Dalam novel Janji Cinta di Usia Muda, Aira, seorang gadis sederhana dengan impian besar, mendapati hidupnya berubah drastis saat dijodohkan dengan Raka, pewaris keluarga kaya yang ambisius dan dingin. Pada awalnya, Aira merasa hubungan ini adalah pengekangan, sementara Raka melihatnya sebagai sekadar kewajiban untuk memenuhi ambisi keluarganya. Namun, seiring berjalannya waktu, perlahan perasaan mereka berubah. Ketulusan hati Aira meluluhkan sikap keras Raka, sementara kehadiran Raka mulai memberikan rasa aman dalam hidup Aira.
Ending:
Di akhir cerita, Raka berhasil mengatasi ancaman yang membayangi mereka setelah pertarungan emosional yang menegangkan. Namun, ia menyadari bahwa satu-satunya cara untuk memberikan kebahagiaan sejati pada Aira adalah melepaskan semua kekayaan dan kuasa yang selama ini menjadi sumber konflik dalam hidupnya. Mereka memutuskan untuk hidup sederhana bersama, jauh dari ambisi dan dendam masa lalu, menemukan kebahagiaan dalam cinta yang tulus dan ketenangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjar Sidik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Momen Romantis
Ketenangan Sementara
Setelah malam yang mencekam di apartemen Bima, Arga dan Dira memutuskan untuk melarikan diri sementara ke tempat yang lebih tenang. Arga membawa Dira ke vila kecil di pinggir danau, tempat yang pernah ia kunjungi saat kecil bersama keluarganya. Udara di sana segar, jauh dari hiruk-pikuk kota, memberikan mereka ruang untuk bernapas.
Dira: (melihat danau yang tenang) "Tempat ini indah, Arga. Terlalu tenang untuk semua kekacauan yang kita alami."
Arga: (tersenyum tipis) "Aku pikir kita butuh tempat seperti ini. Sebuah pelarian, walaupun hanya sementara."
Dira duduk di dermaga kayu, membiarkan angin sejuk menyapu rambutnya. Arga bergabung di sampingnya, membawa dua cangkir teh hangat. Mereka duduk dalam keheningan, hanya ditemani suara riak air dan desiran angin.
Dira: (menatap cangkirnya) "Arga, apa kamu pernah merasa... takut akan masa depan?"
Arga: (menatapnya dengan lembut) "Setiap hari, Dira. Tapi aku belajar bahwa rasa takut tidak akan hilang, kecuali kita hadapi bersama."
Dira: (tersenyum tipis) "Aku tidak tahu bagaimana jadinya jika kamu tidak ada di sini."
Arga: (mengambil tangannya) "Dan aku tidak akan pernah pergi, Dira. Selama aku di sini, aku akan melindungimu."
---
Kenangan yang Membawa Dekat
Malam itu, mereka duduk di ruang tamu vila, berbagi cerita tentang masa lalu mereka.
Dira: "Waktu kecil, aku selalu ingin pergi ke tempat seperti ini. Tapi Ayah terlalu sibuk dengan pekerjaannya, dan aku jarang punya waktu untuk hal-hal sederhana seperti ini."
Arga: (tertawa kecil) "Aku malah sering diajak ke sini, tapi waktu itu aku merasa ini membosankan. Sekarang, aku justru ingin tinggal di tempat seperti ini selamanya."
Dira tertawa pelan, mengingat betapa berbedanya hidup mereka sebelum semua kekacauan ini dimulai.
Dira: "Kamu tahu? Aku selalu berpikir hidupku sudah sempurna. Tapi ternyata... semua itu ilusi."
Arga: (menatapnya serius) "Hidupmu sempurna karena kamu kuat, Dira. Bukan karena situasinya, tapi karena kamu selalu menemukan cara untuk bangkit."
Dira: (tersipu) "Kamu terlalu memujiku, Arga."
Arga: "Aku hanya mengatakan yang sebenarnya."
---
Malam di Bawah Bintang
Setelah makan malam sederhana, Arga mengajak Dira keluar untuk melihat bintang. Mereka berjalan ke tepi danau, membawa selimut kecil untuk duduk di atas rumput. Langit malam cerah, dihiasi bintang-bintang yang bersinar terang.
Arga: "Lihat itu, Dira. Bintang-bintang itu... seperti memberi tahu kita bahwa meskipun gelap, masih ada cahaya di luar sana."
Dira: (menatap bintang) "Mereka indah. Tapi aku rasa, keindahannya lebih terasa karena aku tidak sendirian melihatnya."
Arga menoleh padanya, matanya bersinar lembut dalam kegelapan.
Arga: "Aku harap, suatu hari nanti, kamu tidak perlu lagi merasa takut atau sendirian, Dira."
Dira: (menatap balik, suaranya lembut) "Selama ada kamu, aku tidak pernah merasa sendirian, Arga."
Arga mendekat, mengambil tangannya dengan perlahan. Jantung Dira berdegup kencang, tetapi ia tidak menolak. Mereka saling menatap, dan untuk pertama kalinya, Dira merasakan ketenangan di tengah badai yang melanda hidupnya.
Arga: (berbisik) "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi satu hal yang pasti... aku mencintaimu, Dira."
Air mata menggenang di mata Dira, tapi ia tersenyum.
Dira: (berbisik) "Aku juga mencintaimu, Arga."
Perlahan, Arga mendekatkan wajahnya, dan dalam keheningan malam, mereka berbagi ciuman pertama mereka di bawah langit yang penuh bintang.
---
Ancaman yang Mengintai
Namun, kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Saat mereka kembali ke vila, Arga melihat sebuah pesan yang masuk di ponselnya. Pesan itu dari nomor tak dikenal, tetapi isinya membuat darahnya membeku.
> "Nikmati malam terakhir kalian bersama. Waktu kalian hampir habis."
Arga menatap layar ponselnya dengan tegang, rahangnya mengeras.
Dira: (melihat ekspresinya) "Ada apa, Arga?"
Arga menunjukkan pesan itu pada Dira, dan wajah gadis itu langsung pucat.
Dira: "Dia menemukan kita...?"
Arga: (menggenggam tangannya erat) "Jangan panik. Kita akan hadapi ini bersama."
Mereka segera menghubungi Rendi, yang memberikan arahan untuk meninggalkan vila secepat mungkin.
Rendi: (di telepon) "Arga, kalian harus pergi sekarang. Aku akan coba mengalihkan perhatian Bima, tapi kalian tidak bisa tinggal di sana lebih lama."
Arga: "Kami akan segera pergi. Jaga dirimu, Ren."
Malam yang tadinya penuh keindahan berubah menjadi ajang pelarian. Arga dan Dira mengemas barang-barang mereka dengan cepat, bersiap meninggalkan tempat itu.
---
Saat mereka keluar dari vila, Dira mendengar suara mesin mobil mendekat. Ia menoleh dan melihat dua mobil hitam berhenti di ujung jalan.
Dira: (panik) "Arga, mereka di sini!"
Arga: "Cepat, masuk ke mobil!"
Mereka bergegas masuk ke mobil Arga dan melaju secepat mungkin, mencoba melarikan diri dari kejaran mobil-mobil itu. Namun, pengejaran semakin intens, membuat ketegangan semakin memuncak.
Di tengah kejaran, sebuah suara dari ponsel Arga berbunyi. Itu panggilan video dari nomor tak dikenal. Dengan ragu, Arga menjawab panggilan itu. Wajah Bima muncul di layar, senyumnya penuh ancaman.
Bima: "Kalian bisa lari, tapi kalian tidak bisa bersembunyi. Ini hanya permulaan."
Panggilan itu berakhir, meninggalkan Arga dan Dira dalam ketegangan yang mendalam. Di depan mereka, jalanan semakin gelap, dan suara mobil pengejar semakin mendekat.
Dira: (berbisik) "Apa kita akan selamat, Arga?"
Arga: (menggenggam setir dengan erat) "Selama aku masih bernapas, aku tidak akan biarkan dia menyentuhmu, Dira."