“Kalau kamu nggak pulang sekarang, mama nggak main-main Syas. Mama akan jual kamu!”
Mata Syanas membelalak, tapi lebih karena terkejut mendengar nada serius ibunya dari pada isi ancaman itu sendiri. “Jual aku? Serius Ma? Aku tuh anak mama loh, bukan barang yang bisa dijual seenaknya.”
“Oh, kamu pikir mama nggak bisa?” balas Rukmini, suara penuh ketegasan. “Mama akan jual kamu ke Gus Kahfi. Dia anak teman almarhum papa kamu, dan dia pasti tau cara ngurus anak bandel kayak kamu.”
Syanas mendengar nama itu dan malah tertawa keras. “Gus Kahfi? Mama bercanda ya? Dia kan orang alim, mana mungkin dia mau sama aku. Lagian, kalau dia beneran mau dateng ke sini jemput aku, aku malahan seneng kok Ma. Coba aja Ma siapa tau berhasil!”
Rukmini mendesah panjang, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, menutup teleponnya. Syanas hanya mengangkat bahu, memasukkan ponselnya ke saku lagi. Ia tertawa kecil, tak percaya ibunya benar-benar mengucapkan ancaman itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gledekzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch ~
Kahfi melangkah masuk ke rumah setelah menyelesaikan ceramah di masjid pesantren. Aminah berjalan di sampingnya. “Nak, ajak Syanas turun makan siang. Kalau dia masih enggan, biar nanti mama bawakan makanannya ke kamar.”
Kahfi mengangguk pelan, mengingat kejadian sebelumnya. Saat ia memarahi Syanas, perempuan itu langsung masuk ke kamar mandi sambil menangis.
Ia tahu amarahnya saat itu mungkin berlebihan. Syanas memang keras kepala, tapi ia tidak pantas diperlakukan seperti itu.
Saat itu azan berkumandang, membuatnya harus segera ke masjid untuk memimpin shalat. Saat meninggalkan rumah, ia sadar bahwa Syanas mungkin butuh waktu untuk merenung dan membenahi dirinya sendiri.
“Aku ke atas dulu ma,” jawab Kahfi.
Ia menaiki tangga menuju kamar mereka. Menarik napas panjang, Kahfi memutar gagang pintu dan masuk. Namun, pandangannya langsung menyapu ruangan dengan cepat.
Tidak ada Syanas di sana. Kahfi berjalan menuju kamar mandi, mungkinkah istrinya masih di dalam kamar mandi? Ia pun mengetuk pintu. “Sayang, kita makan siang yuk.”
Hening. Kahfi semakin curiga takut Syanas kenapa-napa di dalam sana, ia pun mencoba membuka pintu, tetapi kosong.
Hatinya mulai tidak tenang. Ia berjalan ke balkon, membuka pintu kaca, dan memeriksa ke luar. Namun, Syanas juga tidak ada di sana.
Saat hendak kembali ke kamar, sesuatu di sudut balkon menarik perhatiannya. Sebuah kain panjang terikat di tiang balkon, menjuntai ke luar pagar pesantren.
Jantung Kahfi berdegup kencang. Ia berjalan mendekat, meraih kain itu, dan mengenalinya. Seprai putih yang sudah dicuci bersih, serta beberapa pakaian dress Syanas, Kahfi menoleh ke bawah, melihat kain itu menjuntai hingga hampir menyentuh tanah di luar pagar pesantren.
Sebuah senyuman tipis mulai muncul di wajah Kahfi. Ia menatap kain itu. “Dia perempuan yang memang luar biasa,” gumamnya sambil menggeleng pelan. Istrinya benar-benar punya keberanian dan kecerdikan yang sulit ditandingi.
......................
Syanas duduk dengan santai di sofa apartemen Nindi, ia menyisir rambutnya dengan jari, sesekali melirik ke arah Nindi dan Jennie yang tampak sibuk dengan ponsel masing-masing.
Namun, wajah mereka terlihat kurang bersemangat. Syanas mendekatkan tubuhnya ke arah mereka, nada suaranya mengusik.
“Eh, ngomong-ngomong,” Syanas memulai sambil menaikkan alisnya. “Mana cerita soal investasi itu? Kok kalian nggak bahas lagi? Biasanya kalau kalian mau menghasut gue, nggak tanggung-tanggung. Ini, diam aja.”
Nindi yang sejak tadi diam sambil menggeser layar ponsel, mendengus pelan.
Namun, Jennie menatap Syanas dengan wajah kikuk, lalu menunduk sambil memainkan ujung rambutnya. “Jangan diomongin deh soal itu. Beneran bikin gue pengen nangis,” ucapnya membuka suara, nada bicaranya terdengar berat.
Syanas mengerutkan kening, tertarik. “Lah, kenapa? Bukannya kemarin-kemarin kalian cerita soal untung gede? Uang masuk terus, sampai buat kalian mau nambah lagi?”
Nindi mendongak dengan wajah masam. “Itu cuma pancingan. Awalnya kita emang dapet untung besar. Duit balik lebih dari yang kita investasikan. Tapi ternyata, itu semua cuma trik.”
“Begitu kita tambah investasi lebih besar, duit kita langsung amblas. Scam. Duit gue dan Nindi habis semuanya,” ucap Jennie menyela, menambahkan dengan nada getir.
Mendengar itu, Syanas terdiam sejenak. Namun, bukannya ikut prihatin, ia justru meledak dalam tawa. Suara tawanya yang keras menggema di ruangan, membuat Jennie dan Nindi semakin kesal.
“Gue udah ngomong dari awal kan, investasi kayak gitu tuh nggak masuk akal! Kok bisa kalian ketipu sih? Ya ampun, gue udah curiga banget waktu kalian ngomong untungnya terlalu cepat. Untung gue nggak ikutan!”
Jennie mendengus, wajahnya semakin masam. “Lo nggak perlu nyindir. Kita udah cukup malu sama diri kita sendiri.”
Nindi mengangguk setuju, tapi tatapan matanya tak bisa menyembunyikan rasa kesalnya. “Dan lo jangan ketawa terlalu puas. Karma itu nyata. Jangan-jangan giliran lo nanti malah lebih parah.”
Syanas menaikkan dagunya, memasang ekspresi penuh percaya diri. “Please, gue ini terlalu cerdas buat kena tipu. Uang gue itu habis karena gue pake buat belanja, jalan-jalan, atau makan enak. Bukan karena dicuri orang lain. Jadi, walaupun habis, at least gue puas!”
Baru saja ia selesai membanggakan dirinya, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Dengan santai, ia meraih ponselnya dari meja dan membuka notifikasi. Namun, ekspresi wajahnya langsung berubah drastis. Matanya melebar, napasnya terasa sesak, dan tubuhnya mendadak kaku.
Jennie yang memperhatikan itu langsung mendekat dengan rasa penasaran. “Eh, kenapa lo? Lo kayak liat hantu.”
Tanpa menjawab, Syanas buru-buru membuka aplikasi m-banking di ponselnya. Detik berikutnya, rahangnya mengatup rapat saat melihat angka di layar. Saldonya hanya lima puluh ribu rupiah.
“Sialan,” gumam Syanas dengan nada rendah tapi penuh amarah. Ia menelan ludah, mencoba memastikan lagi, tetapi kenyataan di depannya tak berubah. Uangnya benar-benar habis.
Nindi yang duduk di sampingnya melongok ke layar ponsel, lalu langsung menutup mulutnya dengan tangan. Namun, usahanya untuk menahan tawa gagal total. “Ya ampun! Ternyata lo juga apes! Ini beneran karma!”
Jennie ikut mendekat, melihat layar ponsel itu. Begitu ia memastikan apa yang terjadi, ia tertawa terbahak-bahak sampai tubuhnya terhuyung ke belakang.
“Oh my God! Lo tadi belagu banget ngomong nggak bakal apes. Eh, ternyata lo juga nggak kalah sial! Saldo lo tinggal lima puluh ribu? Itu bahkan cuma saldo ngendap tau!”
Syanas mendengus kesal, wajahnya memerah. Ia mengepalkan tangan, mencoba menenangkan dirinya sendiri. “Sialan! Ini pasti kerjaan nyokap gue. Buku rekening gue, dan semua dokumen penting gue masih ada di rumah. Siapa lagi kalau bukan dia yang ngambil semuanya?”
Namun, bukannya mendapat simpati, Jennie dan Nindi justru semakin puas menertawakannya. Nindi bahkan menepuk-nepuk pundak Syanas. “Well Sya. Welcome to the club. Sekarang kita bertiga sama-sama menggembel!”
Jennie mengangguk, air matanya sampai keluar karena terlalu banyak tertawa. “Hidup kita kayak sinetron banget ya. Yang satu ketipu investasi, yang satu uangnya diembat emaknya sendiri. Gila, nasib kita beneran tragis!”
“Tapikan enak di Syanas, nyokapnya yang ngabisin, kalau kita, orang lain,” ucap Jennie sambil mencoba menghapus sisa air matanya.
“Enak apaan? Nyokap gue udah cukup kaya dari jual gue ke gus Kahfi itu. Jadi kalau sekarang mama masih mau nekat ngambil duit gue, ya ini sih udah keterlaluan banget.” nada suara Syanas mulai meninggi, tapi tetap diimbangi dengan tawa sinis.
Jennie dan Nindi saling bertatapan, seakan paham kenapa Syanas begitu kesal. Mereka tahu Syanas bukan cuma marah soal uangnya yang hilang, tapi juga soal prinsip dan rasa sakit hati karena dijadikan alat oleh keluarganya sendiri.
“Eh, ya gue ngerti sih,” ucap Nindi, mencoba menenangkan. “Tapi lo kan memang bukan tipe orang yang diam aja. Gue yakin banget lo bakal bikin sesuatu buat balikin keadaan ini.”
Syanas mengangkat dagunya, menatap kedua sahabatnya dengan mata penuh tekad. “Oke, oke. Gue akui, kali ini gue kalah. Tapi gue nggak bakal lama-lama jadi gembel. Gue bakal cari cara buat balik modal!”
Mereka bertiga akhirnya tertawa bersama, meski nasib sedang tidak berpihak pada mereka. Syanas berusaha melupakan sejenak kekesalannya. Di tengah kekacauan hidup, setidaknya mereka memiliki satu sama lain untuk berbagi keluh kesah dan tawa.
Tapi di dalam hatinya, Syanas sudah mulai menyusun rencana. Ia tidak akan membiarkan siapapun, bahkan ibunya sendiri, menghalangi jalannya untuk bangkit kembali.
hidup ini indah le
🧕: ubur-ubur ikan lele
iya..kalo ada kamu le
othor : ubur-ubur ikan lele
kagak jelas le..