Jihan, harus memulai kehidupannya dari awal setelah calon kakak iparnya justru meminta untuk menggantikan sang kakak menikahinya.
Hingga berbulan-bulan kemudian, ketika dia memutuskan untuk menerima pernikahannya, pria di masa lalu justru hadir, menyeretnya ke dalam scandal baru yang membuat hidupnya kian berantakan.
Bahkan, ia nyaris kehilangan sang suami karena ulah dari orang-orang terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andreane, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
15
Aku dan mas Sagara sudah sampai di apartemen. Ini kedua kalinya aku masuk ke sini. Pertama saat menata peralatan dapur, kedua, kali ini yang nantinya langsung tinggal di sini.
Apartemen yang enggak terlalu besar, tapi cukup bagus dan pas untuk di tinggali oleh dua orang. Ada dua kamar, dapur yang menyatu dengan ruang makan, ruang tv yang berukuran kurang lebih tiga meter, dan ruang tamu yang hanya muat untuk satu set sofa.
Sedangkan tempat untuk mesin cuci ada di sebelah dapur. Ukurannya hanya dua meter, itupun barengan buat setrika juga. Kalau jemur baju nanti di balkon, aku bisa langsung menuju pintu geser yang menghubungkan antara ruangan untuk cuci setrika dan balkon itu.
Karena tak ingin tidur satu kamar dengan mas Sagara, ku pikir begitu juga sebaliknya, mas Sagara ogah tidur satu kamar denganku.
Jadi aku memintanya menyiapkan kamar pribadi untukku. Ya meskipun permintaanku waktu itu tidak di jawab iya, tapi bisa ku pastikan dia menyetujui keinginanku. Sebab selama dua malam saat menginap di rumah mama, kami benar-benar tidur terpisah.
Mas Sagara di kamarnya sendiri, sementara aku di kamar tamu.
Toh aku nggak sudi masuk ke kamarnya, karena apa? Karena saat aku mencarinya untuk sarapan tadi pagi, dia yang tengah berada di kamar mandi, aku langsung saja masuk, dan mataku langsung melihat ada foto mas Sagara dan kak Lala tergantung di dinding.
Kemungkinan foto itu di ambil saat mereka fitting baju pengantin. Selain itu banyak sekali album foto yang berisi fotonya dan kakakku.
Kak Lala memang pernah di ajak jalan sama mas Sagara, dan itu nggak cuma sekali. Keduanya keluar kadang untuk sekedar jalan, melakukan penjajakan atau perkenalan, untuk fitting baju, kadang makan malam, beli cincin nikah, pokoknya kepergiannya itu untuk mempersiapkan pernikahan mereka yang akhirnya gagal.
"Kamar cuma ada satu, kalau kamu mau, kamu bisa tidur di kamarku, kalau tidak, kamu bisa tidur di sofa sini" Ucapnya menunjuk sofa yang ada di ruang tv.
"Loh kan kamarnya ada dua" Jujur aku terkejut. "Bukankah waktu itu aku sudah minta mas siapin kamar buat aku sendiri?"
"Memang ada dua kamar, tapi yang satu ku gunakan untuk ruang kerja"
"Ya tapi_"
"Nggak usah banyak protes. Kalau kamar itu kamu tempati, lantas aku kerja di mana nanti? Aku tidak bisa konsentrasi jika tidak ada ruang kerja. So, jika kamu keberatan tidur denganku, silakan tidur di sofa" Usai mengatakan itu, mas Sagara langsung melangkah menuju kamar utama yang ukurannya lebih besar dari kamar yang ia putuskan sebagai ruang kerja.
"Oh ya" Mas Sagara berbalik, lalu menatapku tajam.
"Tata pakaianku di lemari, tapi sebelum itu taruh barang belanjaan ke dapur, masukkan ke dalam kulkas bahan-bahan yang harus di masukan ke sana"
"Ada lagi?" Tanyaku membuat salah satu alisnya terangkat.
"Masak untuk makan siang"
Menarik napas panjang, aku menatap punggung pria yang tampak tegap dan kokoh itu saat dia kembali mengarahkan kakinya ke kamar.
Tak ada pilihan lain, akupun terpaksa mengikuti langkahnya untuk menaruh koperku.
Setibanya di kamar, kembali aku di buat heran sebab hanya ada satu lemari dengan empat pintu.
"Mas, lemari untuk bajuku mana?" Mas Sagara yang tengah duduk di tepi ranjang sambil melepas kaos kaki sontak mendongak.
"Memangnya butuh lemari berapa untuk bajumu? Lemari selebar itu masih kurang?"
"Ya bajuku sama baju mas harus pisah lah"
"Kalau satu lemari cukup, kenapa harus pisah-pisah? Kamar ini seluas lapangan sepak bola, minta pisah lemari?"
Tak mampu menjawab, aku akhirnya mengalah dan pasrah.
Selain berbagi kamar, juga berbagi lemari. Apakah juga akan berbagi ranjang?
"Mas!"
"Hmm" Sahutnya dengan fokus sepenuhnya ke layar laptop.
"Mas tidur di sofa kan?"
"Enggak, aku tidur di sini"
"Terus aku?"
Mas Sagara menatapku, detik berikutnya menatap ke samping kiri.
"Kamu tidur di situ" Ia menunjuk tempat di sampingnya. "Ranjang ini juga cukup besar, kalau ada ranjang satu lagi di kamar ini, aku bisa sesak napas"
"Jadi kita tidur satu ranjang?"
"Kenapa memangnya, keberatan?"
"Of course!" Sahutku spontan.
"Jangan khawatir, aku nggak akan menyentuhmu" Pria itu kembali mengarahkan pandangan ke arah laptop.
Ckk.. Aku punya teman sekamar. Bukan teman, lebih tepatnya musuh sekamar.
Karena tadi aku dan mas Sagara mampir ke supermarket untuk belanja kebutuhan dapur, termasuk bahan makanan, sayur, buah serta daging, aku beranjak dari kamar hendak ke dapur. Tak peduli dengan pria angkuh yang kini sedang sibuk duduk bersandar di atas tempat tidur.
Aku akan sekalian memasak untuk makan siang karena saat ini jam sudah menunjuk nyaris di angka sebelas. Soal baju aku bisa menatanya nanti setelah makan siang.
Lima belas menit berlalu, tepat ketika sedang fokus memotong kentang untuk ku bikin sop ayam, tiba-tiba mas Sagara bersuara dari arah belakang punggungku.
"Ini uang untuk kebutuhan rumah tangga selama satu bulan, termasuk uang saku buat kamu" Dia meletakkan amplop di atas meja makan. Kemudian melangkah menuju kulkas. "Listrik dan air itu urusanku, biaya kuliahmu juga urusanku, jangan lupa kamu harus handle semua pekerjaan rumah" Katanya setelah meneguk air mineral dari dalam botol.
Ku telan ludahku sendiri sambil meliriknya dalam-dalam.
"Aku istri apa pembantu disini?"
"Bukankah mengurus rumah itu tugas istri? Tugasku cari uang untuk memberimu nafkah. Masih kurang juga?"
Ketika aku hanya diam sambil membalas tatapannya, mas Sagara kembali bersuara.
"Oh apa mau nafkah batin juga?" Tanyanya tersenyum miring.
Mendengar kalimatnya mataku persekian detik membulat sempurna.
"Nggak perlu" Jawabku kembali fokus dengan potongan kentang.
Mas Sagara menaruh kembali botol air mineral ke dalam kulkas.
"Besok aku sudah mulai mengajar di kampus baru, persiapkan setelan kemeja, kaos kaki serta sepatu yang akan ku pakai. Usahakan kemeja dan celana jangan sampai kusut, mengerti?"
"Satu lagi, aku harus bawa jus lemon ke kampus, kamu siapkan pakai botol yang biasa ku bawa"
Iya botol berwarna hitam. Mas Sagara memang suka membawa botol itu. Ku pikir isinya hanya air putih, ternyata jus lemon.
"Apa harus bawa bekal?" tanyaku tanpa melihatnya.
"Tentu saja, karena aku nggak suka makan di luar"
Huffhh merepotkan.
"Bawa buah dan camilan juga?" Tanyaku lagi.
Pria itu mengernyitkan dahi saat aku menoleh untuk menatapnya.
"Kenapa nggak menyuruhku buat bawa kulkas sekalian?"
"Siapa tahu bawa, kan bisa ku siapkan juga"
Dia langsung pergi tanpa meresponku.
Setelah kepergiannya, otakku berfikir keras tentang kampus baru yang tadi dia katakan.
Mengajar di kampus baru? Kampus mana? Apa kampusku?
Ah sepertinya nggak mungkin.
Bersambung...