Kehidupannya telah menjadi impian semua wanita, namun Beta justru mengacaukannya.
Bukannya menikmati hidup bahagia, ia malah membunuh sang suami yang kaya raya???
Dari sinilah, kisah kehidupan Beta mulai diceritakan. Kelamnya masa lalu, hingga bagaimana ia bisa keluar dari lingkar kemiskinan yang membelenggu dirinya.
Kisah 'klasik'? Tidak! Kehidupan Beta bukanlah 'Template'!
Flashback kehidupan Beta dimulai sejak ia masih sekolah dan harus berkerja menghidupi keluarganya. Hingga akhirnya, takdir membawakan ia seorang pria yang akan mengubah gaya hidup dan juga finansialnya.
Seperti kisah 'cinderella' yang bahagia. Bertemu pangeran, dan menikah.
Lalu apa? Tentu saja kehidupan setelah pernikahan itu terus berlanjut.
Inilah yang disebut dengan,
'After Happy Ending'
Selamat membaca~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yola Varka, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Epilog
"Den, dia udah pergi, tuh! Sekarang kita pulang aja, ya? Sebelum nyonya marah," ucap seorang bapak sopir kepada putra majikannya.
Tadi, sopir itu baru saja berpura-pura bertanya letak pom bensin kepada seorang gadis berseragam pramuka, atas perintah sang tuan muda yang saat ini sedang bersamanya.
"Tapi, gimana kalau dia balik lagi, Pak?" Arwan terlihat khawatir. Pandangannya tidak berhenti menatap seorang gadis yang sedang berjalan lunglai meninggalkan jembatan.
"Nggak, kok. Tuh, dia kayaknya mau pulang," ujar pak Agus, sopir pribadi keluarga Beentang, sambil memperhatikan sosok gadis yang sudah berjalan semakin menjauh dari jembatan.
"Dan tadi, saya juga kasih saran, gimana kalau diklakson aja biar dia nggak jadi lompat?"
Arwan segera menyanggah ucapan sopirnya.
"Duh, yang ada, dia nanti malah kaget, kepleset, terus jatuh, Pak!" Penjelasan Arwan terdengar masuk akal di telinga sang sopir.
"Ah, iya juga," jawab pak Agus, seraya menggaruk kepalanya, sekedar untuk formalitas.
Pak Agus sudah sangat paham mengenai karakter putra majikannya itu yang suka berpikir terlalu jauh dan memiliki perasaan khawatir berlebihan terhadap sesuatu. Arwan memang memiliki hati yang lemah lembut.
"Padahal, dia masih anak sekolah kayak Den Arwan, tapi kenapa mau berbuat nekat begitu? Nyawa nggak dijual di toko, loh!" celetuk pak Agus sambil menggelengkan kepalanya beberapa kali.
"Itu pasti karna hidupnya berat, Pak." Arwan berbicara dengan nada dan ekspresi datar.
"Ah, iya, ya. Kita nggak akan tau hidup orang lain. Yaudah, kita pulang saja, ya? Saya takut nyonya marahin Den Arwan lagi karna hari ini belum izin pergi keluar. Ngeri saya, kalo liat nyonya marah. Temen Den Arwan yang katanya ngajak janjian di sini juga nggak keliatan. Lupa mungkin." Sopir itu tak menyerah untuk membujuk Arwan agar mau pulang ke rumah. Ia sendiri juga pasti akan terkena omelan dari nyonya besarnya itu karena telat membawa sang tuan muda pulang ke rumah tepat waktu. Dan jujur, ia pun juga merasa takut terhadap majikannya.
Arwan tersenyum menanggapi ucapan sang sopir. "Benar. Nanti Bunda marah. Yaudah, kita pulang aja, Pak," ucap Arwan, minta diantar pulang dan membatalkan janjinya bertemu teman.
Dari dalam mobil, Arwan masih tidak memalingkan pandangannya dari gadis yang tadi terlihat hendak melompat dari atas jembatan. Ia yang melihat hal itu merasa khawatir.
Wajah gadis itu juga terlihat tidak asing. Beberapa hari lalu, ia terlihat berada di sekolahnya, tampak bahagia menikmati acara festival yang sedang diadakan. Dan hari ini, tiba-tiba ia terlihat seperti seseorang yang dunianya telah runtuh.
Di mata Arwan, gadis itu terlihat sudah sangat lelah dengan dunia dan tampak hancur. Entah masalah apa yang sedang dihadapinya.
...~...
"Begitu yang saya ingat," ujar pak Agus kepada Mega, setelah menceritakan kejadian lama yang masih melekat dalam ingatannya.
Hari ini, pak Agus tiba-tiba didatangi oleh seorang wanita tak dikenal, di kediamannya. Dan ia segera memahami maksud dari kedatangan wanita itu, melihat dari berita menghebohkan yang melibatkan keluarga Beentang, tempat ia diperkerjakan sebagai sopir pribadi selama bertahun-tahun.
"Oh, ya. Katanya, mendiang juga sempat menemui anda setelah pensiun?" Mega bertanya lagi, setelah sejak tadi telah menanyakan banyak hal.
"Benar. Dulu, mas Arwan mendatangi rumah saya sebelum ia menikah. Ia bercerita, kalau dia akan menikahi seorang perempuan yang dulu kami lihat bersama, hendak melompat dari atas jembatan. Mas Arwan bilang ke saya, kalo gadis itu telah tumbuh menjadi wanita yang kuat dan berhasil bertahan dari penderitaannya di masa lalu. Wanita yang seperti itu, membuat mas Arwan kagum lalu memutuskan untuk menikahinya. Awalnya, saya sendiri juga sangat terkejut ketika mendengar cerita darinya itu, tapi kemudian saya merasa turut berbahagia. Seperti kata orang, Kalau jodoh emang nggak ke mana." Pak agus bercerita sambil tersenyum bangga. Dan senyum bangganya itu kemudian tampak semakin memudar.
"Mendengar berita yang bilang kalo mas Arwan telah dibunuh sama istrinya sendiri, membuat saya sedih. Jujur, sejak awal saya merasa janggal dan tidak percaya. Dan syukurlah, kalau kejadiannya tidak begitu. Saya bener-bener nggak nyangka kalo mas Arwan juga bisa berbuat nekat. Padahal, dia dulunya adalah anak yang sangat baik dan berbakti kepada orang tua." Wajah sang sopir tampak sedih selama bercerita. Kepalanya terus menunduk dan sesekali tangannya mengusap air mata yang keluar. Ia berduka atas kepergian tuan mudanya dulu.
Pak Agus telah bekerja selama bertahun-tahun di kediaman keluarga Beentang, bahkan sejak sebelum kehadiran Arwan.
Setelah menuliskan beberapa hal pada sebuah buku, Mega kembali melontarkan sebuah pertanyaan.
"Anda bilang, dulu mendiang Arwan datang ke jembatan untuk bertemu teman?"
"Iya. Tiba-tiba mas Arwan minta diantar ke sana setelah pulang sekolah. Awalnya, saya disuruh pergi dan bakal minta jemput sama saya kalau urusannya sudah selesai, gitu katanya. Tapi kemudian nggak jadi, karna temen mas Arwan nggak dateng-dateng. Dan kebetulan, kami malah liat seorang gadis, berdiri sendirian di sana kayak mau bunuh diri. Kenapa anda bertanya lagi?" Bapak sopir itu menjelaskan, sambil mengingat-ingat kejadian yang sudah sangat lama terjadi.
"Hm, sudah pasti almarhum telah membohongi anda. Bu Beta mengatakan pada saya, bahwa mendiang suaminya tidak pernah ada waktu untuk bermain bersama teman," ucap Mega dengan nada datar.
"Ha? Maksudnya?"
Mega menarik napas panjang sebelum menjelaskan. "Seseorang yang bisa melihat dan merasakan titik terendah orang lain, adalah seseorang yang juga mengalami hal serupa," ujar Mega lirih.
"Ah, maaf, saya kurang paham. Bisa tolong jelaskan lagi?" pinta pak Agus. Ia merasa kurang bisa memahami perkataan Mega yang terdengar penuh dengan teka-teki. Dan lagi, bapak yang rambutnya sudah beruban itu juga tidak dapat mendengar ucapan Mega yang begitu lirih.
"Mendiang Arwan, kala itu juga pasti berniat untuk mengakhiri hidupnya di sana. Namun, sepertinya ia berubah pikiran." Mega menebaknya dengan sangat tepat.
Dulu, Arwan memang berniat mengakhiri hidupnya dengan cara melompat dari atas jembatan, karena sudah lelah bernapas di dunia yang menyesakkan.
Arwan ingin membalas dendam kepada keluarganya dengan menggunakan kematiannya sendiri.
Arwan berpikir jika hidupnya berakhir, maka rencana yang telah dibuat oleh orang tuanya pasti akan kacau balau. Dia yang merupakan anak satu-satunya dan menjadi harapan terbesar keluarga, akhirnya menghilang.
Bagi Arwan kala itu, kematian sama dengan kebebasan. Dengan meninggalkan dunia, maka ia juga akan terbebas dari belenggu orang tua yang selama ini terasa seakan mencekik lehernya.
Begitulah rencana awal Arwan, sebelum seorang gadis telah mendahului dirinya datang ke sebuah jembatan yang akan ia jadikan tempat untuk mengakhiri hidup.
Jembatan itu berada di dekat perusahaan Beentang berada, sehingga ia berpikir bahwa jasadnya nanti bisa disaksikan langsung oleh seluruh keluarga.
Dan tidak ada yang menyangka, bahwa rencana Arwan untuk bunuh diri kala itu, ternyata hanya tertunda oleh waktu.
Mantan sopir di hadapan Mega, terpaku cukup lama. Ia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Hah?! Sebentar. Kenapa anda bisa mengatakan hal seperti itu?" tanya pak Agus dengan kedua alis bertaut.
"Sang mendiang, pasti merasa tertekan selama hidupnya. Anda sendiri juga bilang bahwa ibunya itu menakutkan. Wajar saja kalau anaknya merasa lelah dan depresi. Sepertinya, mendiang Arwan itu tipe orang yang suka memendam masalah dan berusaha menyelesaikannya sendiri, alih-alih meminta bantuan kepada orang lain. Ah, atau karna dia tidak punya? Yah, intinya, mendiang adalah sosok yang baik hati. Ia tidak ingin merepotkan atau menyakiti orang lain. Seseorang yang hatinya terlalu lembut begitu, pasti berefek pada dirinya sendiri. Ia jadi suka mengorbankan diri sendiri demi orang lain. Baginya, orang lain itu lebih utama dibandingkan diri sendiri. Saya menyimpulkan bahwa mendiang Arwan adalah orang yang seperti itu, setelah mendengar seluruh cerita dari orang-orang terdekatnya." Penjelasan panjang dari Mega membuat mantan sopir keluarga Beentang itu, lagi-lagi membuka mulutnya selama beberapa saat.
Pak Agus merasa tidak percaya dengan rentetan penjelasan yang baru saja Mega jabarkan. Mantan sopir itu kemudian menundukkan kepalanya. Ia teringat sesuatu.
"Tapi, anda mungkin tidak tahu alasan di balik sikap keras dan ketat dari kedua orang tua mas Arwan." Mega menatap bapak di hadapannya itu dengan kedua alis bertaut. Ia penasaran dengan apa yang hendak dikatakan oleh pak Agus.
"Ibunda mas Arwan telah mengalami keguguran dua kali, sebelum akhirnya dikaruniai seorang putra. Itu pun, juga dalam keadaan yang sulit. Rahim nyonya melemah dan sudah tidak bisa memiliki keturunan lagi setelah lahirnya mas Arwan. Maka dari itu, nyonya sangat ketat terhadap anaknya dan sering marah jika saya telat bawa mas Arwan pulang ke rumah. Dan saya sering melihat pipi nyonya yang masih terlihat basah bekas air mata, di saat sedang memarahi saya. Ketakutan luar biasa yang nyonya rasakan ketika anaknya pulang terlambat, saya merasa bisa memahaminya." Mega terkejut. Sebelumnya, ia tidak pernah menyangka kalau ada kejadian seperti itu juga dalam keluarga Beentang.
Mega meremas jari tangannya. "Lagi-lagi, masalah trauma," ujar Mega lirih. Ia kemudian menundukkan kepala, menatap lantai rumah pak Agus yang berwarna hijau.
"Trauma merupakan hal yang tidak tampak, namun sangat menakutkan. Karena berada di bawah alam sadar manusia, rasanya pasti sangat menyiksa. Ternyata, setiap orang memiliki kisah hidupnya masing-masing." Begitulah, ucapan terakhir Mega sebelum ia beranjak pergi meninggalkan kediaman mantan sopir keluarga Beentang itu.
...~...
Keesokan harinya, Mega berniat untuk segera mengadakan pertemuan dengan seluruh anggota keluarga Beentang. Ia ingin menyampaikan analisis yang telah ia buat di hadapan mereka semua, terutama ayah dan ibunda dari sang mendiang.
'Ternyata, Arwan juga merupakan korban dari rumah bak neraka.' Mega mengusap air matanya yang menetes tanpa aba-aba.
Wanita yang berprofesi sebagai psikolog itu, merasa heran dan bertanya-tanya dalam hati.
'Bukankah setiap anggota keluarga itu sudah seharusnya saling menyayangi? Jika seseorang ditindas oleh keluarganya sendiri, maka harus kepada siapa lagi ia harus percaya? Apakah ini, yang dimaksud orang-orang bahwa ujian itu dekat?' Mega meringis iba, sembari menyentuh dada kirinya. Ia merasa kasihan kepada orang-orang yang tidak memiliki tempat bernama 'Rumah'.
Rumah yang hangat adalah tempat yang akan dituju oleh setip orang untuk pulang, dan juga merupakan tempat untuk berlindung. Kata 'hangat', hanya bisa didapatkan apabila rumah tersebut berisi anggota keluarga yang hatinya penuh dengan cinta dan kasih sayang.
Beruntunglah hidupmu, bila memiliki keluarga hangat yang saling menyayangi. Hal yang sederhana bagi sebagian orang, namun merupakan hal yang tidak bisa di dapatkan oleh orang-orang seperti Beentang Hermawan.
'Keluarga hangat' adalah suatu hal yang tidak dapat dibeli dengan lembaran uang. Maka hargailah 'suatu hal' yang kau miliki itu. Percayalah, betapa berharganya 'Keluarga hangat'-mu, juga sangat berperan dalam membentuk pribadi yang penuh kasih.
...~Tamat~...
...'After Happy Ending'...
Inspired by: