Xin Lian, seorang dukun terkenal yang sebenarnya hanya bisa melihat hantu, hidup mewah dengan kebohongannya. Namun, hidupnya berubah saat seorang hantu jatuh cinta padanya dan mengikutinya. Setelah mati konyol, Xin Lian terbangun di dunia kuno, terpaksa berpura-pura menjadi dukun untuk bertahan hidup.
Kebohongannya terbongkar saat Pangeran Ketiga, seorang jenderal dingin, menangkapnya atas tuduhan penipuan. Namun, Pangeran Ketiga dikelilingi hantu-hantu gelap dan hanya bisa tidur nyenyak jika dekat dengan Xin Lian.
Terjebak dalam intrik istana, rahasia masa lalu, dan perasaan yang mulai tumbuh di antara mereka, Xin Lian harus mencari cara untuk bertahan hidup, menjaga rahasianya, dan menghadapi dunia yang jauh lebih berbahaya daripada yang pernah dia bayangkan.
"Bukan hanya kebohongan yang bisa membunuh—tapi juga kebenaran yang kau ungkap."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seojinni_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 : "Murid Sang Dukun"
Suara itu datang dari kegelapan yang pekat, berat dan bergema, seakan berasal dari dasar jurang tanpa akhir.
"Sudah berabad-abad… akhirnya ada yang cukup bodoh untuk membuka kitab ini."
Dari dalam bayangan yang berputar, sesosok siluet tinggi muncul, jubahnya compang-camping seperti kain yang telah dimakan waktu. Udara di sekelilingnya bergetar, menciptakan tekanan yang nyaris mencekik. Sepasang mata merah membara menatap lurus ke arah Xin Lian, penuh rasa ingin tahu yang bercampur kebencian.
Xin Lian tidak mundur. Matanya tetap tajam, meskipun hawa dingin yang menjalar dari sosok itu menusuk hingga ke tulang.
"Siapa kau?" tanyanya, suaranya tetap stabil meski tubuhnya merasakan sesuatu yang tidak wajar.
Bayangan itu melayang mendekat, jubahnya berkibar meski tidak ada angin. "Aku adalah pemilik kitab ini… seorang dukun yang namanya pernah mengguncang dunia, namun kini hanya menjadi bayangan yang terikat dendam. Aku mati dalam konspirasi, dan jiwaku menolak menuju baka. Namun, mungkin nasib membawamu ke sini untuk suatu alasan, gadis kecil."
Xin Lian terkekeh sinis. "Oh? Dan alasan itu adalah menjadikanku muridmu? Aku tak sebodoh itu untuk percaya begitu saja."
Bayangan itu tidak tersinggung, malah tertawa terbahak-bahak. "Kau memang pintar, itu sebabnya aku memilihmu. Jika kau menerima kontrak darah ini, kau akan memiliki akses ke semua ilmu yang kutinggalkan. Lebih dari itu, kau akan bisa memasuki Negara Kutukan dengan lebih mudah."
Xin Lian mengangkat alis. "Negara Kutukan?"
Sosok itu mengangguk. "Kutukan tidak selamanya jahat, kau akan mengerti saat berada di sana. Namun, berhati-hatilah. Jika mereka tahu kau adalah muridku, dunia ini takkan lagi memberimu tempat untuk berdiri."
Xin Lian mengamati sosok itu dengan tajam. "Kau mungkin hanya roh, tapi kau sangat licik. Katakan yang sejujurnya, apa niatmu padaku?"
Bayangan itu kembali tertawa, kali ini lebih dalam, lebih menyeramkan. "Kau memang cerdas, Xin Lian. Aku ingin balas dendam. Aku adalah salah satu tetua tertinggi di Negara Kutukan, dan hanya segelintir orang yang mampu membunuhku. Temukan siapa dalang di balik kematianku, dan aku akan membalas sendiri harga nyawaku."
Xin Lian terkekeh, lalu tertawa terbahak-bahak. "Kakek tua, kau bahkan hanya bayangan hitam! Bagaimana kau bisa membalas dendam? Jangan bilang kau ingin memanfaatkan tubuhku? Aku sudah tahu trik licik semacam ini! Jangan harap aku akan membiarkanmu mengambil alih tubuhku!"
Sosok itu mendadak terdiam, lalu tersenyum samar. "Oh? Kau tahu lebih banyak dari yang kuduga. Tapi tenang saja, aku tidak butuh tubuhmu. Aku hanya butuh kau untuk menemukan kebenaran. Sisanya... biarkan aku yang menuntaskan."
Angin berdesir kencang, menerbangkan debu dan dedaunan kering. Bayangan itu mengangkat tangannya, dan kitab kuno itu berpendar merah darah.
"Teteskan darahmu di atas kitab ini, maka kau akan menjadi muridku. Dengan itu, kau akan memiliki akses ke ilmu yang tak seorang pun bisa bayangkan. Tapi ingat, begitu kau menerima kontrak ini... kau takkan bisa mundur."
Xin Lian menatap kitab itu, lalu menatap sosok di hadapannya. Matanya menyipit, pikirannya berputar cepat.
Lalu, ia tersenyum. Senyum yang penuh teka-teki, penuh bahaya.
"Kakek tua... siapa bilang aku takut?"
***
Tianlan bergerak cepat, tangannya mencengkeram pergelangan Xin Lian sebelum tetesan darah itu jatuh ke atas kitab. Sorot matanya tajam, penuh peringatan, seolah ia berusaha menghentikan sesuatu yang tak bisa diubah.
"Xin Lian, jangan gegabah!" suaranya rendah, namun mengandung tekanan kuat. "Kau tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau menerima ini. Bagaimanapun juga, ini bukan kewajibanmu. Aku tidak ingin kau menanggung beban yang seharusnya bukan milikmu."
Xin Lian mengangkat kepalanya, menatap Tianlan dengan senyum mengejek. "Oh? Sejak kapan aku menjadi seseorang yang mudah ditipu?" ia terkekeh, lalu menambahkan, "Atau jangan-jangan, kau merasa aku melakukan ini demi dirimu?"
Tianlan terdiam. Jari-jarinya masih mencengkeram erat, seakan takut jika ia melepaskan, maka sesuatu yang tak terduga akan terjadi.
Xin Lian tertawa pelan, matanya menyipit penuh kelicikan. "Yah, Tianlan… aku tidak tahu bahwa kau sepercaya diri itu." Ia menarik tangannya dari genggaman Tianlan, lalu melanjutkan dengan nada santai, "Apa kau kira aku akan menerima ini karena dirimu? Karena kutukanmu?"
Ia mendekat, berbisik di telinganya dengan suara yang nyaris seperti angin malam yang menusuk, "Maaf, aku tidak sebaik itu."
Tianlan menatapnya lekat-lekat, mencari kebohongan dalam sorot matanya. Namun, yang ia temukan hanyalah keyakinan yang tak tergoyahkan.
"Aku menerima ini murni karena masalah pribadiku."
Di dalam hatinya, Xin Lian tahu bahwa ini bukan sekadar keinginan untuk menggali masa lalu. Bukan pula karena belas kasihan terhadap kutukan Tianlan. Ia harus tahu siapa dirinya sebenarnya—bukan untuk mengenang, tetapi untuk bersiap menghadapi apa pun yang mungkin datang di masa depan.
Tujuannya sederhana: ia ingin hidup lebih lama.
Dan untuk mewujudkan itu, ia harus memecahkan misteri dirinya terlebih dahulu. Jika kebetulan ini juga membantunya menyelesaikan kutukan Tianlan, maka itu hanyalah sebuah keuntungan tambahan.
Xin Lian tersenyum tipis, lalu tanpa ragu, ia menggores ujung jarinya. Setetes darah jatuh, menyentuh permukaan kitab kuno yang berpendar merah pekat.
Angin berputar liar, suara tawa bayangan itu menggema di antara kegelapan.
Tianlan mengepalkan tangannya, matanya meredup dalam kegelapan yang berputar di sekeliling mereka. Dalam hatinya, sebuah tekad terpatri kuat—ia tidak akan membiarkan gadis itu terus terseret ke dalam pusaran bahaya.
Kutukan ini, beban ini… semuanya akan ia selesaikan dengan tangannya sendiri.
Bagaimanapun caranya, ia harus menemukan jalan keluar sebelum semuanya terlambat.
***
Xin Lian meraih jarum perak dengan tangan yang hampir tak terasa bergerak. Udara di sekitar mereka tampak semakin berat, seolah-olah alam pun menahan napas. Dengan gerakan yang cepat dan terlatih, jarum itu menembus ujung jarinya, dan darah merah segar mengalir keluar. Tetesan darah itu jatuh, perlahan, menetes ke atas halaman buku kuno yang sudah terhitung berabad-abad usianya. Setiap tetesnya menyentuh kertas itu seperti sebuah kontrak yang tak bisa dihindari, menandakan jalinan takdir yang baru saja terikat.
Bayangan hitam yang sejak tadi mengintai mereka kini muncul dengan kekuatan penuh. Suaranya yang dalam dan penuh kekuatan menggema di udara yang berat. "Panggil aku Shifu," perintahnya, suara itu memaksa, menuntut rasa hormat dari Xin Lian.
Xin Lian mendengus, bibirnya sedikit melengkungkan senyum sinis. "Shifu? Kau hanya roh, dan kau ingin dipanggil Shifu? Aku tidak mau." Nada suaranya tajam, penuh penghinaan, seolah menantang bayangan itu untuk mencoba mengendalikannya.
Bayangan hitam itu berteriak marah, suaranya menggema seperti petir yang menyambar langit malam. "Gadis kecil! Apa kau tahu berapa banyak orang yang antri ingin menjadi muridku? Kau harus tahu, itu adalah sebuah kehormatan yang luar biasa, menjadi muridku. Selama hidupku, hanya ada dua murid, dan kau—kau—menjadi yang ketiga!"
Xin Lian terdiam sejenak, matanya menyipit tajam, menatap bayangan hitam itu dengan penuh perhitungan. Dua murid? Dua kakak seperguruan? Bayangan itu tidak tahu bahwa bagi Xin Lian, ini lebih dari sekadar kehormatan. Ini adalah kesempatan untuk memanfaatkan segala sesuatu yang bisa dia raih. Sebuah senyum sinis mengembang di wajahnya. "Hmm, dua budak lagi untuk dimanfaatkan? Menarik," gumamnya, tawa rendah dan menyeramkan meluncur dari bibirnya.
Keributan itu berlanjut sejenak, namun akhirnya bayangan hitam itu menghilang kembali ke dalam kegelapan. Xin Lian menutup buku itu dengan gerakan tajam, menyelipkannya ke dalam tas kulitnya yang sudah penuh dengan barang-barang penting. Tianlan, yang sejak tadi berdiri di sampingnya, menatapnya dengan tatapan penuh kekhawatiran.
"Apa sudah selesai?" tanya Tianlan, suaranya rendah dan penuh perhatian, meskipun ada sedikit kecemasan yang tergambar di wajahnya.
"Sudah," jawab Xin Lian singkat, tanpa menoleh. "Ayo, kita lanjutkan perjalanan. Kutukanmu tidak bisa ditunda lagi. Jika kita terlalu lama, efek penahanannya akan hilang."
Mereka melanjutkan perjalanan mereka melalui hutan lebat yang semakin gelap. Pohon-pohon besar menjulang tinggi, menciptakan bayangan panjang yang menutupi langit. Suara angin yang berbisik di antara daun-daun seakan mengiringi langkah mereka, namun suasana hutan itu terasa mencekam, seperti ada sesuatu yang mengintai dari balik pepohonan. Udara semakin lembap, dan setiap langkah mereka terasa semakin berat.
Mereka tiba di sebuah desa kecil, yang tampak sepi dan sunyi. Hanya beberapa penduduk yang terlihat di jalanan, menatap mereka dengan tatapan kosong, seolah tidak ada lagi kehidupan yang tersisa di sana. Namun, Xin Lian dan Tianlan tidak berhenti lama. Mereka hanya membeli persediaan secukupnya, lalu melanjutkan perjalanan ke pegunungan yang lebih tinggi, di mana udara semakin dingin dan tajam.
Di pegunungan, langkah mereka semakin berat. Angin yang kencang bertiup, membawa kabut tipis yang menyelimuti jalan di depan mereka. Setiap langkah terasa lebih lambat, seolah-olah mereka sedang berjalan melawan kekuatan alam yang ingin menahan mereka. Namun, mereka tahu bahwa mereka harus terus maju. Negara kutukan sudah semakin dekat, hanya tinggal menyeberang dengan kapal yang menunggu di pelabuhan. Satu bulan perjalanan laut akan membawa mereka ke tempat yang penuh dengan misteri dan bahaya yang tak terbayangkan.
Selama perjalanan ini, kutukan Tianlan semakin sering kambuh. Setiap kali itu terjadi, tubuh Tianlan terhuyung, wajahnya memucat, dan ekspresi kesakitan yang tak bisa disembunyikan tampak jelas. Bayangan hitam yang kini terikat dengan Xin Lian berusaha menawarkan bantuannya untuk menahan kutukan itu, namun Xin Lian menolaknya dengan tegas.
"Jangan lagi," katanya, suaranya tajam. "Aku hanya akan menggunakan kekuatanmu sekali ini. Terlalu sering, dan itu akan membuatmu tidak berguna lagi."
Sebagai gantinya, Xin Lian memilih untuk memeluk Tianlan setiap kali kutukan itu muncul. Sentuhan langsung dari tubuhnya memberikan sedikit kelegaan pada Tianlan, meskipun tidak sepenuhnya menghilangkan rasa sakit itu. Namun, setiap kali mereka berpegangan tangan, atau saat dia memeluknya dengan erat, kutukan itu tampak sedikit lebih bisa ditahan, sedikit lebih mudah untuk mereka terus melangkah maju.
Tianlan merasa canggung dengan perhatian yang diberikan Xin Lian, namun di balik kecanggungannya, ada rasa terima kasih yang mendalam. Setiap sentuhan, setiap pelukan, membuat kutukan itu sedikit lebih bisa ditahan. Meskipun dia merasa seolah kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri, dia tahu bahwa tanpa Xin Lian, perjalanan ini mungkin tidak akan berhasil.
Xin Lian, meskipun terlihat tegar dan penuh perhitungan, dalam hatinya menyadari bahwa ini bukan hanya tentang kutukan Tianlan. Ini adalah perjalanan untuk mengungkapkan kebenaran yang tersembunyi, untuk mengetahui siapa dirinya sebenarnya. Dan untuk itu, dia akan terus maju, meskipun segala bahaya dan rintangan menghadang di depan mereka.
Langkah mereka semakin mendekati negara kutukan, dan semakin dekat dengan takdir yang telah menunggu mereka. Namun, di balik perjalanan ini, ada satu pertanyaan yang selalu mengganggu Xin Lian: apakah dia benar-benar siap untuk menghadapi kebenaran yang tersembunyi dalam dirinya?