Arga, lulusan baru akademi kepolisian, penuh semangat untuk membela kebenaran dan memberantas kejahatan. Namun, idealismenya langsung diuji ketika ia mendapati dunia kepolisian tak sebersih bayangannya. Mulai dari senior yang lihai menerima amplop tebal hingga kasus besar yang ditutupi dengan trik licik, Arga mulai mempertanyakan: apakah dia berada di sisi yang benar?
Dalam sebuah penyelidikan kasus pembunuhan yang melibatkan anak pejabat, Arga memergoki skandal besar yang membuatnya muak. Apalagi saat senior yang dia hormati dituduh menerima suap, dan dipecat, dan Arga ditugaskan sebagai polisi lalu lintas, karena kesalahan berkelahi dengan atasannya.
Beruntung, dia bertemu dua sekutu tak terduga: Bagong, mantan preman yang kini bertobat, dan Manda, mantan reporter kriminal yang tajam lidahnya tapi tulus hatinya. Bersama mereka, Arga melawan korupsi, membongkar kejahatan, dan... mencoba tetap hidup sambil menghadapi deretan ancaman dari para "bos besar".
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seraphine E, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28 : Semangkok Bakso untuk Bu Anik
Arga melewati jalan-jalan sempit di pemukiman padat penduduk dengan motor Honda CBR-nya yang memancarkan suara khas, yang bagi sebagian orang terdengar seperti musik di tengah hiruk-pikuk kota. Meski cuaca Jakarta tengah terik, dia tidak terganggu. Pikirannya lebih terfokus pada tujuannya—rumah Pak Gunawan, mantan atasannya yang kini terpenjara setelah segala intrik yang melibatkan dirinya.
Di tangan kanan Arga, terdapat empat porsi bakso yang tertata rapi dalam plastik, aroma kaldunya yang menggoda membuat perut Arga, meskipun sudah makan siang, kembali bergejolak. Di tangan kiri, dia memegang tas belanjaan sembako yang berisi barang-barang ala kadarnya, yang bisa dibilang cukup untuk menolong keluarga Pak Gunawan untuk beberapa hari.
Sesampainya di depan rumah Pak Gunawan, Arga menurunkan motor dan berjalan menuju pintu yang sudah tampak rapuh karena usia. Rumah itu, meski kecil, tetap terasa hangat, bahkan dengan segala keterbatasan yang ada. Arga mengetuk pintu, dan suara ketukan itu seperti irama yang sudah biasa terdengar di rumah ini.
"Iya, siapa?" terdengar suara ibu Gunawan yang agak lelah dari dalam rumah.
"Bu Anik, ini saya, Arga," jawabnya sambil tersenyum, meski senyum itu tak lepas dari rasa prihatin. "Saya Bawa makanan sama sedikit belanjaan titipan teman-teman."
Pintu pun terbuka, dan Arga disambut dengan senyum lelah namun tulus dari ibu Anik, istri pak Gunawan. Seperti biasa, keluarga ini memang butuh bantuan, dan Arga tak pernah ragu untuk datang, meski kadang ia merasa hidupnya sendiri tak lebih baik.
"Mas Arga, terima kasih, ya," ucap ibu Gunawan sambil menerima bakso dan sembako yang dibawa Arga. "Duh, kalau nggak ada kalian, kami nggak tahu lagi deh, Mas."
Arga hanya tersenyum. "Gak usah dipikirin, Bu. Pak Gunawan pasti bakal keluar sebentar lagi, kok. Kami bantu yang bisa kami bantu."
Ibu Gunawan mengangguk pelan, matanya menatap Arga dengan rasa syukur yang tak terucapkan. Keadaan memang tidak mudah bagi keluarga ini. Setelah Pak Gunawan divonis hukuman penjara 4 tahun 8 bulan, kehidupan mereka terbalik. Ibu Gunawan yang sebelumnya hanya mengurus rumah tangga, kini harus bekerja keras. Ditambah lagi, harus mengurus ibu mertuanya yang terkena stroke. Dua pekerjaan berat sekaligus.
Namun meski begitu, mereka tetap berusaha menjalani hidup dengan sebaik-baiknya. Ahmad dan Karunia, anak-anak Pak Gunawan, meski harus merasakan kesulitan ekonomi, tetap bersemangat untuk belajar. Bahkan Arga dan yang lainnya, Dedi, Rahmat, dan Rini, patungan untuk membayar biaya sekolah mereka, agar mimpi mereka tidak padam.
"Tolong jaga mereka, ya Bu," kata Arga sambil menepuk pelan bahu ibu Gunawan. "Kami akan terus bantu sebisa kami. Jangan ragu hubungi kami, kalau butuh sesuatu."
Ibu Gunawan mengangguk dengan mata berkaca-kaca. "Kami nggak bisa membalas budi baik kalian, Mas Arga. Kami cuma bisa berdoa semoga semua kebaikan kalian dibalas Allah."
Arga menatap ibu Gunawan dengan serius, lalu tersenyum. "Amin, Bu. Kita semua harus saling bantu. Kalau enggak, siapa lagi?"
Di ruang tamu rumah Pak Gunawan yang sederhana, Arga duduk di kursi kayu yang tampak sudah kehilangan catnya, menggigit bibirnya. Pandangannya menyapu sekeliling, dari dinding yang terlihat usang, hingga rak buku yang penuh dengan buku pelajaran anak-anak—bukan buku yang membicarakan cara membeli rumah mewah atau investasi saham. Di sini, buku-buku itu lebih banyak berbicara tentang matematika, fisika, dan sejarah. Sekilas, suasananya begitu kontras dengan tuduhan yang selama ini menimpa Pak Gunawan.
Arga menatap cangkir teh hangat yang ada di meja depan. Teh ini bukan teh di restoran mahal atau di kafe hipster Jakarta, ini teh yang diseduh dengan penuh ketulusan dari dapur sederhana. Sambil menatap itu, Arga berpikir keras. Bagaimana bisa Pak Gunawan yang hidupnya sederhana seperti ini, tiba-tiba dituduh terlibat korupsi dan suap?
Jika Pak Gunawan benar-benar seorang yang menerima suap, jika dia benar-benar mengambil uang negara, maka sudah pasti rumahnya tidak akan sekecil ini. Pasti ada villa dengan halaman luas, mobil sport terparkir rapi di garasi, dan mungkin beberapa mobil mewah yang hanya digunakan untuk memamerkan gaya hidup. Seharusnya, tubuh Pak Gunawan juga pasti tidak sefit dan setegap ini, kalau dia beneran terima suap, mestinya badannya sudah mengembang seperti balon udara, bukan masih tampak seperti Gatot Kaca yang siap beraksi. Paling tidak, dia pasti sudah berwajah puas, bukan wajah yang selalu terlihat seperti orang yang banyak berpikir dan terjebak dalam situasi yang sulit.
Arga menarik napas dalam-dalam dan memandang sekali lagi ke ruang tamu. Entah kenapa, hatinya sesak. Dia tidak bisa memahaminya. Ini benar-benar tidak masuk akal. Di satu sisi, dia tahu bahwa sistem ini sering kali tidak adil, tapi di sisi lain, Pak Gunawan, yang selama ini dikenal sebagai orang yang jujur dan pekerja keras, tiba-tiba harus terjebak dalam permainan kotor ini.
Bahkan, jika harus menilai, Pak Gunawan adalah tipe orang yang lebih sering menegur anak-anaknya yang terlalu sering main game, dibandingkan dengan orang yang diam-diam menumpuk harta dari hasil penyuapan. "Kalau Pak Gunawan memang korup, saya yakin duitnya sudah bisa untuk beli Ferrari, bukan malah pusing-pusing memikirkan biaya sekolah anak-anaknya," pikir Arga sambil menggelengkan kepala.
Namun, meskipun perasaan tidak adil itu menggelayuti hati Arga, dia tahu satu hal—apa pun yang terjadi, dia tidak bisa hanya diam begitu saja. Kejadian ini mungkin sudah menodai nama baik Pak Gunawan, tetapi Arga merasa ada yang harus dilakukan, ada yang perlu diperjuangkan. Jika sistem ini tidak bisa memberikan keadilan yang seharusnya, dia akan mencari cara lain untuk membersihkan nama Pak Gunawan.
"Ini belum selesai, Pak Gunawan," bisik Arga pada dirinya sendiri, "Saya akan buktikan kalau Anda tidak bersalah."
Sambil bangkit dari kursi, Arga menatap sekali lagi ke ruang tamu yang sederhana, dengan penuh tekad yang menyala. Setelah semua yang telah terjadi, dia merasa lebih yakin dari sebelumnya—untuk bertindak, dan untuk mencari keadilan yang sesungguhnya.
Setelah berbincang beberapa saat, Arga pamit dan melangkah keluar, kembali menaiki motornya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia merasa bangga bisa membantu, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa perjuangan keluarga Pak Gunawan belum selesai.
Dia menatap jalan yang terbentang di depannya, dengan pemandangan yang tetap tidak berubah. Jakarta yang penuh tantangan, namun juga penuh harapan. Arga tahu, hidupnya mungkin tak pernah sempurna, namun melihat senyum ibu Gunawan dan anak-anaknya, dia merasa sedikit lega. Mungkin, inilah arti dari sebuah keadilan yang sesungguhnya—tidak selalu datang dari sistem yang besar, tetapi dari usaha-usaha kecil yang dilakukan orang-orang baik dalam diam.
...****************...