Chen Miao Miao, gadis kaya yang hilang sejak kecil, ditemukan kembali oleh keluarganya di usia 17 tahun. Namun, kebahagiaannya hancur karena kelicikan Chen Xiao Wan, anak angkat yang merebut kepercayaan keluarga.
Dalam kecelakaan tragis, orang tua Miao Miao memilih menolong Xiao Wan terlebih dahulu, karena kelicikannya. ketika kedua orang tuanya kembali untuk menolong Miao Maio, mobil tersebut tiba-tiba meledak.
Mama dan Papa nya meninggal karena kesedihan nya, ketiga kakak nya tewas dengan tragis dan Xiao Wan menikmati harta keluarga mereka.
Takdir membawa Miao Maio kesempatan kedua ketika Papa dan Mama nya menjemputnya dari panti asuhan, membawa ingatan masa depan kematian keluarga nya.
Tanpa sepengetahuan Miao Miao, keluarga dan jodohnya kini dapat mendengar kata hatinya. Dengan kesempatan ini, bisakah ia melindungi keluarganya dan membalas dendam pada Xiao Wan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah Lawan
Pagi-pagi sekali, Miao Miao sudah terbangun. Ia mengenakan pakaian olahraga sederhana dan mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda. Matanya menyapu seluruh kamar yang kini menjadi miliknya, mengingatkan dirinya bahwa kehidupan ini adalah kesempatan kedua yang tidak akan ia sia-siakan.
Ia berjalan keluar kamar, langkahnya ringan tapi mantap. Dalam hatinya, ia bergumam, aku harus menjaga tubuh ini. Dengan makanan bergizi yang selalu tersedia, aku akan menambah berat badanku yang sempat turun drastis. Aku akan memperkuat fisikku seperti dulu, di mana aku berlari setiap pagi tanpa mengeluh. Sekarang aku tidak lagi berbagi makanan atau kamar mandi dengan orang licik itu. Semua ini adalah milikku, dan aku tidak akan membiarkan siapa pun merusaknya lagi.
Saat tiba di taman depan mansion, kepala pelayan sudah berdiri dengan rapi, mengawasi para pelayan lain yang sedang sibuk menyelesaikan tugas mereka. Ketika melihat Miao Miao, kepala pelayan dengan cepat menunduk sopan. "Selamat pagi, Nona Muda. Apakah ada yang bisa kami bantu?"
Miao Miao mengangguk kecil, suaranya lembut meski tetap terdengar datar. "Tidak, aku hanya ingin berolahraga. Terima kasih."
Semua pelayan lainnya ikut menyapa dengan sopan, "Selamat pagi, Nona Muda."
Miao Miao membalas sapaan mereka dengan anggukan singkat dan senyum tipis yang hampir tidak terlihat. "Pagi," jawabnya datar, lalu melangkah ke jalur taman untuk mulai berlari.
Selama 30 menit, Miao Miao berlari mengelilingi taman yang luas, menghirup udara pagi yang segar. Ia menikmati setiap langkahnya, merasa bebas dan segar. Ini jauh berbeda dengan kehidupannya di panti, di mana ia harus berlari di jalanan sempit atau halaman kecil dengan aspal berlubang. Ia bertekad untuk menjaga kebugaran tubuhnya, tidak hanya untuk kesehatan, tetapi juga untuk bersiap menghadapi segala rintangan yang mungkin datang.
Selesai berolahraga, ia kembali ke mansion. Para pelayan yang melihatnya lewat segera menyambutnya dengan ramah, "Bagaimana olahraganya, Nona Muda?"
Miao Miao hanya tersenyum tipis dan menjawab singkat, "Cukup menyenangkan. Terima kasih."
Setelah kembali ke kamarnya, ia langsung menuju kamar mandi dan berendam di bathtub yang penuh busa. Air hangat menyentuh kulitnya, memberikan kenyamanan yang tidak pernah ia rasakan di masa lalu. Ia memejamkan matanya, menikmati setiap detik. Aku tidak akan menyia-nyiakan semua ini, pikirnya. Aku akan menikmati hidup ini dengan caraku sendiri. Tidak ada lagi tekanan, tidak ada lagi yang bisa menjebakku. Aku yang memegang kendali sekarang.
Setelah 30 menit, ia keluar dari kamar mandi, mengenakan seragam sekolah yang sudah rapi disiapkan di walk-in closet. Seragam itu terasa nyaman, meskipun ia menyadari satu hal yang mencolok, tidak ada aksesoris mahal yang disiapkan untuknya, tidak ada tanda bahwa ia adalah anak kandung keluarga Chen. Sungguh ironi, pikirnya. "Sebagai anak kandung, aku bahkan tidak dihargai seperti anak angkat mereka. Tapi biarlah. Aku akan membuktikan bahwa aku tidak butuh semua itu untuk menunjukkan siapa diriku."
Di meja rias, ia merapikan wajahnya dengan pelembap, sedikit bedak, dan liptint. Sederhana, namun cukup untuk membuatnya terlihat segar. Tatapannya di cermin penuh tekad. Tidak apa-apa. Semua ini hanyalah permulaan. Yang penting aku tahu siapa diriku dan apa yang harus kulakukan. Dengan itu, ia melangkah keluar dari kamarnya, siap menghadapi hari barunya di sekolah.
Teriakan dari kamar Xiao Yan memecah keheningan pagi itu. Semua anggota keluarga yang masih berada di kamar masing-masing langsung keluar untuk melihat apa yang terjadi. Mama Fang adalah yang pertama sampai di depan pintu kamar Xiao Yan. Dengan nada cemas, ia bertanya, "Ada apa, Xiao Yan? Kenapa teriak-teriak seperti itu?"
Xiao Yan berbalik, matanya terlihat basah seolah hendak menangis. Dengan suara gemetar, ia menjawab, "Kalungku, Ma. Kalung yang Mama dan Papa berikan saat ulang tahun terakhirku... hilang! Aku sudah mencari di seluruh kamar, tapi tidak ketemu!" Tangannya menunjuk ke kamar yang kini berantakan dengan barang-barang berserakan di lantai.
Mama Fang mencoba menenangkan. "Mungkin kamu lupa taruh di mana, Xiao Yan. Jangan panik, coba ingat-ingat lagi."
Kakak ketiga mereka yang baru saja keluar dari kamarnya juga menimpali. "Iya, Xiao Yan. Jangan buru-buru menyimpulkan. Kadang kita suka lupa di mana menaruh barang."
Namun Xiao Yan menggeleng keras. "Aku tidak lupa! Aku yakin sekali tadi malam aku memakainya. Tapi sekarang sudah tidak ada!" Matanya tiba-tiba berbinar seolah teringat sesuatu. "Oh!" serunya dengan nada mendramatisir. "Tadi malam... aku baru ingat. Aku memakainya waktu ke kamar Miao."
Sontak semua mata beralih ke Miao Miao yang ternyata sedang berdiri santai di pintu kamarnya. Ia bersandar di sana dengan tangan terlipat di depan dada, menyaksikan drama di depan matanya tanpa ekspresi. Melihat perhatian keluarga kini tertuju padanya, Miao Miao tersenyum tipis. Dengan nada tenang, ia bertanya, "Jadi, kau menuduhku mencuri, Xiao Yan?"
Xiao Yan menggeleng, tapi suaranya sengaja dibuat terdengar lemah, penuh nada menyedihkan. "Aku tidak menuduhmu, Miao Miao. Aku hanya bilang... tadi malam aku memakainya, dan aku ke kamarmu. Tapi sekarang kalung itu tidak ada di mana-mana."
Miao Miao menaikkan sebelah alisnya, memandang semua orang di depannya. "Hem, begitu ya. Kalau begitu, apa kalian percaya padanya?" tanyanya pada kedua orang tuanya dan ketiga kakak laki-lakinya, matanya bergantian menatap mereka satu per satu.
Namun, tidak ada yang langsung menjawab. Mama Fang tampak bingung, Papa Chen mengerutkan kening seolah mempertimbangkan sesuatu, dan ketiga kakak laki-laki Miao Miao hanya saling pandang. Tidak ada yang berani memberi keputusan.
Melihat itu, Miao Miao mendesah panjang, menahan tawa yang hampir keluar dari bibirnya. Dengan nada datar, ia berkata, "Baiklah. Kalau begitu, ayo kita buktikan." Ia berbalik, membuka pintu kamarnya lebar-lebar, dan memberi isyarat kepada Xiao Yan. "Silakan masuk dan cari kalungmu di kamarku."
Xiao Yan terlihat ragu sejenak, tapi akhirnya masuk ke kamar Miao Miao dengan langkah terburu-buru, diikuti pandangan penuh perhatian dari seluruh keluarga. Miao Miao berdiri di ambang pintu, menyilangkan tangan di dada sambil menyaksikan Xiao Yan yang mulai mengobrak-abrik kamarnya. Ada senyum kecil tersungging di bibirnya.
Suasana kamar Miao Miao dipenuhi ketegangan saat Mama dan Papa Chen memutuskan untuk masuk, mengingat ucapan Miao Miao kemarin yang mengatakan bahwa dirinya pernah dijebak mencuri kalung oleh Xiao Yan. Pikiran mereka bercampur aduk, terutama saat melihat Miao Miao yang berdiri acuh di ambang pintu, menatap mereka tanpa emosi.
Xiao Yan, yang sibuk memeriksa kamar Miao Miao, bergerak dengan panik. Matanya menyapu setiap sudut, mencoba menemukan perhiasan yang disembunyikannya tadi malam. Namun, semua tampak kosong. Barang-barang Miao Miao yang masih sangat sederhana membuat kamar itu terlihat nyaris seperti belum ditinggali.
Saat sampai di sofa, Xiao Yan tampak yakin. Ia berjalan cepat ke arah sofa, tangannya menyelip di balik bantal tempat ia menyembunyikan kalungnya. Namun, wajahnya langsung berubah. Tidak ada apa-apa di sana. Dengan suara penuh frustrasi, ia ceplos tanpa sadar, "Kok nggak ada di sini?"
Semua mata tertuju pada Xiao Yan. Miao Miao, yang sejak tadi berdiri diam, akhirnya berjalan mendekat dengan langkah pelan. Dengan nada tenang namun menusuk, ia bertanya, "Harusnya di situ? Kenapa kamu tahu barangmu ada di situ?"
Pertanyaan itu membuat suasana menjadi beku. Mama, Papa, dan ketiga kakak laki-laki mereka saling pandang, mencoba mencerna ucapan Xiao Yan. Mereka semua menatap Xiao Yan dengan ekspresi penuh pertanyaan.
Xiao Yan tergagap, wajahnya pucat. Dengan suara pelan, ia berkata, "Bukan begitu... tadi malam aku... aku duduk di sofa ini... mungkin saja jatuh di sini..." nada suaranya terdengar tidak yakin, bahkan hampir terdengar memelas.
Miao Miao menatapnya dengan senyum miring yang penuh arti. "Oh, benar sekali. Tapi, di mana hilangnya? Sudah ketemu?" tanyanya dengan nada ringan, seolah mengejek.
Xiao Yan tidak mampu menjawab. Raut wajahnya yang bingung berubah menjadi putus asa. Dengan nada seperti anak kecil yang kalah, ia merengek pada Mama dan Papa. "Papa, Mama, aku benar-benar tidak tahu. Kalung itu sangat penting bagi aku..."
Mama dan Papa Chen hanya bisa menatap bingung. Ucapan Miao Miao tadi malam soal dijebak dengan kasus kalung serupa terngiang kembali di kepala mereka. Kecurigaan mulai menguat, tapi mereka masih berusaha menahan diri. Ketiga kakak laki-laki Xiao Yan akhirnya maju, menenangkan adiknya yang mulai menangis. Salah satu dari mereka berkata, "Sudahlah, Xiao Yan. Kalau benar-benar hilang, nanti kita beli yang baru, ya."
Namun, suasana berubah ketika kepala pelayan datang dengan langkah tergesa-gesa, membawa sebuah kalung di tangannya. Ia menunduk hormat dan berkata, "Maaf mengganggu, Tuan, Nyonya. Salah satu pelayan kami menemukan ini di taman bunga saat sedang membersihkan pagi tadi. Saya rasa ini milik Nona Xiao Yan."
Papa dan Mama Chen mengenali kalung itu seketika. Itu adalah kalung hadiah ulang tahun terakhir yang mereka berikan pada Xiao Yan. Kepala pelayan menyerahkan kalung itu, dan Xiao Yan menerimanya dengan ragu. Wajahnya memerah menahan malu, tapi ia berusaha menutupi dengan menundukkan kepala. "Ya... ini memang milik saya. Terima kasih," katanya pelan.
Miao Miao berdiri diam, menyaksikan semua drama itu dengan ekspresi datar. Namun, di dalam hatinya, ia menikmati kemenangan kecil ini. Rencana licik Xiao Yan gagal total.
Papa Chen akhirnya berbicara, suaranya terdengar berat. "Miao Miao, kami minta maaf atas kesalahpahaman ini. Seharusnya kami tidak langsung berpikir buruk."
Miao Miao hanya menatap Papa Chen dengan pandangan datar. Ia tidak menjawab, hanya mengangguk kecil tanpa ekspresi. Lalu, tanpa berkata sepatah kata pun, ia berjalan keluar dari kamarnya, melangkah turun ke ruang makan dengan sikap santai namun acuh tak acuh.
Di kamar, Xiao Yan menggertakkan giginya, memegang kalung di tangannya erat-erat. Ia benar-benar marah, bahkan tidak bisa menyembunyikan kilatan kebencian di matanya. Dalam hatinya, ia bersumpah, Ini belum selesai, Miao Miao. "Aku akan membuat rencana yang lebih sempurna. Kali ini, kau pasti jatuh."
Setelah keluar dari kamar Miao Miao dengan suasana yang penuh ketegangan, ketiga kakak laki-laki Xiao Yan berusaha menenangkan adiknya. Salah satu dari mereka berkata dengan lembut, "Sudahlah, Xiao Yan, jangan terlalu dipikirkan. Mari kita sarapan dulu, sebentar lagi kita harus berangkat ke sekolah."
Xiao Yan hanya mengangguk kecil dengan raut wajah tidak puas, masih menyimpan kemarahan di dalam hatinya. Mereka bersama-sama turun ke ruang makan. Namun, begitu tiba, mata Xiao Yan membelalak melihat Miao Miao duduk di kursi yang biasanya menjadi tempatnya. Kursi itu selalu menjadi tempat favoritnya sejak kecil.
Xiao Yan merengek kepada salah satu kakaknya, "Kak, lihat itu! Dia duduk di tempatku!"
Salah satu kakaknya, yang sudah lelah dengan drama pagi itu, menegur Miao Miao dengan nada sedikit tegas, "Miao Miao, kenapa kamu duduk di situ? Bukankah itu tempat Xiao Yan?"
Miao Miao mengangkat wajahnya perlahan, menatap kakaknya dengan dingin. Suaranya datar, tapi nadanya cukup menusuk. "Oh, harusnya aku duduk di mana? Bukankah ini tempat di mana anak kandung keluarga Chen duduk? Atau kalian merasa aku ini anak pungut?"
Ucapan Miao Miao membuat seluruh ruangan hening seketika. Semua orang, termasuk Mama dan Papa Chen, tidak mampu berkata apa-apa. Perkataan Miao Miao begitu tajam dan tidak bisa disangkal. Xiao Yan menggigit bibirnya, menahan amarah dan rasa malu yang mulai membuncah.
Papa Chen akhirnya memecah keheningan dengan nada tegas, "Sudahlah, ini hanya tempat duduk. Tidak perlu diributkan. Cepat duduk dan sarapan. Sebentar lagi kalian terlambat ke sekolah. Xiao Yan, kamu bisa duduk di tempat lain."
Namun, Xiao Yan tetap tidak terima. Dengan suara yang manja, ia merengek lagi, "Tapi, Papa—"
"Sudah! Duduk saja, Xiao Yan," potong Mama Chen dengan nada lembut namun penuh peringatan.
Xiao Yan akhirnya terpaksa duduk di kursi lain, meskipun wajahnya menunjukkan ketidaksenangan yang jelas. Semua anggota keluarga mengambil tempat masing-masing di meja makan, namun suasana masih terasa kaku.
Sementara itu, Miao Miao makan dengan tenang, bahkan terlihat menikmati makanannya. Ia tidak sedikit pun peduli pada suasana canggung yang melingkupi meja makan. Lahap dan acuh, ia sama sekali tidak memberikan perhatian pada tatapan bingung dan sedikit tidak nyaman dari keluarganya.
Dalam hati, Xiao Yan semakin mendidih. Ia terus memikirkan cara untuk membuat Miao Miao mendapat pelajaran. Namun untuk saat ini, ia hanya bisa menahan diri dan mengalihkan tatapannya dari Miao Miao, yang terus makan seolah tidak terjadi apa-apa.
📢
Jangan lupa untuk follow author dan tekan tombol like serta tinggalkan komentar agar cerita ini bisa terus berlanjut! Dukungan kalian sangat berarti dan menjadi semangat bagi author untuk terus berkarya. Terima kasih sudah meluangkan waktu membaca cerita ini. Jangan lupa juga cek karya lainnya, ya! Selamat membaca dan menikmati kisah seru ini. 📝