakang rumah. Taehwan duduk, perlahan mengayun, sementara Yoora berdiri di sampingnya, sesekali menatap kakaknya dengan perasaan campur aduk. Ada perasaan nyaman yang lama hilang, tapi juga ada jarak yang sulit ia jelaskan.
“Kamu ingat saat aku sering memukulmu dulu?” tanya Taehwan, nadanya penuh penyesalan yang ia coba sembunyikan.
“Aku ingat.” Yoora mengangguk, Tak ada keraguan dalam jawabannya, tapi sorot matanya sedikit meredup.
“Kenapa… kenapa tidak pernah melawan? Bukankah pukulan ku sakit?” tanyanya dengan suara lirih, matanya menatap Yoora dengan cemas, seolah takut mendengar jawabannya.
“Lebih sakit kalian, bukan? Yoora tersenyum kecil, walaupun ada kepedihan dalam sorot matanya Kalian kehilangan begitu banyak kebahagiaan selama ini karena aku. Aku… aku tidak pantas mengeluh, Oppa. Selama kalian bisa meluapkan emosi dengan menyakitiku, aku tidak masalah. Setidaknya, aku bisa jadi tempat kalian melampiaskan rasa sakit,” ujarnya pelan, tapi setiap kata itu sampai dengan jelas di telinga Taehwan.
“Aku… aku tidak pantas jadi kakakmu, Yoora. Aku bahkan tidak bisa melindungi mu dari siapapun. Bukannya melindungi mu, aku malah ikut menyiksamu,” Taehwan terdiam, rasa bersalah semakin menggerogoti hatinya suaranya bergetar, penuh rasa sesal.
“Jangan bicara begitu, Oppa, Yoora mencoba menguatkan hatinya, menatap Taehwan dengan tatapan penuh keikhlasan Selama ini… aku selalu ingin merasakan apa yang kalian bertiga rasakan. Dimanja, diperhatikan… Aku merasa beruntung, karena sekarang dirimu sudah mau menerima kehadiranku. Aku tidak tahu kebaikan apa yang sudah aku lakukan, tapi... aku benar-benar bersyukur,” ujarnya, senyum samar muncul di wajahnya, namun terlihat jelas luka yang tertinggal.
“Kenapa kamu menyelamatkanku dari orang gila waktu itu Taehwan menarik napas dalam saat… saat orang itu hampir memukulku?” tanyanya perlahan.
“Karena… karena kamu kakakku Yoora tersenyum tipis, tapi ada kepedihan dalam senyumnya Aku tidak mau kamu terluka, Seon Oppa selalu bilang, apapun yang terjadi, aku tidak boleh membiarkan kalian terluka, walaupun hanya sedikit. Aku bahkan panik waktu itu, saat telapak tanganmu tergores karena aku tak sengaja mendorongmu. Aku merasa gagal… takut, karena aku telah membuatmu terluka,” lanjutnya, suaranya sedikit bergetar.
“Jadi… kamu takut pada Seon Hyung?” tanya Taehwan, mencoba mencari kepastian, meski dalam hati ia sudah tahu jawabannya.
“Tentu saja. Seon Oppa… dia sangat menyeramkan kalau marah, Yoora menunduk, mengenang kejadian yang membuatnya merasa terpojok Ingat waktu laptop mu rusak? Jujur saja, aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Tapi saat kamu bilang akan mengadukannya ke Yongki dan Seon Oppa, aku ketakutan setengah mati… Dan yang menggantikan laptop mu itu, Namjin Oppa, bukan aku,” ujarnya dengan nada berbisik, tapi cukup untuk didengar Taehwan.
“Aku tahu… Maafkan aku, Yoora,” ujar Taehwan menunduk, matanya memancarkan penyesalan yang mendalam, nyaris berbisik.
“Aku tidak apa-apa, Oppa. Lupakan saja semua itu. Sekarang aku… aku benar-benar bersyukur. Karena Oppa sudah mau menerima kehadiranku,” katanya tulus, meski hatinya masih menyimpan luka yang lama. Taehwan menarik napas dalam, mencoba meredakan sesak yang muncul di dadanya.
“Setelah ini… kamu akan kuliah di universitas mana?” tanyanya, mencoba mengalihkan pembicaraan. Yoora yang mendengar pertanyaan itu, Yoora terdiam. Tatapannya meredup, dan senyum tipisnya perlahan memudar. Hatinya teringat kembali bahwa Seonho tidak mengizinkannya untuk melanjutkan pendidikan. Seberapa besar pun keinginannya, ia tahu betul bahwa melawan bukanlah pilihan bagi nya .
“Yoora…” Taehwan memanggilnya pelan, mencoba mencari kepastian dari raut wajahnya yang terlihat suram, Yoora akhirnya menarik napas panjang sebelum menjawab.
“Aku… tidak akan melanjutkan pendidikanku.” Suaranya terdengar datar, tanpa ekspresi, dan ia menghindari tatapan Taehwan, seolah tidak ingin menunjukkan apa yang sebenarnya dirasakannya.
“Loh… kenapa? Ujar Taehwan tertegun kebingungan jelas terpancar di wajahnya. Bagi Taehwan, Yoora adalah seseorang yang selalu punya semangat tinggi untuk belajar dan berkembang.
" Aku rasa sudah cukup " tutur yoora ragu .
“Tidak mungkin kau tiba-tiba tak ingin melanjutkan kuliah,” lanjutnya, memaksa penjelasan lebih.
“Tidak apa-apa, Oppa. Hanya saja… aku tidak mau,” jawabnya dengan nada yang terdengar mengambang.
“Tidak mau? Taehwan mengerutkan alis, merasa tak puas Itu bukan alasan yang masuk akal, Yoora. Tentu saja tidak. Ada apa sebenarnya?” Nadanya berubah lebih mendesak, sorot matanya menunjukkan ketidakpercayaan. Ia tahu betul, Yoora bukan orang yang mudah menyerah pada hal yang diinginkannya. Meskipun dulu dia sempat membenci kehadiran Yoora, sekarang, sedikit banyak ia tahu apa yang menjadi minat dan ambisi adiknya. Yoora terdiam sejenak, pandangannya tertuju ke tanah, akhirnya ia kembali berucap dengan suara pelan.
“Aku sudah terlalu banyak membebani kalian, Oppa. Aku… aku tidak ingin menambah beban lagi,” ucapnya dengan nada lembut, namun sarat kesedihan.
“Heii… Alasan macam apa itu, Yoora? Taehwan menatap Yoora tak percaya Keluarga kita bukan keluarga miskin. Kamu tahu, kan, Namjin Hyung tidak akan pernah membiarkan hal seperti ini terjadi? , dia akan sangat marah jika mendengar kau bicara seperti ini.” Suaranya terdengar lebih tegas, dia tidak mau jika adik nya itu sampai putus sekolah.
Mendengar nama Namjin, Yoora terdiam lebih lama, tatapannya berubah semakin suram. Ia tahu betul bagaimana kakaknya yang satu itu begitu keras soal pendidikan, terutama pada adik-adiknya. Namjin selalu mengharapkan yang terbaik untuk mereka, memastikan bahwa tak ada satu pun dari mereka yang tertinggal. Namun, di balik harapannya yang besar itu, Yoora menyadari kenyataan pahit yang membelenggunya ketegasan Seonho yang seolah menjadi tembok tak tergoyahkan di hadapannya.
Dalam hatinya, Yoora merasa terhimpit. Seonho telah melarangnya melanjutkan pendidikan tanpa alasan yang jelas. Betapa pun besar keinginannya untuk berjuang demi masa depannya, ia tahu bahwa melawan keputusan kakaknya bukanlah pilihan yang bisa ia ambil begitu saja.
“Molla… Oppa, ayo kita kembali sekarang, hari sudah mulai siang, dan aku harus menyiapkan makan siang untuk yang lain ” ujar Yoora dengan suara pelan, mencoba menutupi kerisauan di wajahnya.
“Aku belum selesai bicara, Yoora Taehwan menghela napas panjang, tatapannya tajam namun lembut. Kenapa kamu sebenarnya tidak mau melanjutkan pendidikanmu? Katakan yang sebenarnya, ” tanyanya, jelas-jelas tidak puas dengan jawaban yang dilontarkan Yoora sebelumnya.
“Oppa, tolong… Yoora menunduk, tak ingin bertemu tatapan Taehwan Mereka akan marah jika tahu aku tidak ada di rumah,” suaranya nyaris berbisik saat ia mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Huffhh… Baiklah, ayo pulang,” ujarnya, setelah menatap sang adik beberapa saat akhirnya dia memilih untuk mengalah meskipun hatinya masih penuh pertanyaan.
Keduanya kini bersiap-siap untuk kembali ke mansion. Tak ada pembicaraan lain di antara mereka hanya hening yang tersisa. Taehwan fokus mengemudi, matanya terpaku pada jalanan di depannya, sementara Yoora duduk di sampingnya, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Pandangannya kosong, seolah pikirannya terbang jauh ke suatu tempat di mana ia bisa bebas dari segala batasan yang membelenggunya.
Sesekali Taehwan melirik Yoora dengan khawatir, namun ia tetap membiarkan hening itu berlanjut, memahami bahwa mungkin ada banyak hal yang belum siap diungkapkan oleh adiknya.