Sahabat itu cinta yang tertunda, kata Levin satu waktu berkata pada Dizza seolah konsep itu memang sudah dialami nyata oleh si pemuda. “Kau hanya perlu melihat dengan persepsi yang berbeda untuk menemukan cintamu.”
Sampai kemudian Dizza yang berpikir itu omong kosong mengalami sendiri kebenaran yang Levin katakan padanya. Dizza jatuh cinta pada Edzhar yang adalah sahabatnya.
"Memangnya boleh mencintai sahabat sendiri?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rucaramia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lemonade
Saat itu Kimber berada di ruang konsul. Dia melangkah mendekati jendela yang berada di samping lemari geser. Lemari tersebut berukuran cukup besar sehingga menutup tubuhnya dan membuat orang tidak akan menyadari keberadaannya di ruangan tersebut. Kecuali jika orang itu mendekati lemari. Dia memperhatikan orang-orang di luar gedung, ada yang sedang bercengkrama ada pula yang sekadar duduk-duduk sendiri.
Wajah gadis itu berubah cerah ketika menemukan seseorang yang dia kenal dari arah lapangan basket. Dia menarik kunci jendela dan mendorongnya hingga jendela tersebut terbuka lebar. Lalu matanya kembali fokus pada si pemuda yang sedang mendrable bola menuju ke ring lawannya.
Dua orang tampak mencoba menghadang Levin, membuatnya terpaksa menghentikan laju larinya. Karena tidak menemukan celah untuk melewati kedua pemain itu, pada akhirnya Levin memilih untuk mengoper bola pada kawannya yang sudah menunggu di dekat ring lawan tanpa penjagaan. Lalu dengan cepat rekan timnya tersebut menembakan bola tersebut ke dalam ring dan…
“Nice shot!” kata semua orang disana yang sedang menonton. “Umpan yang bagus, Levin!”
Kimber terus memperhatikan Levin yang asyik bermain disana sampai dia melupakan niatannya untuk pulang. Dia baru tersadar saat mendengar suara pintu yang ditutup. Dia segera berlari ke arah pintu, tetapi dia terlambat karena pintu sudah terkunci dan orang yang menguncinya sudah beranjak menjauh.
“Tolong buka pintunya! Masih ada orang di dalam!” Kimber berseru panik memanggil siapapun orang di luar sana sambil menggedor pintu. Berharap dia bisa membuat orang tersebut kembali dan membukakan pintu.
“Bagaimana ini?” Kimber panik karena diluar tampaknya tidak ada seorang pun yang bisa mendengarnya. Tempat itu memang jarang dilewati orang kecuali yang sedang berkepentingan karena letaknya pula yang berada di paling ujung koridor. Dan lagi ini sudah lewat jam beraktivitas kecuali petugas kebersihan. Kemungkinan besar dia juga dikunci oleh petugas kebersihan kampus.
Kepanikan menyergap dengan mudah ke dalam diri Kimber. “Bagaimana sekarang?” isi kepalanya kosong melompong, dia tidak bisa berpikir jernih. Gadis itu menggigit bibir, semakin detik setiap detiknya.
Lalu dia teringat pada orang-orang yang berada di lapang basket, dan tanpa pikir panjang dia bergegas kembali ke dekat jendela. Saat dia melihat ke arah lapangan masih ada segelintir orang disana dan tampaknya mereka pun hendak pulang. Tanpa pikir panjang Kimber langsung berteriak memanggil Levin.
Awalnya pemuda itu tidak mendengarnya, dan baru sadar ketika Kimber berteriak sekali lagi dengan lebih kencang. Levin tampak celingukan mencari asal suara.
“Jendela! Ruang konsul!”
Akhirnya Levin mendongakan kepala ke arah lantai dua dan melihat Kimber melambaikan tangan kepadanya dari salah satu jendela. Pemuda itu segera meninggalkan lapangan basket dan berlari menghampiri Kimber.
“Aku terkunci disini,” jelas Kimber segera memberi tahu akar permasalahannya setelah Levin mendekat. “Bisa bantu aku membuka pintunya?”
“Kok bisa—”
Kimber memotong kalimat Levin tersebut sebelum dia bisa melanjutkan perkataannya. “Cepatlah aku mohon.”
Levin menganggukan kepala dan segera berlari memasuki gedung.
Tidak sampai sepuluh menit menunggu akhirnya pintu ruangan konsul terbuka dan Levin langsung menyerbu masuk ke dalam ruangan.
“Kau tidak apa-apa?” tanya pemuda itu, peluh membasahi keningnya bergulir turun hingga ke rahangnya.
“Tidak apa-apa, terima—” belum selesai Kimber mengucapkan kata terima kasih. Dizza menyerbu masuk dan langsung memeluknya.
“Kimber! Kau tidak apa-apa kan? kurang ajar sekali yang menguncimu disini. Kau pasti kaget dan ketakutan ya?” kata gadis itu dramatis.
“Tidak apa-apa, kok. Aku tadi berdiri di depan jendela di samping lemari, jadi wajar saja kalau tidak ada yang melihatku,” ujar Kimber masih beradaptasi dengan kondisi terbarunya.
Dizza melepaskan pelukannya. “Kau benar-benar baik hati. Kalau aku diposisimu aku akan mengamuk pada orang ceroboh yang mengunciku. Aku benar-benar kaget sekali. Tadi aku berpapasan dengan Levin yang lari tergesa-gesa jadi aku mengikutinya dan dia bilang kau terkunci disini,” jelas Dizza lagi tampak menggebu-gebu menceritakan ulang semua hal yang dia lewati pada Kimber.
“Sudahlah, Dizza. Yang penting kan sekarang pintunya sudah terbuka,” kata Kimber. Lalu dia pun menoleh pada Levin yang masih ada disana. “Terima kasih banyak ya, Levin,” ucapnya. “Maaf merepotkanmu,” tambah Kimber lagi.
Levin menggelengkan kepala. “Sama-sama, kurasa aku harus kembali. Kuncinya?”
“Biar aku saja yang kembalikan,” kata Dizza cepat.
“Kali ini pastikan menguncinya setelah Kimber diluar,” ujar Levin jahil.
“Kau pikir aku bodoh, ha? Sudah pergi saja sana! Hus hus…”
Levin tertawa lalu beranjak dari sana. Sebelum pergi dia tersenyum pada Kimber dan berkata, “Syukurlah kau baik-baik saja.”
Dizza langsung tersenyum dan menutup mulutnya, sambil menusuk tangan Kimber disisinya dengan siku. “Baik-baik saja katanya,” ujar Dizza yang membuat Kimber hanya bisa diam sambil memalingkan muka.
***
Pada akhirnya Dizza dan Kimber berjalan bersama, sampai kemudian mereka berjalan di dekat lapangan basket dan Kimber menoleh ke sana. Orang-orang sudah tidak ada, hanya ada seseorang disana. Duduk sambil menengadahkan kepalanya ke langit dengan meluruskan kedua kaki.
“Bukannya itu si Levin?” ujar Dizza. Kimber hanya mengangguk dengan mata yang tidak lepas dari pemuda itu. “Buat apa dia masih disini?”
“Levin katanya menunggu seseorang.”
Kimber dan Dizza berbalik ketika seseorang berkata demikian kepadanya. “Siapa katanya?” tanya Dizza balik.
“Entahlah, tapi yang jelas perempuan sepertinya.”
Dizza dan Kimber saling bertatapan. Lalu setelah itu Dizza menampakan senyuman lebar dan mendorong punggung Kimber ke arah lapangan. “Bagaimana kalau kau dekati dia? Kurasa dia menunggumu. Tadi kan aku mengganggu obrolan kalian. Jangan lupa belikan dia minuman.”
“Tapi kan—”
“Aku mau pulang sendiri saja, sampai jumpa!” kata gadis itu yang langsung berlari meninggalkan Kimber seorang diri. Tanpa Kimber sadari Dizza tersenyum lembut menatap kedua sahabatnya.
“Senang rasanya melihat semua orang mengalami musim semi masing-masing,” bisik Dizza.
***
“Untukmu,” kata Kimber mengulurkan sebuah botol minuman begitu dia mendekati Levin. Tubuh pria itu sempat terguncang mungkin karena kaget karena Kimber yang tiba-tiba saja muncul di dekatnya.
“Kau sudah mau pulang?” Pemuda itu langsung menyambut botol yang disodorkan Kimber. Lalu membuka tutupnya dan meminum isinya sediki. “Asam!” keluhnya, dan dia memutar botol di tangan untuk membaca tulisan yang tertera di pembungkus botol itu. “Lemonade?” dia bertanya pada Kimber.
“Itu bagus untuk mengembalikan tenaga. Tidak suka ya? mau aku ganti dengan yang lain?”
Levin menggelengkan kepala.
“Kalau tidak suka jujur saja,” ujar Kimber.
“Tidak apa, cuma belum terbiasa saja,” sahut Levin lalu meneguk lemonade itu lagi.
“Kalau tidak suka jangan dipaksa,” kata Kimber berusaha merebut botol yang ada di tangan Levin. “Biar aku ganti dengan yang lain.” Tetapi dengan mudah Levin mengelak.
“Akan aku minum,” timpal Levin sambil menjauhkan botol itu dari jangkauan Kimber.
“Bukannya kau tidak suka?” tanya Kimber bingung atas tingkah Levin.
“Kalau itu darimu akan aku minum sampai habis.”
“Walau tidak suka?”
Levin mengangguk. “Asalkan kau yang memberi,” sahutnya yakin.
Rona merah seketika menjalari pipi Kimber. Kata-kata yang baru saja keluar dari mulut Levin seolah memiliki arti khusus baginya. “Aku pulang dulu,” ujarnya pada Levin seraya memutar tubuh dan melangkah menjauh. Tetapi Levin menghentikannya.
“Kenapa tidak pulang bareng saja denganku?”
Love ..word that can cause happiness or sadness Depend situation. i hate that word n try to avoid happened to me 🫣🤔😱