NovelToon NovelToon
Garis Takdir (Raya)

Garis Takdir (Raya)

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Nikah Kontrak / Mengubah Takdir / Penyesalan Suami / KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga)
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: BYNK

••GARIS TAKDIR RAYA••

Kehidupan Raya Calista Maharani penuh luka. Dibesarkan dalam kemiskinan, dia menghadapi kebencian keluarga, penghinaan teman, dan pengkhianatan cinta. Namun, nasibnya berubah saat Liu, seorang wanita terpandang, menjodohkannya dengan sang putra, Raden Ryan Andriano Eza Sudradjat.

Harapan Raya untuk bahagia sirna ketika Ryan menolak kehadirannya. Kehidupan sebagai nyonya muda keluarga Sudradjat justru membawa lebih banyak cobaan. Dengan sifat Ryan yang keras dan pemarah, Raya seringkali dihadapkan pada pilihan sulit: bertahan atau menyerah.

Sanggupkah Raya menemukan kebahagiaan di tengah badai takdir yang tak kunjung reda?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 1: PROLOG

    Raya Calista Maharani

"Dasar anak tidak berguna! Bangun, kau anak sialan!" seru seorang wanita yang menerobos masuk ke kamar putrinya dengan membawa seember air. Seketika, gadis cantik yang tengah terlelap dalam tidurnya itu terbangun dengan kaget karena air dingin yang menyiram tubuhnya.

"Ibu..." ucap gadis itu terbata-bata, terkejut. Ia menoleh ke arah jendela yang masih gelap, tanda bahwa matahari belum terbit. Bergegas, ia turun dari ranjang dan berdiri di hadapan sang ibu.

"Dasar anak tidak tahu diuntung! Sudah ditampung, masih juga tidak punya malu. Apa kau tidak sadar, Tuan Putri, kalau kau ini hanyalah beban di keluarga ini? Cobalah sadar diri sekali saja! Jangan hanya bisa menyusahkan orang lain!" hardik wanita berusia empat puluh tahun itu, yang menyandang gelar sebagai ibu dari gadis tersebut.

Gadis itu hanya bisa menunduk, tidak berani mengeluarkan sepatah kata pun. Ia menyadari bahwa keluarganya tak pernah benar-benar menganggapnya ada. Namun entah mengapa, di lubuk hatinya, ia tetap berharap hidupnya bisa seperti orang lain yang lebih baik.

"Maaf, Bu. Semalam aku tidur larut karena mengerjakan tugas kampus ku," ucap gadis itu dengan suara pelan, tetap menunduk.

"Halah, alasan saja kau! Aku tidak mau dengar soal tugas kampus atau apa pun itu. Memangnya siapa yang menyuruhmu berkuliah? Tidak ada yang peduli! Mau kuliah atau tidak, kau tetap gadis bodoh!" bentak sang ibu dengan nada penuh kemarahan.

"Tapi, Bu... aku tetap ingin kuliah. Aku ingin mengejar impian terbesar dalam hidupku," jawabnya lirih, meski keberanian sempat terbersit dalam nada suaranya.

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipinya yang mulus, meninggalkan rasa panas dan perih. Gadis itu memegangi pipinya, matanya memerah, menahan sakit sekaligus luka batin yang tak terungkapkan.

"Impian? Impian, katamu? Berhentilah menghayal di siang bolong, gadis bodoh! Sekali debu tetaplah debu! Apa kau berharap butiran debu sepertimu bisa menjadi apa? Hah?!" Sang ibu mendengus kasar. Wajahnya memerah karena amarah yang tak kunjung reda.

"Sudahlah, aku malas meladeni omongan tidak berguna dari anak seperti kamu. Daripada terus menghayal hal-hal tak penting, lebih baik kau pergi ke dapur dan masak untuk keluarga ini! Bersyukurlah, aku masih mau menganggap mu sebagai anakku. Kalau aku bisa memilih, lebih baik aku melahirkan seekor anjing daripada anak seperti dirimu. Sudah jadi beban keluarga, tidak berguna pula!" Ucap nya tanpa sedikit pun memikirkan perasaan Raya.

Setelah melontarkan kalimat penuh kebencian, wanita itu berbalik dan pergi, meninggalkan putrinya yang masih terpaku di tempatnya berdiri. Gadis itu tidak menangis, meski hatinya terasa remuk. Kata-kata sang ibu terus terngiang-ngiang, menghujam jiwanya yang rapuh.

" Ibu kenapa kau selalu mengatakan bahwa lebih baik melahirkan seekor anjing dari pada diriku, apakah kau tidak bisa sekali saja menatap mata ku sekali saja ? Kau tau aku pun sama sekali tidak pernah meminta untuk dilahirkan jika harus seperti ini " Ujar wanita cantik itu sembari menghapus air matanya.

Wanita itu menghapus air matanya yang ntah sejak kapan sudah luruh begitu saja, dia mencepol rambut nya asal lalu pergi ke kamar mandi untuk mencuci wajahnya.

Raya Calista Maharani, seorang gadis cantik berusia 23 tahun, memiliki wajah tirus dengan struktur tulang pipi yang tegas namun tetap lembut. Alis tebalnya melengkung sempurna, memberikan ekspresi wajah yang tajam dan penuh percaya diri. Sepasang mata hitam pekatnya seolah menyimpan misteri, dengan bulu mata lentik alami yang memperindah sorotannya. Hidungnya mancung, berpadu dengan bibir kecil berbentuk hati yang berwarna merah alami, membuat setiap senyumnya memancarkan pesona menawan.

Rambut panjangnya yang hitam lebat menjuntai hingga punggung, dengan kilau sehat seperti sutra yang tertata sempurna. Kulitnya putih bersih dengan semburat rona merah di pipi, menunjukkan kecantikan alami tanpa cela. Tubuhnya proporsional, tinggi semampai dengan lekuk tubuh yang anggun, mencerminkan keanggunan seorang wanita modern. Dalam balutan pakaian sederhana namun elegan, penampilannya selalu memikat perhatian siapa pun yang melihatnya. Raya adalah definisi kecantikan yang klasik sekaligus memukau, sosok yang sulit dilupakan begitu saja.

Gadis cantik itu tengah sibuk membersihkan seisi rumah kecil yang sederhana. Walaupun ruangannya sempit, ia tetap bergegas menyelesaikan pekerjaannya. Pagi itu, ia harus menyiapkan sarapan untuk keluarganya sebelum segera pergi ke kampus, karena ada kelas pagi yang tidak boleh ia lewatkan.

Setelah sekitar tiga puluh sembilan menit, akhirnya ia dapat menghela napas lega. Semua pekerjaannya sudah selesai. Tinggal mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke kampus, pikir Raya.

"Pyuhhh... akhirnya selesai juga. Andaikan saja Ibu dan Ayah berubah menjadi baik dan menyayangiku, aku pasti akan menjadi anak yang merasa paling beruntung karena masih memiliki orang tua," gumam Raya sambil mematikan kompor setelah selesai memasak.

Raya melangkahkan kakinya dengan langkah pelan ke ruang makan, tempat seluruh anggota keluarganya sudah berkumpul dan bersiap untuk menikmati sarapan yang telah ia masak. Suasana pagi itu terasa hening, hanya suara sendok garpu yang terkadang berbunyi saat menyentuh piring, seolah menjadi penanda adanya kehidupan di rumah yang sepi itu.

"Kenapa lama sekali, hah!?" ujar Ratna, ibunya, dengan nada yang penuh ketidaksenangan. Matanya yang tajam menyiratkan rasa jengkel. Raya tidak menjawab. Ia memilih untuk tetap diam dan langsung menyusun makanan di atas meja, berharap dengan begitu keluarganya bisa segera menikmati sarapan. Setiap gerakannya terkesan hati-hati, seakan ia ingin menghindari perdebatan lebih lanjut.

"Kak, kenapa bajumu basah seperti itu?" tanya seorang gadis muda yang duduk di meja makan dengan suara yang penuh rasa ingin tahu.

Gadis itu adalah Novita Anggraeni, yang biasa dipanggil Novi. Ia adalah adik bungsu Raya, berusia 18 tahun, lima tahun lebih muda darinya. Novi memandang Raya dengan cemas, seakan berharap ada penjelasan yang bisa melegakan hatinya. Raya menatapnya sejenak, merasakan rasa sayang yang tak terucapkan pada adiknya itu. Lalu, dengan senyum kecil yang terbentuk di bibirnya, ia kembali melanjutkan pekerjaannya.

" Kakak tidak apa-apa, dek. Tadi saat mengepel lantai, kakak terpeleset dan airnya tumpah ke baju kakak," jawab Raya, berusaha terdengar tenang meskipun hatinya dipenuhi perasaan tak nyaman. Ia tidak mungkin mengungkapkan bahwa itu adalah ulah ibunya, yang dengan sengaja menyiramnya dengan seember air.

" Minggir kau, menghalangi jalan ku bodoh!" terdengar suara keras dari seorang lelaki yang baru saja memasuki ruang makan. Suaranya penuh kemarahan, seolah tidak ada sedikit pun rasa hormat kepada siapa pun di sekitarnya.

Lelaki itu adalah Yanto Wardana, putra pertama di keluarga Raya. Raya adalah putri kedua dari tiga bersaudara, namun kehadiran dirinya seolah tidak pernah diakui dengan sepenuh hati oleh sang ayah maupun ibu. Yanto, yang kini berusia 28 tahun, tampak baru saja bangun tidur. Dengan rambut yang kusut dan mata yang masih setengah terpejam, ia berjalan menuju meja makan tanpa peduli dengan suasana di sekitarnya. Raya memberikan jalan dengan terpaksa, merasakan betapa beratnya menjadi seorang anak yang selalu diperlakukan dengan dingin oleh keluarganya.

Pria yang biasa dipanggil Yanto itu, tanpa rasa bersalah, langsung duduk di kursi dan mengambil makanan yang terhidang di meja, seolah semuanya itu adalah haknya yang sudah seharusnya didapatkan.

"Untuk apa kau masih di sini? Pergilah mengganggu orang makan saja!" ujar Ratna, sang ibu, dengan nada tajam saat melihat Raya yang tengah berdiri memandangi mereka makan bersama, seolah terasing di tengah-tengah keluarga yang tampak begitu akrab.

Sejak dulu, Raya memang tidak pernah diizinkan untuk makan bersama keluarganya. Meskipun ia yang memasak dan menyiapkan makanan, ia selalu harus menunggu hingga semua orang selesai makan terlebih dahulu, baru ia bisa makan sendirian, jauh dari tatapan mereka. Kehadirannya di meja makan seolah tak berarti apa-apa bagi mereka.

Raya tersenyum kecil, sebuah senyum yang lebih mirip pada sebuah kebiasaan, lalu berbalik pergi meninggalkan ruang makan yang sederhana itu. Namun, baru saja langkahnya mulai menjauh, ia mendengar namanya dipanggil dengan suara keras.

"TUNGGU!!" teriak Yanto, sang kakak, membuat Raya terhenti seketika. Suara itu penuh dengan perintah yang tak bisa ditawar.

"Iya..." jawab Raya, suaranya lembut, nyaris tak terdengar.

Namun, sayangnya, ucapan lembut itu malah ditanggapi kasar oleh sang kakak. Raya hanya menghela napas pelan dan tetap tersenyum, meskipun hatinya terasa berat. Entah mengapa, ia tidak pernah bisa membalas apapun yang keluarganya lakukan padanya, meskipun ada keinginan besar untuk itu. Seolah kata-kata kasar mereka sudah terlalu biasa baginya.

"Rapikan kamarku terlebih dahulu! Aku selesai makan, kamarmu harus sudah rapi. Aku tidak menerima bantahan!!" perintah Yanto dengan nada tinggi, tanpa menoleh sedikit pun ke arah adiknya itu. Seolah dirinya adalah pusat dunia, dan setiap kata yang keluar dari mulutnya harus dijalankan tanpa protes.

" Tapi kak, aku ada kelas pagi hari ini di kampus. Aku akan terlambat jika membersihkan kamarmu terlebih dahulu. Tolonglah, mengerti aku untuk kali ini saja," ucap Raya dengan wajah yang sedikit memohon, matanya berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Ia berusaha meminta pengertian, berharap ada sedikit kelembutan dalam hati kakaknya yang keras itu. Namun, harapan itu seolah sia-sia.

"Jika dia menyuruhmu untuk membereskan kamarnya, maka lakukan saja! Memangnya apa susahnya? Kau pikir, kalau sekolah setinggi itu, hidupmu akan jadi lebih berarti? Dasar anak tidak tahu diuntung! Menyesal aku melahirkan anak tak berguna seperti dirimu!" ujar Ratna, ibu mereka, dengan suara serak penuh kebencian yang menambah luka di hati Raya. Perkataan itu meluncur begitu saja dari bibir ibunya, seakan tidak ada empati sedikit pun.

"Bukan seperti itu, Ibu. Aku memang ada kelas pagi hari ini. Biasanya juga aku selalu melakukan apa pun yang kalian perintahkan, tapi kali ini aku benar-benar harus pergi pagi-pagi," ujar Raya dengan nada lembut, mencoba menahan gejolak emosi di dalam dirinya. Ia memilih untuk tidak menggubris perkataan kasar sang ibu, berharap suasana tidak semakin panas.

"Kamu berani melawanku sekarang?!" suara Ratna meninggi, penuh amarah yang meledak-ledak. Ia bangkit dari kursinya dengan gerakan kasar, langkahnya mantap menghampiri putri keduanya.

Plakkk!

Tangan Ratna melayang begitu saja, mendarat keras di pipi Raya tanpa aba-aba.

"Katakan sekali lagi! Kau berani sekarang melawanku, hah?!" bentaknya, matanya menyala penuh kemarahan.

Raya terdiam. Ia hanya memegang pipinya yang memerah akibat tamparan itu, menunduk dalam-dalam tanpa berani mengangkat wajahnya. Tanpa sadar, air mata menetes perlahan dari sudut matanya, membasahi pipinya yang kini terasa perih.

"Hanya menangis dan menangis saja kerjaan mu! Sungguh menyebalkan!" Ratna berteriak lagi, suaranya menggema di ruangan sempit itu.

"Ibu, sudahlah! Masih pagi, kenapa Ibu sudah memarahi Kak Raya? Ibu ini kenapa? Dia juga anak Ibu. Kasihanilah dia!" Novi tiba-tiba berseru, memecah keheningan yang mencekam. Suaranya penuh keberanian, meskipun tubuhnya gemetar. Gadis itu selalu menjadi satu-satunya orang yang membela Raya, walau ia tahu ucapannya sering kali diabaikan.

"Sudah tidak berguna, tidak tahu diuntung, berani pula melawanku!" balas Ratna, matanya kini menatap tajam ke arah Raya yang masih menunduk, seolah keberadaan putrinya hanya membawa aib.

"Sudahlah! Kerjakan saja! Jangan membuat onar pagi-pagi begini. Aku pusing mendengar kalian bertengkar terus!" ujar Asgar, sang ayah, dengan nada dingin. Namun, nadanya tidak menunjukkan pembelaan untuk siapa pun. Ia berkata hanya untuk menghentikan kekacauan itu.

Raya masih menunduk, tetapi matanya mulai berkaca-kaca lebih deras. Dadanya terasa sesak, dan pikirannya dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang ia tahu tak akan pernah terjawab. Namun, sebelum ia sempat membuka mulut, ibunya kembali berbicara.

"Seharusnya kau urus anakmu itu!" {kata Ratna kepada suaminya, nadanya penuh penyesalan.} "Anak pembawa sial ini sudah menjadi beban keluarga, tidak berguna pula!" Ratna lalu berbalik dan meninggalkan ruang makan, seolah kehadiran Raya benar-benar membuatnya jijik.

"Sudahlah, Raya! Apa masalahmu pagi-pagi begini membuat keributan seperti ini? Jika kakakmu menyuruhmu membereskannya, maka lakukanlah! Tidak akan menyita waktu sampai bertahun-tahun juga, begitu saja susah!" ucap Asgar, kali ini suaranya terdengar lebih tegas. Ia meletakkan sendoknya dengan kasar ke atas meja, membuat Raya terperanjat.

Raya akhirnya mengangkat wajahnya. Ia menatap ayahnya sejenak, sorot matanya penuh dengan keinginan untuk bicara, meskipun bibirnya tetap terkatup rapat.

"Apa kau tidak ingin membelaku, Ayah?" pikir Raya, bertanya dalam hati. Namun, ia tahu bahwa pertanyaan itu tidak akan pernah terjawab, bahkan jika ia berani mengucapkannya.

"APA?! KENAPA KAU MENATAPKU SEPERTI ITU?!" bentak Asgar tiba-tiba, tatapannya penuh dengan kemarahan yang memuncak.

Raya tersentak dari lamunannya. Ia segera menunduk kembali, meredakan tatapannya yang kini hanya membuat keadaan semakin buruk.

"Maaf, Ayah. Aku akan mengerjakannya. Tolong tunggu sebentar," ucapnya lirih, nyaris seperti bisikan. Lalu, ia berbalik pergi dari ruang makan, meninggalkan suasana yang semakin mencekam di belakangnya.

Raya membereskan kamar kakaknya dengan telaten. Tangannya lincah melipat selimut dan merapikan bantal, meski pikirannya penuh dengan pertanyaan yang berputar-putar. Setelah semua selesai, ia menghela napas panjang dan mulai bersiap-siap untuk pergi ke kampus. Raya memang terbiasa disuruh ini dan itu sejak kecil, namun ia selalu melakukannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Pagi ini terasa berbeda. Hatinya terasa lebih berat dari biasanya. Pukulan yang ia terima dari ibunya masih membekas, baik di pipinya maupun di hatinya. Bukan hanya rasa sakit fisik yang ia rasakan, tetapi juga luka emosional yang terus bertambah. Namun, apa yang bisa ia lakukan? Raya tahu, ia tidak punya pilihan untuk memberontak. Ia hanya bisa diam dan menerima perlakuan keluarganya, apa pun itu.

Raya keluar dari kamarnya dalam keadaan rapi. Rambutnya ia ikat sederhana, seragam kuliahnya tampak bersih dan rapi. Di tangannya, ia membawa beberapa buku tebal yang akan ia gunakan untuk kelas hari ini. Sebelum pergi, ia berhenti sejenak di ruang makan. Pandangannya tertuju pada orang-orang yang selama ini ia sebut keluarga, meskipun ia sering merasa tidak dianggap.

Di meja makan, ayah, kakak, dan adiknya sedang menikmati sarapan dengan santai. Piring-piring penuh makanan tersaji di depan mereka, sementara perut Raya masih kosong sejak pagi. Tidak ada yang memperhatikannya. Tidak ada yang memikirkan apakah ia sudah makan atau belum. Bagi mereka, Raya hanyalah seseorang yang tugasnya melayani kebutuhan keluarga.

Raya menatap mereka sejenak, lalu mengukir senyum kecil, meskipun hatinya penuh kepahitan. Dengan suara pelan, ia berkata.

"Aku berangkat dulu, Ayah. Novi, Kak, kamarmu sudah aku bereskan."

Tidak ada respons. Tidak ada yang menoleh atau sekadar melirik ke arahnya. Raya berdiri di ambang pintu rumah, menunggu, berharap ada yang menjawab, meskipun hanya satu kata. Tapi harapannya sia-sia. Mereka tetap melanjutkan sarapan, seolah keberadaannya tidak berarti apa-apa.

Raya menghela napas panjang, lalu melangkah keluar dari rumah itu. Sebelum benar-benar menutup pintu, ia sempat menoleh ke belakang untuk terakhir kali. Sama seperti sebelumnya, tidak ada yang peduli.

"Memangnya kenapa? Mau aku ada di rumah atau tidak, mereka tidak pernah peduli," pikir Raya dalam hati. Ia menenangkan dirinya dan melangkah pergi dengan cepat.

Setiap hari, Raya menggunakan transportasi umum untuk pergi ke kampus. Ia tidak pernah mengeluh, meskipun angkutan umum yang ia naiki sering penuh sesak. Raya bukanlah mahasiswa yang berasal dari keluarga berada. Keuangannya terbatas, dan ia tahu ia harus berhemat untuk menyelesaikan pendidikannya. Yang penting baginya adalah sampai di kampus tepat waktu.

Raya merasa bersyukur karena ia bisa masuk ke universitas terbesar di Indonesia berkat beasiswa yang ia dapatkan. Kepintarannya adalah satu-satunya hal yang ia banggakan dalam hidupnya. Namun, karena status ekonominya, ia sering menjadi bahan olokan mahasiswa lain. Perbedaan kasta yang begitu mencolok membuatnya sering merasa terasing.

Meskipun begitu, Raya tidak menyerah. Ia tidak membiarkan perlakuan buruk dari orang lain menghalangi tekadnya untuk belajar. Namun, di tengah semua ini, ia sering bertanya-tanya kepada Tuhan.

"Kenapa hidupku selalu penuh dengan cobaan? Kenapa aku yang harus menanggung semua ini?".....

Perjalanan dari rumah ke kampus hanya memakan waktu sekitar dua puluh menit. Begitu sampai di halte dekat universitas, Raya turun dengan langkah tergesa-gesa. Ia menghirup udara pagi dalam-dalam, seolah udara kampus memberinya semangat baru. Terlepas dari semua hal yang telah terjadi dalam hidupnya, pendidikan adalah satu-satunya jalan yang ia yakini bisa mengubah masa depannya.

1
Nunu Izshmahary ula
padahal cuma bohongan, tapi posesif banget 😅
Nunu Izshmahary ula
emang gak kebayang sih se desperate apa kalau jadi Raya, wahhh🥹🙈
Nunu Izshmahary ula
keluarga Raya gaada yg bener 🤧 orang tua yang seharusnya jadi pelindung pertama untuk seorang anak, malah menjadi orang pertama yang memberikan lukaಥ⁠‿⁠ಥ
Nunu Izshmahary ula
raya bego apa gimana sihh 😭 bikin gregetan deh .. lawan aja padahal
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!