Sebuah ramalan kemunculan raja iblis berhasil membuat dunia kacau balau akibat kemunculan para monster, makhluk mistis serta fenomena alam baru.
Untungnya manusia masih memiliki secercah harapan. Mereka adalah para manusia yang berhasil membangkitkan kekuatan hebat, mereka disebut Awakening.
Akan tetapi, apakah secercah cahaya itu dapat mengalahkan kegelapan yang begitu besar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Galaxy_k1910, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tempat Rahasia
Pukul 08.00. Ekilah pun akhirnya pergi dengan pakaian pendaki yang biasa-biasa saja setelah berusaha membujuk Rahayu sekuat tenaga.
Perempuan itu pergi menggunakan sebuah mobil jip dengan bagian atap yang bisa dibuka tutup. Mata biru kehijauan Ekilah menatap langit yang mulai gelap.
"Sepertinya akan turun hujan."
"Tenang saja nona muda. Perkiraan cuaca mengatakan jika kita tidak akan kehujanan begitu keluar dari daerah Gunung Tua."
Orang yang menjadi supir Ekilah itu adalah Giovano. Pria berbadan kekar dengan rambut hitam dengan gaya pasaran.
Ekilah memperhatikan energi di dalam tubuh Giovano.
"Platinum? Tidak. Dia masih emas tapi energinya hampir mendekati platinum," batin Ekilah.
"Paman Gio-"
"Tolong panggil nama saya saja, nona muda. Selisih usia kita tidak terlalu jauh. Mungkin sekitar 5 tahun."
Ekilah mengubah posisi duduknya dengan lebih santai. "Kalau begitu seharusnya kau memanggilku nona saja. Usiaku ini sudah tidak muda lagi."
"Sesuai keinginan anda, nona."
Suasana pun kembali canggung. Hawa dingin akibat cuaca yang hendak hujan mulai menusuk kulit Ekilah. Giovano, tanpa basa-basi langsung menekan sebuah tombol di bagian depan mobil dan seketika bunyi mekanis dan gesekan besi pun terdengar.
Bongkahan besi tipis berbahan langkah pun muncul dari bagasi belakang dan mulai menutupi bagian atas mobil. Kaca jendela juga perlahan menutup.
Fuu~
Ekilah bersiul kagum.
"Giovano boleh aku menanyakan sesuatu."
"Tentu, Nona Ekilah."
Ekilah mengangkat tangannya tepat di belakang leher pria itu. "Menurutmu, apa aku bisa membunuh sekarang?"
Giovano terdiam. Dia bukanlah awakening pemula dan dia bisa langsung tahu jika Ekilah sedang serius.
Pria bermata hitam itu juga tahu jika Ekilah sudah menyembunyikan kekuatannya sejak pertemuan pertama. Giovano hanya tak mengira jika kekuatan Ekilah berada satu tingkat di atas dirinya.
"Sepertinya aku sudah terlalu lama tidak beraksi," batin Giovano.
Senyuman lebar pun terbentuk di wajah pria itu. "Anda bisa, tapi saya tidak akan membuatnya menjadi mudah."
Ekilah pun menurunkan kembali tangannya.
"Tolong tambah kecepatannya."
"Tentu, nona Ekilah."
Perjalanan yang awalnya membutuhkan waktu 9 jam berhasil dipersingkat oleh Giovano menjadi 7 jam. Dia bukan hanya meningkatkan kecepatan mobil tapi juga melewati zona merah sebagai jalan pintas.
Zona merah. Seperti di film-film, zona itu merupakan daerah berbahaya yang ditempati oleh sekumpulan monster yang keluar dari ruang gelap dan lain sebagainya. Kemunculan ruang gelap sendiri bukanlah masalah utama di dunia melainkan kemunculan para monster dan mahluk mistis.
Total di negara Mandaraka, terdapat 7 zona merah yang masih-masih zona tersebut berada di bawah tanggung jawab ketujuh keluarga bangsawan.
Zona merah yang kini sedang dilewati oleh Giovano merupakan zona merah milik Banaspati.
Untungnya Banaspati bukanlah makluk yang suka asal menyerang manusia. Itu dapat dibuktikan dengan perjalanan aman yang Ekilah dapatkan setelah Giovano memberikan beberapa sesajen sebagai bentuk penghormatan dan meminta ijin untuk melewati area mereka.
Ekilah memang sempat melihat beberapa bola api melewati mobil.
Singkat cerita akhirnya Ekilah tiba di tempat berkumpulnya orang-orang yang ingin mendaki gunung tertinggi di negara Mandaraka. Kebanyakan dari mereka adalah warga biasa yang memang hobi mendaki, sisanya adalah warga lokal.
"Giovano, kau tunggu di sini saja ya," ujar Ekilah yang sedang melakukan peregangan ringan.
"Kalau begitu tolong bawa ini, nona." Giovano memberikan Ekilah sebuah alat yang bisa membuat kubah pelindung berteknologi tinggi.
"Saya tahu anda itu kuat tapi ini untuk jaga-jaga saja."
Ekilah menerima alat pelindung itu dengan senang hati. "Makasih."
Tanpa menunggu penjelasan dari siapapun yang berpengalaman di gunung ini, EKilah langsung berangkat dengan kecepatan penuh. Dia langsung menghilang dalam sekejap mata.
[Kamu ingin pamer pada orang-orang biasa itu ya.]
"Iya," Ekilah membalas ucapan Tundra dengan senyuman lebar.
"Aku juga tidak butuh penjelasan dari siapapun tentang gunung ini karena sudah ada dirimu, Tundra. Kau masih ingat jalannya kan?"
Whuus!
Ekilah berlari dengan sangat kencang.
[Lagi-lagi kamu boros energi. Pertama-tama pergilah ke sisi kiri gunung, itu area yang penuh tebing curam jadi berhati-hatilah.]
"Oke."
.
.
.
Ekilah melesat menuju sisi kiri gunung sesuai petunjuk Tundra. Angin dingin menusuk wajahnya, tapi dia tampak tak peduli. Kecepatan larinya membuat tanah berguncang kecil, jejak kakinya membentuk retakan halus di sepanjang jalur yang dilewatinya.
Ekilah melambatkan langkahnya, berhenti tepat di depan sebuah mulut gua. Gua itu gelap gulita, dengan hanya beberapa tanaman merambat menjuntai dari atas. Bau tanah basah bercampur dengan udara dingin khas pegunungan.
"Sepertinya aku tidak bisa melewatkan ini," gumamnya sambil berjalan masuk dengan waspada.
Perempuan itu bisa merasakan energi asing yang berasal dari dalam gua tersembunyi.
Langkahnya lembut namun terukur, mata biru kehijauan mulai bercahaya samar. Ekilah mulai menyalakan kemampuan pendeteksi energi miliknya.
"Energinya seperti jejak makhluk dari ruang gelap, tapi ini lebih lemah. Mungkin monster yang tersesat."
Ekilah memasuki gua, ujung matanya menangkap sebuah cahaya berkilauan dari dalam gua. Ketika dia semakin dekat, sebuah sosok tiba-tiba muncul dari kegelapan. Makhluk itu besar, dengan tubuh mirip serigala tetapi bersisik logam. Matanya merah menyala.
"Monster serigala?" Ekilah memiringkan kepalanya bingung. "Apa pernah ada fenomena Ruang Gelap di dekat sini?"
Serigala besar itu mengerang dan tanpa basa-basi, ia melompat menyerang Ekilah.
Ekilah dengan memiringkan sedikit badannya mampu menghindari serangan serigala itu.
"Level silver ya," gumam Ekilah.
[Serang saja punggungnya, sisik serigala itu jumlahnya sedikit di bagian sana.]
Tundra memberitahu kelemahan Serigala itu tanpa perlu diberitahu.
Ekilah melompat ke udara, berputar, lalu mendarat di belakang makhluk itu. Dengan satu pukulan kuat, dia menghantam titik yang disebutkan Tundra. Suara retakan terdengar, dan makhluk itu mengeluarkan raungan kesakitan.
Namun, bukannya jatuh, makhluk itu justru mengeluarkan aura gelap yang lebih pekat. Tubuhnya membesar, dan sebuah ekor tambahan tumbuh dengan cepat, berlapis duri.
"Serigala dengan ekor dan sisik ular, kira-kira berapa harga mayatmu nanti ya." Ekilah tersenyum tipis.
Criing!
Ekilah mengeluarkan pedang Erasmo yang sedari tadi masih menempel layaknya tatto di tangan kirinya. Energi berwarna kebiruan pun menutupi pedang tersebut.
Monster serigala itu hendak melakukan serangan yang sama seperti sebelumnya.
"Monster bodoh."
Energi Ekilah mulai mengubah bentuk pedang Erasmo menjadi lebih panjang. Perempuan itu langsung melakukan tebasan horizontal.
Bruk!
Tubuh monster yang sudah terbelah menjadi dua itu jatuh ke tanah.
Ekilah mengembalikan bedang Erasmo menjadi tatto di tangan kirinya. Ia mulai berjalan mendekati mayat monster tersebut. Tangan kanan Ekilah terulur untuk mengambil sebuah kristal energi dari tubuh monster tersebut.
[Kamu mau menjualnya?]
"Hmm... Aku berubah pikiran. lebih baik aku menggunakannya untuk diriku sendiri saja."
[Maksudnya?]
Krauk!
Tanpa aba-aba perempuan bermata biru kehijauan itu langsung memakan energi monster tadi.
Hal itu mengejutkan Tundra. Pasalnya, untuk mengkonsumsi sebuah kristal energi seseorang harus memurnikan energi dalam kristal tersebut. Jika tidak akan terjadi penolakan energi dan di pemakan bisa langsung mati.
Namun sepertinya itu tidak bekerja bagi Ekilah.
"Rasanya kayak makan es batu tapi gak dingin."
[Kamu membuatku sedikit terkejut.]