Dulu, nilai-nilai Chira sering berada di peringkat terakhir.
Namun, suatu hari, Chira berhasil menyapu bersih semua peringkat pertama.
Orang-orang berkata:
"Nilai Chira yang sekarang masih terlalu rendah untuk menunjukkan betapa hebatnya dia."
Dia adalah mesin pengerjaan soal tanpa perasaan.
Shen Zul, yang biasanya selalu mendominasi di Kota Lin, merasa sedikit frustrasi karena Chira pernah berkata:
"Kakak ini adalah gadis yang tidak akan pernah bisa kau kejar."
Di reuni sekolah beberapa waktu kemudian, seseorang yang nekat bertanya pada Shen Zul setelah mabuk:
"Ipan, apakah kau jatuh cinta pada Chira pada pandangan pertama, atau karena waktu yang membuatmu jatuh hati?"
Shen Zul hanya tersenyum tanpa menjawab. Namun, pikirannya tiba-tiba melayang ke momen pertama kali Chira membuatkan koktail untuknya. Di tengah dentuman musik yang memekakkan telinga, entah kenapa dia mengatakan sesuatu yang Chira tidak bisa dengar dengan jelas:
"Setelah minum minumanmu, aku milikmu."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pria Bernada, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ganti Baju, Ya
Chira tiba-tiba keinget, waktu pelajaran olahraga dulu ada latihan lari, kenapa dulu dia nggak serius ngejaga fisiknya sih?
Tapi sekarang, daripada nyesel, mending dia mikir gimana caranya buat kabur.
Andai aja lari cepat 100 meter bisa langsung bawa dia ke tempat rame, hari ini pasti jadi lari tercepatnya sepanjang hidup.
Tapi, sial banget, pas dia muter badan buat kabur, dia malah nabrak dada seseorang—keras banget.
Tabrakannya cukup kenceng sampai dia denger suara orang mendesah dari atas kepalanya.
Kayaknya sakit.
"Rara, lo ngapain sih? Lari kayak dikejar setan."
Suara cowok itu terdengar, bikin Chira otomatis ngangkat kepala. Hasilnya, keringet dari dahi cowok itu netes ke dahinya.
Chira: "..."
Shen Zul baru selesai main basket. Badannya penuh keringet. Pas mau ganti baju, baru ngeh kalau bajunya ketinggalan di kelas. Pas balik, dia denger suara langkah di tangga, jadi dia nyamperin. Eh, malah ngeliat pemandangan kayak gini.
Dia juga sempet ngelirik ke arah beberapa cewek di belakang Chira. Alisnya naik dikit. "Apaan nih? Diskusi kelompok?"
Chira akhirnya rada tenang sekarang. Setidaknya hari ini dia nggak perlu kabur lagi.
Cowok di depannya ini, seriusan kayak dewa malapetaka.
Malapetaka buat semua orang.
Beberapa cewek yang tadi ngeblok tangga langsung keliatan awkward. Siapa sangka, di momen kayak gini, masih ada yang lewat, dan parahnya itu Shen Zul.
Ekspresi muka mereka yang campur aduk keliatan jelas di mata Shen Zul, kayak orang ketahuan salah.
"Udah nggak ada yang mau ngomong?" Shen Zul nyeringai, terus naruh satu tangan di bahu Chira. "Nggak ada yang pernah bilang ke kalian kalau dia itu di bawah proteksi gue? Berani-beraninya ganggu dia?"
Chira: "..."
Keren banget, dia baru aja nambah daftar orang yang benci sama dia.
"Shen Zul, kita cuma..." Via berusaha ngomong sesuatu.
Sayangnya, belum sempet nemu kata yang pas, Shen Zul udah ngasih tatapan dingin.
"Pergi."
"Dan lo," pandangannya balik lagi ke cewek di depannya yang mukanya tetep nggak panik sama sekali. "Ikut gue."
Nada suaranya bener-bener nggak ngasih opsi.
Chira pun ngikutin Shen Zul.
"Rara, lo bego, ya?" Shen Zul ngomel sambil jalan. "Kenapa tadi nggak sebut nama gue aja buat nakut-nakutin mereka?"
Chira tetep flat. "Kalau bukan gara-gara lo, gue mana mungkin dihadang mereka."
Dia bukan tokoh utama drama cinta yang sering diganggu antagonis tanpa alasan, malah disembunyiin dari hero-nya, terus dihadang lagi.
Shen Zul cuma pasrah. "Makanya, gue bilang peluk erat-erat kaki gede ini."
Chira: "Hehe."
Shen Zul: "Baru aja lolos dari situasi bahaya, lo masih bisa 'hehe'? Lo beneran cewek?"
Chira: "Bukannya lo pernah bilang gue cewek jahat?"
Shen Zul: "Itu kan asal ngomong, kok lo inget sampai sekarang?"
Chira: "Lo ngomong asal aja gue inget, apalagi yang serius, kayak soal fungsi trigonometri yang lo tanya waktu itu."
Shen Zul: "… Gue nyerah."
Chira ngikutin Shen Zul sampai ke kelas. Dan pas banget di depan dia, Shen Zul buka bajunya, memperlihatkan badan kekar, terutama abs delapan kotaknya yang kelihatan jelas banget.
Chira tetep flat. "Lo ngapain?"
"Ganti baju lah, nggak keliatan gue basah kuyup?" Nada bicaranya kayak itu hal paling wajar di dunia.
Chira langsung balik badan. "Lain kali mau ganti baju, bisa nggak bilang dulu?"
"Oh." Jadi masih ada lain kali?
Chira baru sadar kalau dia salah ngomong. Akhirnya dia diem aja.
Sampai orang di belakangnya selesai ganti baju, dia masih berdiri sambil ngelamun, nggak sadar sama sekali.
“Halo.”
Suara itu tiba-tiba kedengeran di telinga Chira, napasnya yang hangat bikin geli dikit.
Refleks, Chira mundur sambil noleh.
Shen Zul udah ganti baju. Sekarang dia pakai kaos putih polos yang pas di badan, dipadukan sama celana pendek hitam panjangnya pas nutupin lutut. Rambut hitamnya basah kena keringet, tapi justru malah bikin dia kelihatan makin ganteng.
Ck.
Sialan, cowok ini ternyata bisa juga kelihatan kayak idola kampus kalau dandanan rapi gini.
Bener juga kata orang, "pakaian bikin orang."
"Ayo, gue anter lo keluar dari sini dengan aman," kata Shen Zul santai.
Chira cuma bengong, “….”
Shen Zul tadinya niat nganterin Chira sampai ke rumahnya, tapi tawarannya ditolak mentah-mentah. Nggak ada ruang buat negosiasi.
Shen Zul sih nggak ambil pusing. Toh, kalau dia mau ketemu Chira lagi, gampang. Tinggal datang ke Nighthade, tempat biasa Chira nongkrong.
Pas Chira sampai rumah, dia langsung ngeliat seorang cowok duduk di tangga depan pintu. Cowok itu pakai jas, tapi dasinya udah longgar, rambutnya berantakan. Dari penampilannya aja kelihatan dia udah lama nunggu.
Ngeliat Chira datang, cowok itu langsung berdiri. “Rara.”
“Hmm?”
Itu Nanda. Dia tahu anaknya males jawab telepon, jadi dia langsung datang.
“Kamu ikut kompetisi bartender?” akhirnya Chira buka mulut. Tapi pertanyaan pertama yang keluar malah itu.
Padahal, pertanyaan yang bener-bener dia mau tanyain: Sejak kapan gue punya anak nyentuh alkohol?
Sebagai ayah, Nanda bahkan nggak tahu kapan anaknya mulai belajar bikin minuman.
Sebagai ayah, dia ngerasa gagal.
“Bener.” Chira nggak menyangkal. Dia tahu Nanda pasti punya cara buat cari tahu. Apalagi, ibunya kerja jadi presenter berita, nggak aneh kalau keluarganya selalu up-to-date.
Tapi, sikap Chira yang tenang-tenang aja bikin Nanda makin ngerasa bersalah.
“Ayah nggak maksud ngatur hidup kamu, tapi kerjaan bartender itu nggak cocok buat kamu.”
Chira nyengir kecil, tapi senyumnya hambar banget. “Gue baik-baik aja kok.”
“Kamu nggak perlu kayak gini. Kamu punya banyak pilihan bagus, kenapa malah pilih ini?”
Semakin Nanda ngomong, kata-katanya makin dingin di telinga Chira.
“Kamu lupa ya, kalau nyokap gue dulu juga bartender?” Chira ngomong santai, tapi matanya tajam.
Nanda langsung diem. Kata-katanya kayak macet di tenggorokan.
Setelah beberapa lama, dia ngomong pelan, “Nyokap kamu berhenti kerja setelah nikah.”
“Dan lo tahu kenapa dia berhenti?” Chira senyum tipis, tapi tatapannya tajam. “Karena dia nemu orang yang bisa diandelin? Atau karena lo nganggep kerjaannya nggak terhormat?”
Nanda nggak bisa jawab. Semua fakta yang dia coba tutup-tutupin sekarang diungkap terang-terangan sama anaknya sendiri.
Dia ngerasa bersalah.
Ternyata, sikap dingin Chira ke dia udah dimulai dari lama.
Selama bertahun-tahun, Nanda nggak pernah bener-bener peduli sama hidup Chira. Sibuk ngurus keluarga baru, ditambah rasa bersalah di hatinya, bikin dia makin jauh.
“Ada lagi yang mau lo omongin?”
“Rara…”
“Lo tahu nggak,” Chira ngomong pelan, tapi setiap katanya tegas. “Gue bener-bener nggak suka lo datang ganggu hidup gue.”
“Tapi gue ayah lo.”
Chira ngeliatin dia sebentar, terus ngomong, “Tapi bahkan umur gue aja lo nggak inget.”
Percakapan terakhir mereka di WhatsApp berhenti pas Hari Valentine tahun ini. Waktu itu, Nanda kirim angpau elektronik sambil nulis: Selamat ulang tahun ke-18.
Padahal, karena kesalahan administrasi di akte kelahiran, tanggal lahir yang tercatat di KTP Chira lebih tua satu tahun dari umur sebenarnya.