Sejak kehilangan ayahnya, Aqila Safira Wijaya hidup dalam penderitaan di bawah tekanan ibu dan saudara tirinya. Luka hatinya semakin dalam saat kekasihnya, Daniel Ricardo Vano, mengkhianatinya.
Hingga suatu hari, Alvano Raffael Mahendra hadir membawa harapan baru. Atas permintaan ayahnya, Dimas Rasyid Mahendra, yang ingin menepati janji sahabatnya, Hendra Wijaya, Alvano menikahi Aqila. Pernikahan ini menjadi awal dari perjalanan yang penuh cobaan—dari bayang-bayang masa lalu Aqila hingga ancaman orang ketiga.
Namun, di tengah badai, Alvano menjadi pelindung yang membalut luka Aqila dengan cinta. Akankah cinta mereka cukup kuat untuk menghadapi semua ujian?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon achamout, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 Jebakan Bianka
Aqila melangkah cepat menaiki tangga kampus, hatinya sedikit gelisah karena takut terlambat masuk kelas. Hari ini, ia datang tanpa Alvano. Suaminya itu sedang sibuk di kantor karena tidak ada jadwal mengajar.
Namun, ketika sedang terburu-buru, langkahnya terhenti mendadak. Seseorang menabraknya cukup keras hingga hampir membuatnya jatuh. Refleks, Aqila berpegangan pada besi tangga, napasnya sedikit memburu.
"Hahaha... hampir saja kepalamu membentur lantai. Sayang banget, ya? Kalau sampai kejadian, pasti seru," suara sinis itu terdengar familiar di telinganya.
Aqila menoleh dan benar saja, Areta berdiri di hadapannya dengan senyum penuh ejekan.
Aqila mengeratkan genggamannya. Gadis ini benar-benar tak pernah lelah mencari masalah dengannya. Tapi kali ini, Aqila tak ingin menunjukkan kelemahan. Ia menarik napas dalam dan memilih untuk mengabaikan Areta, melangkah pergi seolah tak terjadi apa-apa.
Namun, tangan Areta dengan cepat mencengkeram pergelangan tangannya.
"Mau ke mana, hah? Aku belum selesai bicara!" suaranya tajam, penuh nada perintah.
Aqila menghentikan langkahnya, lalu menoleh. Tatapannya kali ini sama tajamnya dengan Areta. "Kak, aku sedang tidak ingin membuang waktuku untuk hal yang tidak penting. Jadi, bisakah lepaskan tanganku?"
Areta tersenyum meremehkan. "Kenapa terburu-buru? Apa karena takut? Jangan-jangan Pak Alvano sudah menghukummu habis-habisan, ya? Atau mungkin... dia sudah menandatangani surat pengeluaranmu dari kampus?"
Ia tertawa, penuh kepuasan. Seolah-olah membayangkan penderitaan Aqila adalah hiburan terbaik baginya.
Aqila menatapnya, lalu tiba-tiba tersenyum. Bahkan, ia ikut tertawa kecil bersama Areta.
Areta mengernyit. "Kamu kenapa ketawa? Hukuman dari Pak Alvano sampai bikin kamu gila, ya?"
Aqila menggeleng pelan, tatapannya penuh kepercayaan diri. "Bukan, Kak. Aku cuma tertawa karena lucu saja. Kakak benar-benar percaya diri, ya?"
"Apa maksudmu?" Nada suara Areta mulai menegang.
"Pak Alvano tidak menghukumku. Tidak juga memarahiku. Justru dia percaya padaku," jawab Aqila santai, tapi tajam.
"Apa? Itu nggak mungkin!" Areta terperanjat, ekspresinya berubah. "Aku lihat sendiri dia marah besar waktu itu!"
Aqila menatap Areta dengan sorot mata tajam, masih dengan senyum penuh kemenangan. "Iya, dia memang marah. Tapi bukan padaku, melainkan pada kakak."
Areta menegang.
"Dia tahu kakak berbohong. Kakak tahu nggak, siapa yang hampir dikeluarkan dari kampus?" Aqila mencondongkan tubuhnya sedikit, berbisik penuh penekanan, "Bukan aku, tapi kakak."
Areta terdiam, wajahnya berubah drastis.
"Tapi aku meminta beliau untuk memaafkanmu. Bukan karena aku kasihan, tapi karena aku ingin melihat bagaimana kelanjutannya." Ia sengaja berkata seperti itu untuk memanasi Areta. Ia tidak ingin selalu dianggap remeh oleh kakak tirinya itu.
Darah Areta berdesir hebat, amarah mulai membakar dirinya.
"Kamu!" Areta menggeram.
Aqila menatapnya tanpa gentar. "Kak, jangan pikir aku masih gadis lemah yang bisa kakak injak-injak sesuka hati. Dulu aku memang seperti itu, tapi sekarang tidak lagi. Aku bukan kelinci kecil yang ketakutan. Aku sudah menjadi harimau yang tahu bagaimana harus menerkam jika ada yang berani mengusik."
Aqila melepaskan cengkeraman Areta dengan kasar, lalu melangkah pergi dengan anggun tanpa menoleh sedikit pun.
Sementara itu, tubuh Areta bergetar hebat menahan amarah. Ia menggigit bibirnya, lalu menghentakkan kakinya dengan kasar.
"ARGGHHH!!!" teriaknya geram.
"Kurang ajar kamu, Aqila! Berani-beraninya kamu bicara seperti itu padaku!" suaranya bergetar oleh emosi.
Tangannya mengepal erat. Nafasnya memburu.
"Lihat saja nanti! Aku pasti akan membalasmu!"
Aqila baru saja tiba di kelasnya. Ia bersyukur karena belum terlambat—dosen yang akan mengajar hari ini masih belum masuk. Namun, napasnya masih terasa berat. Ia duduk dan menghela napas kasar, mencoba menenangkan dirinya setelah kejadian tadi dengan Areta.
Amel yang duduk di sebelahnya segera menyadari ekspresi Aqila yang terlihat tidak biasa. Dahinya mengernyit.
"Qila, ada apa? Kenapa wajah kamu kelihatan kesal begitu? Dan tumben banget kamu hampir telat ke kampus. Untung saja dosen belum masuk," tanya Amel penasaran.
Aqila menoleh, memberikan senyum tipis yang terlihat dipaksakan. "Iya, Mel. Tadi aku bangunnya agak kesiangan, makanya hampir terlambat. Dan… ada sedikit masalah sebelum masuk kelas," ucapnya, nada suaranya masih menyiratkan kejengkelan.
Amel menatapnya penuh selidik. "Masalah apa?"
Aqila menarik napas dalam sebelum menjawab, "Kak Areta… dia menggangguku lagi."
Ekspresi Amel langsung berubah. "Apa?! Terus dia ngapain lagi ke kamu? Kamu nggak kenapa-kenapa kan?" tanyanya cemas.
Aqila menggeleng, mencoba meyakinkan sahabatnya. "Aku nggak apa-apa, Mel. Untung tadi aku bisa melawan dia, jadi aku bisa sampai sini dengan selamat," jawabnya, berusaha terdengar santai.
Amel mendesah lega. "Syukurlah kalau begitu. Aku harap dia nggak akan mengganggumu lagi," ucapnya, meski nada suaranya terdengar penuh keraguan.
Aqila hanya tersenyum tipis dan mengangguk. Namun, beberapa detik kemudian, ia teringat sesuatu dan menoleh ke arah Amel.
"Oh iya, Mel, aku boleh tanya sesuatu?" tanyanya tiba-tiba.
Amel mengangkat alisnya. "Apa?"
"Kamu sudah punya kekasih atau seseorang yang spesial?" tanyanya santai, namun cukup membuat Amel mengerutkan kening.
"Kok tiba-tiba nanya kayak gitu, Qila?" Amel balas bertanya, merasa sedikit aneh.
Aqila terkekeh kecil. "Nggak papa, cuma mau tahu aja. Siapa tahu kamu tertarik sama teman aku," ucapnya menggoda.
Amel mendelik, lalu tertawa kecil. "Kamu mau ngejodohin aku, hah?" tanyanya dengan nada bercanda.
Aqila ikut tertawa. "Bukan gitu, cuma siapa tahu cocok aja. Kasihan, dia udah lama jomblo," katanya, masih dengan nada menggoda.
Amel menggeleng sambil tersenyum. "Hmm… kalau mau tahu, aku belum punya pacar dan juga nggak ada orang spesial. Sekarang aku lagi fokus ke masa depan aku dulu," jawabnya santai.
Aqila mengangguk-angguk paham. Namun, tiba-tiba Amel balik bertanya. "Kalau kamu sendiri gimana, Qila? Kamu udah punya kekasih lagi atau seseorang yang spesial?"
Aqila langsung terdiam. Tenggorokannya terasa kering. Ia sebenarnya memiliki lebih dari sekadar pacar—ia punya suami. Tapi untuk jujur? Ia belum siap.
"A… aku…"
Amel menatapnya menunggu. "Apa…?"
Namun, sebelum Aqila sempat menjawab, suara lain tiba-tiba terdengar.
"Selamat pagi."
Dosen mereka baru saja masuk ke dalam kelas, membuat percakapan mereka terputus.
Aqila menghela napas lega. Untuk sementara, ia selamat dari pertanyaan Amel. Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu bahwa rahasia ini tidak bisa ia sembunyikan selamanya.
🌸🌸🌸🌸🌸
Alvano sedang sibuk menandatangani tumpukan berkas penting di ruangannya. Arga, berdiri di sampingnya, memastikan semua dokumen yang harus ditandatangani sudah lengkap.
"Gue bersyukur lo akhirnya datang ke kantor, Van. Jadi gue nggak perlu repot-repot nganterin berkas ini ke rumah lo buat ditandatangani," ucap Arga dengan nada lega.
Alvano tersenyum tipis, masih fokus pada kertas di tangannya. "Iya, lagian hari ini gue nggak ada jadwal ngajar di kampus, jadi sekalian aja ke kantor. Udah dua hari juga gue nggak ke sini. Gue takut lo bikin masalah. Secara lo kan masih baru di sini," ujarnya santai.
Arga mendengus kesal. "Nggak percayaan banget lo sama gue, Van. Buktinya semua aman-aman aja, kan?" balasnya sedikit tersinggung.
"Iya," jawab Alvano singkat tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen yang ia tanda tangani.
Namun, ketenangan di ruangan itu mendadak buyar ketika suara pintu terbuka dengan kasar. Raka masuk dengan wajah merah padam dan langsung menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Ia meremas ponselnya dengan kuat, lalu tiba-tiba berteriak penuh amarah.
"SIALAN!!!"
Alvano dan Arga langsung menoleh, terkejut dengan tingkah Raka.
"Lo kenapa sih, Ka? Baru dateng udah marah-marah gitu?" tanya Alvano, tak habis pikir.
Arga ikut menimpali. "Iya, nggak bisa buka pintu pelan-pelan apa? Kaget tau!"
Raka mengacak rambutnya frustasi. "Gue kesal, Van… Gue… Gue rasanya pengen ngamuk sekarang!" ucapnya dengan suara penuh kemarahan.
Melihat sahabatnya dalam keadaan seperti itu, Alvano memutuskan untuk menghentikan pekerjaannya. Ia meletakkan pulpen dan menoleh ke arah Raka, sementara Arga berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.
"Lo kenapa, Ka? Ada masalah? Cerita sama kita," ujar Alvano dengan nada lebih serius.
"Iya, Ka. Kalau ada masalah, jangan dipendam sendiri. Cerita aja," tambah Arga, menepuk bahu Raka pelan.
Raka menatap mereka satu per satu, sebelum akhirnya menghela napas berat. "Ini tentang Bianka," ucapnya lirih.
Alvano mengernyit. "Bianka? Kenapa dia?"
"Iya, kenapa? Dia sakit?" Arga menimpali.
Raka menggeleng lemah. "Dia marah sama gue… dan… dia mutusin gue."
"Apa?!" Alvano dan Arga sontak kaget, hampir bersamaan.
Alvano langsung bangkit dari kursinya dan berjalan mendekati Raka. "Maksud lo Bianka mutusin lo? Kenapa?" tanyanya tak percaya.
"Iya, Ka! Bukannya hubungan kalian baik-baik aja? Semalam juga nggak ada masalah, kan?" tambah Arga bingung.
Raka menghela napas dalam, berusaha menenangkan pikirannya yang kacau. "Gue juga nggak tahu, Van, Ga. Pagi tadi sebelum ke kantor, gue ngechat dia. Gue bilang siang ini gue mau jemput dia buat makan bareng. Awalnya dia cuma jawab kalau dia nggak bisa. Ya udah, gue nggak maksa."
Raka menggigit bibirnya, menahan emosi yang kembali naik. "Tapi setelah itu, tiba-tiba dia ngechat gue lagi. Dia bilang, ‘Ka, kita putus aja ya. Aku nggak pantas buat kamu, jadi jangan hubungin aku lagi.’"
Arga dan Alvano saling berpandangan, masih sulit mencerna ucapan Raka.
"Gue kaget, tentu aja gue langsung nelpon dia. Tapi nggak diangkat-angkat. Gue susulin ke rumahnya, tapi pembantunya bilang dia nggak ada di rumah. Gue bahkan ke hotel tempat dia kerja, tapi satpam malah ngusir gue. Seolah Bianka sengaja menghindar dari gue. Tapi kenapa? Salah gue apa?" ucap Raka frustasi, menatap kosong ke depan.
Alvano mengernyit, merasa ada yang aneh. "Ini nggak masuk akal, Ka. Dia mutusin lo tanpa alasan yang jelas, lalu menghilang begitu aja buat ngindarin lo?"
Arga tampak berpikir sejenak sebelum angkat bicara. "Tapi, Ka… Gue udah ngerasa dari semalam, sikap Bianka memang berubah. Dia lebih pendiam dan kelihatan dingin. Apa mungkin… dia udah punya orang lain?" tanyanya pelan.
Raka menggeleng cepat. "Gue nggak tahu, Ga. Yang jelas selama ini hubungan kita baik-baik aja. Tapi memang… dia berubah sejak dia dengar kabar pernikahan vano dan Aqila," ucapnya lirih.
Alvano dan Arga langsung menoleh ke arah Raka dengan ekspresi bingung.
"Maksud lo?" tanya Alvano serius.
Raka menunduk, memainkan ponselnya dengan gelisah. "Semenjak itu, dia jadi dingin ke gue. Lebih susah dihubungin. Kayak ada yang dia pikirin, tapi dia nggak mau cerita ke gue."
Arga tiba-tiba membeku di tempat, seakan baru menyadari sesuatu. Ia menatap Raka dan Alvano dengan mata melebar.
"Tunggu… Lo bilang dia berubah sejak dengar kabar Alvano nikah?" tanyanya pelan.
Raka mengangguk. "Iya."
Arga menatap Alvano serius, lalu dengan suara lebih rendah, ia berkata, "Jangan-jangan… Bianka sebenernya suka sama lo, Van?"
Tatapan Arga terhenti pada Alvano yang kini ikut terdiam, sementara Raka membeku, berusaha mencerna kemungkinan yang baru saja diucapkan Arga.
Sementara disisi lain, di dalam ruangan mewahnya, Bianka duduk dengan anggun di kursinya, jemarinya mengetuk meja dengan ritme lambat. Matanya menatap ke arah pintu dengan senyum smirk yang penuh kemenangan.
"Alvano pasti datang. Aku yakin."
"Dia terlalu baik untuk membiarkan sahabatnya hancur. Dan aku tahu persis kelemahan pria seperti dia—rasa kasihan."
Bianka terkikik pelan, seolah sedang menikmati pertunjukan yang hanya ia sendiri yang tahu akhirnya.
Ia meraih ponselnya dan menekan nomor seseorang. Setelah tersambung, ia berbicara dengan suara tenang namun penuh kendali.
"Nanti kalau ada yang datang mencariku, langsung saja suruh dia ke ruangan ini. Jangan banyak tanya, biarkan dia masuk tanpa hambatan."
Suara di ujung telepon menyetujui perintahnya. Bianka menutup panggilan dan kembali menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai.
Ia terkekeh kecil, jemarinya memainkan cincin di tangannya. "Maaf, Raka sayang… Aku tega melakukan ini padamu, karena sebenarnya yang kuinginkan bukan kamu, tapi sahabatmu sendiri."
Bianka menghela napas pura-pura sedih, tapi wajahnya tetap menunjukkan ekspresi puas.
"Alvano, aku tidak akan membiarkanmu lepas begitu saja. Pernikahanmu? Itu hanya rintangan kecil. Lagipula, perasaan manusia bisa berubah, bukan?"
Bianka berjalan menuju jendela besar, menatap ke luar dengan tatapan penuh ambisi.
"Sebentar lagi… Dia akan datang… Dan saat itu terjadi…"
Senyumnya semakin melebar, tatapan matanya penuh obsesi.
"Dia akan jatuh dalam genggamanku."
🌸🌸🌸🌸🌸
Alvano duduk di kursinya dengan ekspresi serius. Kata-kata Arga tentang Bianka yang mungkin menyukainya terus terngiang di kepalanya. Ia tidak ingin berprasangka buruk, tapi sejak awal ada sesuatu yang terasa janggal.
Raka masih tampak frustasi, wajahnya penuh kelelahan setelah terus mencoba menghubungi Bianka tanpa hasil.
"Gue rasa ini nggak bisa dibiarkan begitu aja," ujar Alvano akhirnya.
Arga menatapnya penasaran. "Maksud lo?"
"Gue harus menemui Bianka," lanjut Alvano tegas. "Biar gue yang menyelesaikan masalah ini untuk Raka."
Raka terkejut. "Van, lo serius? Tapi…"
"Gue cuma mau cari tahu alasan sebenarnya. Ini nggak adil buat lo kalau dia mutusin lo tanpa alasan jelas. Kalau memang dia punya alasan yang masuk akal, gue bakal kasih tahu lo," jelas Alvano.
Raka akhirnya mengangguk pelan. "Gue percaya sama lo, Van."
Arga masih menatap curiga. "Tapi lo yakin, Van? Kalau ternyata tebakan gue benar, terus gimana?"
Alvano terdiam sesaat. Tapi ia segera menggeleng. "Gue cuma mau dengar langsung dari dia. Itu saja."
Setelah mengatakan itu, Alvano segera beranjak dari kursinya dan mengambil kunci mobilnya.
Alvano menyetir dengan kecepatan tinggi, hingga ia bisa dengan cepat tiba di hotel milik Bianka dan segera menuju resepsionis.
"Permisi, saya ingin bertemu dengan Bianka."
Resepsionis yang mendengar itu langsung mengangkat kepalanya, menatap pria di depannya dengan ramah.
"Anda bisa langsung menemui Nona Bianka di ruangannya, Tuan. Saya akan mengantar Anda."
Alvano mengangguk tanpa banyak bicara, mengikuti langkah resepsionis menuju lift. Suasana hotel yang mewah dan tenang tidak mengubah pikirannya yang dipenuhi pertanyaan tentang Bianka dan keputusannya meninggalkan Raka begitu saja.
Sementara itu, di dalam ruangannya, Bianka tersenyum licik.
"Rencana berhasil. Akhirnya kamu datang juga, Van."
Alvano tiba di depan pintu ruangan Bianka. Setelah mengucapkan terima kasih kepada resepsionis yang mengantarnya, ia segera mengetuk pintu.
Tak butuh waktu lama, pintu terbuka, memperlihatkan Bianka yang langsung tersenyum hangat padanya.
"Vano? Aku kira siapa. Tumben sekali kamu datang ke sini. Ayo masuk," ujarnya dengan nada manis.
"Aku ke sini karena ada perlu, Bianka."
Tanpa basa-basi, Alvano melangkah masuk dan langsung duduk di sofa, tatapannya serius.
"Aku ingin bertanya. Kenapa kamu tiba-tiba memutuskan Raka? Dan kenapa kamu menghindarinya?"
Bianka tampak sedikit terkejut, tapi ia segera memasang ekspresi sedih.
"Van…" Bianka menatapnya seolah penuh beban. "Aku cuma merasa kalau aku nggak cocok dengan Raka. Aku kurang baik untuknya. Aku juga terlalu sibuk, jadi aku nggak bisa memberinya waktu yang cukup. Aku rasa lebih baik kami hanya berteman."
Alvano mengernyit, merasa ada yang aneh.
"Kamu yakin itu alasannya?" tanyanya tajam. "Itu bukan alasan yang jelas, Bianka. Apa kamu nggak kasihan sama dia? Dia terpuruk, Bianka. Dia sangat mencintaimu."
Bianka menggigit bibirnya, berpura-pura merasa bersalah.
"Aku bukan ingin menyakitinya, Van… Aku cuma merasa ingin sendiri dulu."
Alvano menatapnya dalam diam. Hatinya masih belum yakin, tapi ia tidak bisa memaksa lebih jauh.
"Baiklah kalau begitu," ujarnya akhirnya. "Setidaknya aku sudah mendengar alasannya langsung darimu. Aku akan bilang ini ke Raka."
Alvano bangkit dari duduknya, berniat pergi.
Namun, tiba-tiba Bianka menahan pergelangan tangannya.
"Kamu nggak mau minum dulu, Van? Aku sudah menyiapkan minuman ini untukmu," ucapnya sambil menuangkan secangkir minuman ke dalam gelas.
Alvano menarik tangannya. “Nggak usah, Bianka. Terima kasih. Aku buru-buru.”
Namun Bianka semakin mengeratkan genggamannya.
"Kamu benar-benar nggak sopan, Van. Aku menghormatimu sebagai tamu, tapi kamu nggak mau menghargai apa yang aku berikan?"
Alvano menghela napas. Ia tidak ingin berlama-lama di sini. Dengan cepat, ia mengambil gelas minuman yang diberikan Bianka dan meneguknya dalam sekali minum.
Bianka menatapnya dengan tatapan puas, senyum licik terukir di wajahnya.
Alvano meletakkan gelas kosong itu di meja dengan kasar.
"Sudah, kan? Sekarang aku pergi."
Bianka mengangguk, tapi matanya berbinar penuh kemenangan.
Namun, baru beberapa langkah menuju pintu, tiba-tiba Alvano merasakan sesuatu yang aneh.
Kepalanya berdenyut hebat. Pandangannya mulai kabur, dan tubuhnya terasa berat.
"Apa… ini…?" gumamnya, mencoba menjaga keseimbangan.
Bianka hanya menatapnya dengan senyum penuh misteri.
Detik berikutnya, dunia di sekelilingnya berputar, dan tanpa sempat mengatakan apa-apa lagi—
Alvano jatuh tersungkur. Pingsan.
Bianka berjalan mendekatinya, menatap tubuh tak sadarkan diri itu dengan penuh kemenangan.
"Selamat datang di perangkapku, Vano."
Semangat
penasaran nihh
semangat berkarya kk
lanjut Thor.... semangat 💪💪👍👍