Bukan salah Anggun jika terlahir sebagai putri kedua di sebuah keluarga sederhana. Berbagai lika-liku kehidupan, harus gadis SMA itu hadapi dengan mandiri, tatkala tanpa sengaja ia harus berada di situasi dimana kakaknya adalah harta terbesar bagi keluarga, dan adik kembar yang harus disayanginya juga.
"Hari ini kamu minum susunya sedikit aja, ya. Kasihan Kakakmu lagi ujian, sedang Adikmu harus banyak minum susu," kata sang Ibu sambil menyodorkan gelas paling kecil pada Anggun.
"Iya, Ibu, gak apa-apa."
Ketidakadilan yang diterima Anggun tak hanya sampai situ, ia juga harus menggantikan posisi sang kakak sebagai terdakwa pelaku pencurian dan perebut suami orang, berbagai tuduhan miring dan pandangan buruk, memaksa anggun membuktikan dirinya Hebat.
Mampukah Anggun bertahan dengan semua ketidakadilan keluarganya?
Adakah nasib baik yang akan mendatangi dan mengijinkan ia bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUA PULUH DELAPAN
Aulia berjalan tergesa, setelah turun dari mobil Dani, entah kenapa pikiran buruk menghampirinya, pasalnya tak biasanya rumahnya terlihat se-rame itu, bahkan banyak tetangga berkumpul di rumahnya.
“Ada apa bude?” engah Aulia seraya melangkahkan kaki di pekarangan rumahnya.
“Oh, itu bapakmu tadi jatuh di tempat kerja, kakinya kesleo. Beruntung tadi ada dokter yang nganter adekmu, jadi langsung sekalian diperiksa terus diberi obat.”
Aulia tak menyahut perkataan tetangganya itu, ia langsung masuk ke dalam rumah untuk menghampiri ayahnya yang duduk di kursi ruang tamu.
“Kenapa bisa jatuh sih Yah?” tanyanya seraya duduk setengah melemparkan badannya di sisi sang ibu.
“Bapak tadi tergelincir pas mau ngangkat sak semen, kepeleset gitu jadinya keseleo, nggak parah kok.”
“Oh, ya udah kalau gitu.”
“Eh Lia! Itu kenapa temennya dicuekin aja, masih nunggu itu di depan!” seru salah satu tetangga Aulia.
Mendengar itu, ia baru teringat kalau pulang bersama Dani, Aulia kembali bangkit lalu mengajak Dani masuk ke rumah.
Perkenalan biasa pun terjadi, dengan lihai pula, Dani menyampaikan bela sungkawa atas kecelakaan kecil ayahnya Aulia.
“Eh! Bikinin minuman yang seger dong Nggun! Dia ini calon kakak iparmu loh masa cuma di suguhin teh seperti yang lain?”
Ucapan Aulia yang terdengar begitu menyombongkan Deni, membuat semua yang mendengarnya sedikit terkejut, begitu juga dengan Anggun.
Anggun menatap sang kakak dengan perasaan aneh. “Kita kan emang cuma punya air putih atau teh saja, Mbak.”
“Ck!” Aulia berdecak lalu merogoh tasnya, mengambil selembar uang seratus ribuan dan mengulurkannya pada Anggun. “Nih, beli kopi susu, calon kakak iparmu suka kopi susu!” ucap Aulia bernada sinis.
Aulia beringsut duduk di samping Dani, menggelayutkan kedua tangannya di lengan Dani, seakan tak punya malu mempertontonkan kemesraan di depan para tamu bahkan keluarganya sendiri. Sementara Anggun berjalan lunglai menuju ke warung.
“Lia! Kenapa duduknya begitu? Kalian bukan muhrim! Ayo Nak, duduknya pisah,” ujar Bu Maryani merasa risih dengan sikap sang putri.
“Nggak apa-apa Bu, Aulia ini memang sering manja, tapi tenang saja, saya menjaganya dengan baik. Mungkin dia bersikap seperti ini karena tidak bisa melakukannya di rumah.” Dengan tanpa malu Dani pun menunjukkan sikap yang kurang ajar.
“Apa maksudmu?” tegas pak Hendra.
“Ya … mungkin saja Aulia tak bisa bermanja kalau di rumah, secara kan dia anak pertama, kalau di rumah harus menjadi sosok yang paling dewasa, jadi nggak bisa bermanja, begitu maksud saya Pak. Kan harus memberi contoh yang baik pada adik-adiknya,” kilah Deni.
Dengan susah payah pak Hendra bangkit lalu menarik lengan Aulia dengan sedikit kasar. “Masuk kamar!” gertaknya.
Aulia terbelalak dengan sikap sang ayah yang sangat tiba-tiba. “Apa-apa yang ayah lakukan?!” balasnya berani.
Bu Maryani pun ikut berdiri tanpa kata menarik Aulia lalu menggiringnya ke dalam kamar. Sementara pak Hendra masih berkacak pinggang menatap geram pada Dani.
“Maaf ya Mas, tapi sebaiknya kamu pulang! Terimakasih sudah berkunjung, tapi sebaiknya jangan mengenal anakku lagi!” tegas Pak Hendra dengan kesal.
Deni pun berdiri melempar senyuman sinisnya, “Baiklah, saya akan pamit … saya datang berniat baik, tapi sepertinya kalian terlalu norak. Asal kalian tahu, bukan aku yang mencarinya, tapi Anakmu yang selalu datang padaku!”
Ucapan Deni membuat pak Hendra semakin marah, ia mengangkat kepalan tinjunya hendak memberikan hadiah pada Dani.
“Bapak!” Anggun melempar belanjaannya, lalu berlari menghampiri sang ayah, dan memeluknya dengan erat. “Jangan lakukan apapun Yah!” pintanya.
Beberapa warga yang menyaksikan hal itu, segera menarik Deni keluar, “Jangan berlagak sombong ya Mas! Jaga ucapan dengan baik!”
“Aku cuma jujur loh Pak!” pembelaan Dani yang tak terima dengan amukan beberapa warga.
“Wes, pulang sana sebelum kamu babak belur di sini!” gertak warga lainnya.
Dani pun tak ingin mempersulit dirinya, ia memilih pergi meninggalkan tempat itu. Pergunjingan antar warga mengenai Aulia pun dimulai di sana. Berbagai opini negatif dan prasangka buruk pun menjadi bahan penyedap dalam setiap obrolan warga yang berkumpul.
Waktu berlalu hingga akhirnya pagi pun menyambut, keluarga Bu Maryani pun beraktifitas seperti biasanya. Pak Hendra berjalan-jalan pelan dengan tongkat di halamannya, Bu Maryani tampak sibuk di dapur menyiapkan sarapan.
“Buatkan teh untuk bapakmu!” perintah Bu Maryani saat melihat Anggun telah selesai dengan pekerjaan menjemur baju sesuai dengan perintah sebelumnya.
Tanpa menjawab, Anggun melakukan apapun sesuai yang diinginkan sang ibu.
Aulia tampak keluar dari kamar masih sambil mengusap-usap matanya, “Bu, ini uang tiga ratus ribu buat ibu belanja, buatkan aku makanan yang enak!”
Bu Maryani menatap heran, “Darimana dapat uang?”
“Darimana lagi, ya dari calon mantu ibu lah!” sombong Aulia tak malu.
“Lia!” gertak Bu Maryani terkejut dengan jawaban sang putri.
“Bu, tolong jangan berprasangka buruk. Dia itu pria terkeren yang pernah aku temui, dia itu kaya, juragan kost, punya mobil bagus, kurang apa lagi dia Bu? Dia bbahkan memberiku uang jajan sejuta loh kemarin, cuma-cuma itu Bu! Artinya dia itu pria baik yang benar-benar tulus mencintai anak perempuanmu yang cantik ini!” tegas Aulia.
“Tapi ya bukan gitu caranya, Ibu tak melarangmu pacaran, cum Aya yang wajar aja sikapnya!” balas Bu Maryani.
“Halah Ibu ini kuno! Nggak bisa mengikuti perkembangan jaman!” gerutu Aulia lalu melenggang meninggalkan ibunya menuju ke kamar mandi.
“Yang sabar Bu. Percaya saja Mbak Aulia nggak akan melakukan hal-hal diluar batas.” Selesai mengantarkan teh untuk sang ayah, Anggun berusaha menenangkan ibunya yang terlihat berkacak pinggang dengan wajah memerah.
Anggun menyodorkan air putih untuk sang ibu, seraya memapahnya agar duduk, “Minum dulu Bu. Masih terlalu pagi untuk marah.”
Bu Maryani mendengus kesal, menerima gelas dari Anggun, menenggaknya langsung habis.
Beberapa saat kemudian, terdengar sebuah mobil berhenti tepat di depan rumah mereka. Pak Hendra yang masih menikmati teh di teras, menatap lurus pada seorang pria yang keluar dari dalam mobil itu, lalu berdiri dengan cepat menyambutnya.
“Dokter ….” sapanya.
“Selamat pagi, Pak. Bagaimana kondisi kakinya? Sudah lebih baik?”
“Terimakasih, sudah Dok. Aduh, saya merasa tersanjung karena Dokter Andika secara langsung menjenguk saya di rumah, padahal saya sudah baik-baik saja.”
Dokter Andika tersenyum terkekeh, “Tenang saja Pak, saya tadi kebetulan lewat, lalu teringat Bapak.”
Dokter Andika merogoh sesuatu dari kantongnya, “Minum obat ini juga ya Pak, semalam saya tidak membawanya, ini akan membantu meredakan rasa nyeri dan membantu mengempiskan area yang bengkak.”
Bu Maryani keluar bersama Anggun membawa teh dan singkong goreng.
“Loh? Anggun masih di rumah? Apa nggak sekolah?” tanya dokter Andika dengan tatapan heran.
Anggun terdiam tertunduk sesaat, “Saya ….” Sepertinya pertanyaan dokter Andika masih sangat sulit untuk dijawabnya, tanpa sadar air mata bahkan mulai menggenang di sudut mata Anggun.
Menyadari kegelisahan sang putri, Bu Maryani pun memeluk sang putri yang berdiri menyembunyikan wajahnya.
“Sudah ku duga!” batin dokter Andika lalu bangkit menghampiri Anggun. “Maafkan aku, Anggun. Aku hanya bercanda, jika kamu butuh pindah sekolah, Dokter bisa membantumu!”
“Pindah sekolah?!” sahut kompak kedua orang tua Anggun dengan tatapan terkejut.
...****************...
to be continue....
ehh,,?
ups