Dua tahun. Dua sahabat. Satu cinta dan satu hati. Clara dan Sarah, terikat oleh persahabatan yang tak tergoyahkan sejak dua tahun persahabatan mereka di bangku kuliah, menghadapi badai kehidupan bersama. Namun, kedamaian itu hancur ketika sebuah kerikil kecil—sejumlah tokoh antagonis, masing-masing dengan segudang niat jahat—muncul secara tiba-tiba. Serentetan jebakan dan intrik licik memicu serangkaian kejadian di antara Sarah dan Clara: salah paham, pertengkaran, dan pengkhianatan yang tak terduga. Apakah persahabatan mereka cukup kuat untuk menghadapi cobaan ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Grace caroline, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 28. Tante Ellis?!
Clara menggeleng, senyumnya tetap mengembang. "Lupain aja. Eh, malam ini kamu nginep ke sini ya, temenin aku. Hari ini Papa sama Mama lagi ke luar kota karena urusan kerjaan. Aku nggak mau sendirian. Kamu temenin aku ya, kita marathon drakor nanti," ajaknya. Senyumnya merekah, memperlihatkan gigi-gigi putihnya yang rapi.
Awalnya, Sarah penasaran dengan nama yang disebut Clara, karena terasa asing. Namun, ia segera menepis rasa penasaran itu dan bertanya, "Mereka keluar kota lagi? bukannya mereka baru aja berantem dan nyaris mau cerai ya? Kok tiba-tiba mau ke luar kota sih?" tanyanya heran.
Clara menghela nafas kasar, matanya berputar malas. Ia menggeleng pelan. "Kamu kayak nggak tahu orang tuaku aja sih, Sar? Mereka kan emang gitu. Berantem, baikan terus keluar kota. Gitu terus dari dulu.
Aku kan dari dulu emang sendirian di rumah...Ehm, sebelum kenal sama kamu. Dulu sih ditemenin art, kebetulan banget orangnya baik dan penyayang. Tapi Mama pecat orang itu gara-gara hal sepele," jelasnya, suaranya sedikit sendu mengingat masa lalu.
"Gara-gara apa?" tanya Sarah penasaran. Clara sebelumnya tak pernah bercerita tentang ART yang dipecat orang tuanya.
Hening menyelimuti sekeliling. Clara terdiam, mencoba meraih kembali kenangan yang mulai memudar. Kenangan itu sedikit menyakitkan, namun ia tak bisa begitu saja melupakannya. Art itu, wanita baik yang selalu ia panggil Mama saat orang tuanya tak ada. Namun…
"Kayaknya aku belum cerita soal ini sama kamu ya? Dulu, sekitar tiga tahun yang lalu kali ya, atau mungkin lebih. Aku lupa, mamaku pernah nyuruh art itu, ehm namanya...Bi Surti. Ya Bi Surti. Aku agak lupa sama namanya dan mukanya, soalnya udah lama banget.
Nah Mama tuh nyuruh Bi Surti buat masakin Mama makanan kesukaannya kan, udang pedas bumbu Italia. Waktu itu Bi Surti langsung masakin Mama tuh, eh setelah jadi terus Mama cobain Mama malah marah.
Katanya kurang pedes terus ekor udangnya masih ada beberapa. Mama yang emosi tanpa pikir panjang langsung mecat Bi Surti. Aku waktu itu langsung nangis-nangis terus mohon-mohon sama mama buat jangan mecat Bi Surti, tapi mama malah cuek dan pergi.
Aku nggak bisa ngelakuin apapun dan Bi Surti pergi deh. Aku nggak tahu kabarnya sampai sekarang. Entah dia bahagia atau gimana aku nggak tahu. Aku kangen tahu, Sar sama Bi Surti. Dia itu kayak Mama buat aku.
Selalu ngurusin aku, nyiapin aku makanan, ngingetin aku dan kadang jadi teman ngobrol. Pokoknya dia selalu ada. Selain tugasnya itu sebagai art di rumah, dia juga kayak mengambil peran sebagai orang tuaku. Sama kayak kamu," Clara menjeda ucapannya, menatap Sarah dalam. Sarah yang mendengar namanya disebut di akhir mengerutkan keningnya, penasaran.
"Aku?" tanya Sarah.
Clara mengangguk, senyumnya merekah—hangat dan manis, meski matanya berkaca-kaca. "Kamu bukan cuma sahabatku, Sar, tapi juga kakak dan… seperti Mama buat aku," katanya lirih.
"Kamu bikin aku percaya kalau kasih sayang dan cinta itu beneran ada, di dalam diri kamu. Di dalam diri kamu, aku nemuin cinta yang selama ini hilang dari hidup aku… keluarga. Kamu udah kayak keluarga buat aku, Sar.
Bahkan, aku berani bilang kalau cuma kamu keluargaku di dunia ini," Ia memeluk Sarah tiba-tiba, membuat Sarah terkejut sejenak. Namun, Sarah membalas pelukan itu, mengusap lembut kepala Clara, tersenyum manis—senyum penuh syukur.
"Kamu juga seperti keluarga buat aku, Ra. Aku sayangggg bangeeet sama kamu. Jangan pernah bosen temenan sama aku ya? Jangan bosen-bosen buat aku nasehatin. Aku nggak mau jauh-jauh dari kamu, barang sehari pun," balas Sarah, pelukannya semakin erat. Air matanya menetes membasahi pipinya, menandai betapa dalam rasa syukurnya.
Ia memejamkan mata, merasakan kehangatan tubuh Clara menembus hingga ke relung jiwanya, membawanya hanyut dalam perasaan nyaman dan aman.
Sementara itu di balik dinding, tak jauh dari Clara dan Sarah, seorang wanita setengah baya dengan gaya chic berdiri mengamati mereka.
Ia mengenakan celana jeans robek di lutut—warna navy gelap—dipadukan kaos putih ketat dan cardigan cokelat. Sebuah mini bag emas tergantung di tangannya, sementara tangan satunya menunjuk ke arah kedua gadis itu. Rasa terkejut tergambar jelas di wajahnya. Bibir merahnya sedikit terbuka, memperlihatkan gigi putihnya yang rapi.
"Itu Clara sama siapa? Astaga, dekil banget! Kayak emak-emak habis nyangkul sawah, muka kayak belum pernah kenal bedak. Masa iya Clara temenan sama cewek modelan kayak gitu? Gak cucok banget, sumpah!" gumam wanita itu, masih bersembunyi. Alisnya bertaut mengamati keakraban Clara dan Sarah.
Mereka bahkan berpelukan beberapa kali, memicu rasa penasarannya yang semakin menjadi. Akhirnya, ia melangkah mendekati mereka.
"Clara!" panggil wanita itu agak keras. Langkah kakinya dalam sepatu bot hitam terdengar nyaring, membuat Clara dan Sarah tersentak. Mereka menoleh bersamaan.
"Tante Ellis?!"
Bersambung ...