"Angin dari Gunung Kendan" adalah kisah epik tentang Rangga Wisesa, seorang pemuda yang hidup sederhana di Desa Ciwaruga tetapi menyimpan dendam atas kehancuran keluarganya. Sebuah prasasti kuno di Gunung Kendan mengubah hidupnya, mempertemukannya dengan rahasia ilmu silat legendaris bernama Tapak Angin Kendan. Dalam perjalanannya, Rangga menghadapi dilema moral: menggunakan kekuatan itu untuk balas dendam atau menjadi penjaga harmoni dunia persilatan. Dengan latar penuh keindahan budaya Sunda dan dunia persilatan yang keras, cerita ini mengisahkan pertarungan fisik, spiritual, dan batin di tengah konflik yang memperebutkan kekuasaan ilmu sejati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Topannov, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jejak di Antara Batu Part.3 (Lanjutan)
Rangga berdiri tepat di depan altar, tubuhnya terasa berat seolah-olah udara di sekelilingnya menjadi penghalang yang tak terlihat. Dia menatap patung pendekar yang kini memancarkan aura merah samar dari mata batu itu. Aliran darah yang menetes ke lantai tampak bergerak seperti hidup, meresap ke dalam pola lingkaran di sekitar altar.
“Rangga, jangan terlalu dekat!” seru Larasati, tetapi suaranya teredam oleh gema ruangan.
“Aku harus melakukannya,” jawab Rangga tanpa menoleh. Suaranya terdengar tenang, tetapi ada ketegangan yang jelas di dalamnya. Dia mengulurkan tangannya ke arah patung, tetapi sebelum jemarinya menyentuh permukaannya, sebuah suara menggelegar memenuhi ruangan.
“Kau yang berdiri di hadapanku, apa tujuanmu melangkah sejauh ini?” Suara itu dalam dan bergema, seperti datang dari seluruh penjuru ruangan sekaligus.
“Aku mencari jawaban,” jawab Rangga, berdiri tegak. “Jawaban tentang ilmu ini, tentang rahasia Gunung Kendan, dan tentang diriku sendiri.”
“Jawaban datang dengan harga,” balas suara itu, disertai gemuruh kecil di bawah kaki mereka. “Harga yang seringkali tidak kau sadari hingga terlambat.”
“Aku tidak peduli dengan harga itu,” Rangga menantang, meskipun ia merasakan aliran dingin di punggungnya. “Apa pun yang harus aku hadapi, aku akan terus maju.”
Larasati maju beberapa langkah, mencoba meraih tangan Rangga. “Rangga, dengarkan aku! Ini bisa jadi lebih dari yang kau pikirkan. Jangan memaksakan diri hanya karena—”
“Aku tahu, Laras!” potong Rangga, menoleh dengan mata yang menyala penuh tekad. “Tapi ini bukan hanya tentang aku. Jika kita mundur sekarang, musuh akan melangkah lebih jauh. Aku tidak bisa membiarkan itu.”
Larasati menggigit bibirnya, suaranya tertahan oleh ketakutannya sendiri. Ia ingin menghentikan Rangga, tetapi ia juga tahu bahwa tekadnya tidak bisa digoyahkan.
Patung itu bergerak perlahan, kepala batu itu memutar sedikit ke arah Rangga. “Kau memiliki tekad yang besar, tetapi apakah hatimu bersih dari niat gelap?” Suara itu kini lebih rendah, hampir seperti bisikan yang langsung masuk ke dalam pikiran Rangga.
“Aku tidak punya waktu untuk menjawab teka-teki,” Rangga balas dengan suara tegas. “Jika ini ujian, berikan ujian itu. Aku siap.”
Tiba-tiba, lantai di bawah kaki Rangga bersinar terang. Lingkaran yang sebelumnya tampak seperti pola ukiran kini menjadi jalur energi yang mengelilingi kakinya. Tubuh Rangga terangkat sedikit dari tanah, dan angin kuat mulai berputar di sekelilingnya. Rambutnya berkibar, dan matanya menyipit karena hembusan yang semakin kencang.
“Rangga!” Larasati mencoba mendekat, tetapi angin mendorongnya mundur. “Apa yang terjadi?!”
Ki Jayeng, yang baru tiba di pintu ruangan, langsung mengangkat tongkatnya. “Tahan tempatmu, Larasati!” serunya. “Eta angin moal bisa dihentikan. Ieu keur Rangga sorangan.”
“Tapi—” Larasati memprotes, tetapi ia tahu bahwa Ki Jayeng benar. Angin itu bukan sekadar angin biasa. Rasanya seperti menembus kulit dan langsung menyentuh jiwanya, membawa rasa takut yang tak bisa dijelaskan.
Di tengah pusaran angin itu, Rangga merasakan tubuhnya ringan, hampir seperti ia melayang di antara dua dunia. Ia memejamkan mata, membiarkan angin menyelubungi dirinya sepenuhnya. Dalam keheningan yang tiba-tiba, suara lain muncul, lebih lembut tetapi lebih dalam daripada yang ia dengar sebelumnya.
“Rangga Wisesa,” suara itu berkata, seperti bisikan dari tempat yang sangat jauh. “Kau telah membawa hati yang penuh konflik ke tempat ini. Angin dapat menjadi sahabatmu, tetapi juga musuh terbesarmu.”
“Aku tidak mengerti,” Rangga membalas dalam pikirannya. “Apa yang kau inginkan dariku?”
“Angin adalah keseimbangan,” suara itu melanjutkan. “Ia tidak pernah memilih pihak. Ia mengalir untuk semua, tanpa niat menghancurkan atau melindungi. Apakah hatimu cukup kuat untuk mengikuti jalan itu?”
Rangga terdiam. Ia tahu apa yang dimaksud oleh suara itu. Selama ini, ia memandang kekuatan sebagai alat untuk mengalahkan musuhnya, tetapi ia tidak pernah memikirkan apa artinya kekuatan itu bagi dunia di sekitarnya. Ia merasa seolah-olah angin sedang menelanjangi setiap niatnya, memperlihatkan luka dan dendam yang ia bawa selama ini.
“Aku... tidak tahu,” jawab Rangga akhirnya, dengan suara yang terdengar kecil di tengah pusaran angin.
“Ketidaktahuan adalah awal dari pembelajaran,” suara itu menjawab. “Tetapi ketidaktahuan yang dibiarkan akan menjadi kehancuran. Apakah kau siap untuk melepaskan bebanmu?”
Rangga menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. “Aku siap,” katanya dengan mantap. “Aku akan belajar, tetapi aku tidak akan berhenti. Tidak sekarang.”
Pusaran angin berhenti tiba-tiba, dan tubuh Rangga jatuh ke lantai dengan suara keras. Larasati langsung berlari mendekat, berlutut di sampingnya. “Rangga! Kau baik-baik saja?”
Rangga membuka matanya perlahan, wajahnya tampak lelah tetapi matanya penuh dengan keyakinan baru. “Aku baik-baik saja,” jawabnya pelan. Ia duduk, menatap patung yang kini tampak diam seperti sebelumnya.
Ki Jayeng mendekat, tongkatnya mengetuk lantai dengan suara berat. “Kumaha, Rangga? Naon anu anjeun pelajari?”
Rangga menggeleng perlahan, lalu menghela napas. “Aku belum sepenuhnya mengerti, Ki. Tapi aku tahu satu hal: aku tidak bisa melanjutkan perjalanan ini dengan membawa beban dendam.”
Ki Jayeng tersenyum tipis, lalu menepuk bahu Rangga. “Anjeun geus ngamimitian jalan anu bener. Tapi ieu barulah awal.”
Larasati, yang mendengarkan percakapan itu, hanya bisa terdiam. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada Rangga di tengah pusaran angin tadi, tetapi ia merasa bahwa pemuda di depannya bukan lagi Rangga yang sama seperti sebelumnya. Ada sesuatu yang berbeda—sesuatu yang lebih dalam.
“Ayo kita pergi,” Rangga berkata akhirnya, berdiri dengan susah payah. Ia menatap patung untuk terakhir kalinya sebelum membalikkan badan. “Musuh masih di depan kita, dan kita tidak bisa membiarkan mereka lolos.”
Mereka bertiga meninggalkan ruangan itu, melangkah kembali ke jalur sempit dengan hati-hati. Di belakang mereka, patung pendekar kembali menutup matanya, cahaya merahnya memudar hingga hilang sepenuhnya. Ruangan itu kembali sunyi, tetapi udara di dalamnya terasa lebih ringan, seolah-olah telah melepaskan beban yang selama ini dipikulnya.
tdk semua ngerti bahasa daerah lainnya