--Balas dendam terbaik adalah dengan menjadi pemenang sejati--
Setelah dicampakkan ayahnya dan diputus status sebagai Tuan Muda saat usia delapan tahun karena kutukan, Xavier bangkit sebagai sisi yang berbeda setelah dewasa. Mengusung nama besar Blood dengan menjadi panglima perang sejati dan pebisnis andal di kekaisaran.
Namun ... pada akhir dia tetaplah sampah!
---Ekslusif di NOVELTOON---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ɛpɪsoʊd 28
“Kau datang?” tanya Xavier, tetap dari posisi duduk selonjor di atas ranjang.
Pintu ditutup Aegle lalu berbalik, melangkah ke arah kursi yang biasa mereka pakai.
“Ini kali terakhir sebagai penutup sesi terakhir. Aku tidak mungkin melewatkan hadiah yang kau tawarkan," kata Aegle, sedikit ketus. “Sisa dua betismu, 'kan? Ayo lakukan dengan cepat!”
Namun sikap itu justru disenyumi oleh Xavier. Buku yang tadi dimainkannya tanpa benar-benar dibaca langsung ditutup dan mencampakkan di tepi kasur. Dia berdiri meninggalkan resahnya duduk di sana. Dua kakinya bergerak santai ke dekat Aegle yang sudah siap.
Kursi satu miliknya ditarik Xavier lalu duduk di sana. Posisi mereka resmi berhadap lurus. “Kau tidak ingin minum dulu?”
“Tidak!" tolak Aegle, masih dengan nada yang tadi. Xavier manggut tak memaksakan.
Namun sekonyong-konyong dia malah bergerak lagi.
“Kita akan memulai, kenapa kau malah berdiri?!” tanya Aegle, mendongak ke wajah Xavier dengan raut sama bertanya. Namun ekspresi lelaki itu .... “Aku merasakan aura lain dari wajahnya.” Dia menelan ludah. Aura kenakalan sejati dengan otak yang paling busuk.
Aegle meringsut percuma karena tak bisa jauh, dia jadi sedikit takut.
“Penyembuhan bagian kaki, sepertinya akan lebih mudah jika berselonjor di atas ranjang. Jadi kau tidak perlu turun ke lantai untuk menyentuhnya saat proses penyaluran mana.”
“Itu adalah saran, tapi kenapa terdengar seperti dia akan melakukan sesuatu yang tidak ada dalam skenario penyembuhan ini?”
“Tidak perlu! Aku tidak masalah duduk di lantai!” tolak Aegle seraya bangkit berdiri. “Kau hanya perlu meluruskan dua kakimu dengan menopangkannya ke kursi ini." Maksudnya kursi yang tadi dia duduki.
“Lantai itu sangat dingin dan tidak ada alas, apa kau bisa menahan?” tanya Xavier.
“Tentu saja. Pakaianku cukup tebal untuk menghalau dingin dan lagi pula ... ini hanya sebentar. Aku sudah terlatih dan bisa mengakhiri cepat.”
Xavier diam sesaat seolah berpikir, lalu mengangguk dengan ekspresi sama. “Baiklah," katanya lantas menyetujui. “Kalau begitu aku juga di lantai.”
Aegle memutar bola matanya, lalu merendahkan badan, mengikuti Xavier yang sudah lebih dulu ada di lantai.
“Kau tidak perlu membuka celanamu seluruhnya seperti kemarin, cukup gulung saja ke atas. Tidak masalah.”
“Baik.”
Seperti instruksi itu, Xavier menggulung celananya sampai ke lutut.
Pemandangan betis panjang dengan bulu-bulu halus memenuhi pandangan Aegle. Meskipun masih berwarna kutukan, mata wanita ini tetap bisa melihat betapa kokohnya bagian kaki yang ... aneh saja! Itu hanya kaki! Kenapa harus seindah itu.
Padahal kaki sapi lebih enak dengan kuah berminyak.
Cih!
Seperti yang dikatakan di awal, Aegle memulai lebih cepat untuk proses yang juga cepat.
Matanya terpejam, mulai menyalurkan mana ke telapak tangan, mengumpulkan di sana lalu menempelkannya pada kedua betis Xavier yang terselonjor di hadapannya.
Seperti biasa, prosesnya masih sama dengan sebelum-sebelumnya. Hanya saja kali ini, wajah Xavier menunjukkan ringisan lebih menekuk. Kesakitannya sedikit bertambah oktaf.
Terlihat bukan hanya cahaya biru dari mana, melainkan juga cahaya keemasan dari sihir pemurnian sebagai penutup segala proses. Itu artinya, semua hampir selesai.
Xavier akan sempurna terbebas dari kutukan.
Dua menit kemudian, Aegle masih terengah dengan butiran keringat bercucur. Dia mundur tanpa berdiri, menghampiri dinding yang paling dekat untuk bersandar.
Sedang Xavier masih diam di posisinya. Rasa sakit dan panas baru saja menghilang. Pasang mata merahnya kini beku menatap dua kaki yang sudah memutih sempurna.
Tidak ada lagi kolaborasi warna yang menjijikkan itu.
“Aku tidak percaya ini!” Kondisi hatinya sedang dalam berdentam-dentam. Setelah puas, barulah dia melengak ke arah Aegle. “Kau baik-baik saja, Nona?”
Aegle mengangguk pelan, masih menstabilkan napas.
Ini pengobatan akhir yang memakan banyak energi dan kekuatan mana yang dia punya.
Inisiatif, Xavier bangkit dari tempatnya lalu mendekati Aegle.
“Hei!” teriak Aegle.
Lagi-lagi kelakuan Xavier mengejutkannya.
Pria itu mengangkat dirinya dalam gendongan, lalu membawa ke arah ranjang.
“Kau harus istirahat. Kondisimu lemah.”
Aegle meronta, tapi berakhir juga di atas ranjang.
“Aku akan memulihkan kondisiku di rumah. Aku harus segera pergi!”
EIT!
Tapi Xavier menahan dua pundaknya saat ia akan bergerak turun.
Aegle melengak.
Tangan Xavier masih menempel di dua pundaknya. Wajah mereka saling bertemu dalam tatapan.
“Rumah kau bilang?” tanya Xavier, terselip nada sedikit sarkas. “Memangnya di mana rumahmu? Apa aku boleh berkunjung?”
GLEK!
Aegle menelan ludah. Tatapannya beku di wajah itu.
Namun kemudian ....
ZAP!
Dia menepis tangan Xavier dari pundaknya lalu berkata ketus, “Rumahku tidak untuk umum! Kau siapkan saja hadiahnya agar aku bisa cepat pergi!”
Akan tetapi ....
BRUK!
“HEY!”
Entah harus berapa kali Aegle berteriak karena terkejut. Dan kali ini lebih mengejutkan karena Xavier malah mengempas tubuhnya ke bantal, lalu dia sendiri merangkak naik untuk kemudian mengungkung Aegle dalam kuasa.
“Kau mau apa?!” teriak Aegle lagi, berusaha melepaskan diri karena tiba-tiba Xavier mengunci dua tangannya di sisi kepala. Kakinya menendang udara secara lemah.
Ketakutan tak terhindarkan.
Tatapan Xavier seakan membakar seluruh wajah. Bahkan dari helaian rambut yang menjuntai di keningnya itu seperti mata pedang yang bisa menusuknya kapan saja.
Sekarang Aegle mulai gemetar. “Apa ... dengan cara ini ... kau akan berterima kasih padaku?” tanyanya bergetar.
Tololnya, Xavier malah memulas seringai aneh, kemudian menjawab, “Ya!” Lalu melanjutkan, “Aku menginginkanmu ... Nona Aegle! Ah, tidak!" Dia meralat dalam sekejap. “Atau lebih mesra kupanggil Anda ... Istriku sayang, Yang Mulia Putri Ashiana!”
😍😍😍
😘😘😘🔞🔞🔞