Aditya, seorang gamer top dalam Astaroth Online, mendadak terbangun sebagai Spectra—karakter prajurit bayangan yang ia mainkan selama ini. Terjebak dalam dunia game yang kini menjadi nyata, ia harus beradaptasi dengan kekuatan dan tantangan yang sebelumnya hanya ia kenal secara digital. Bersama pedang legendaris dan kemampuan magisnya, Aditya memulai petualangan berbahaya untuk mencari jawaban dan menemukan jalan pulang, sambil mengungkap misteri besar yang tersembunyi di balik dunia Astaroth Online.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LauraEll, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 2 : Perjalanan menuju kota
Kereta kuda bergoyang perlahan di jalan berbatu, membawa Spectra, Putri Endrina, dan pelayannya, Gracia, menuju kota Eldenris. Suasana sunyi dipecahkan oleh suara Putri Endrina yang memperkenalkan diri.
"Perkenalkan, aku Endrina van Millie, putri pertama Count Emiris," ucapnya dengan lembut. "Dan ini Gracia, pelayanku yang setia."
Spectra menatap Gracia sekilas, memperhatikan sikapnya yang tenang dan sopan.
(Hoo, jadi dia punya pelayan yang selalu menemani, ya) gumamnya dalam hati, sedikit terkesan.
Endrina tersenyum lembut ke arahnya. "Sekali lagi, terima kasih atas bantuan Tuan telah menyelamatkan kami dari serangan goblin tadi."
Spectra mengangguk sambil menyandarkan tubuhnya di kursi kereta yang nyaman. "Tidak masalah. Aku pun beruntung bisa ikut menumpang di keretamu menuju kota."
Mendengar jawaban santai itu, Endrina menatapnya penuh rasa ingin tahu. "Kalau boleh tahu, Nama, dari mana asalmu?"
Pertanyaan itu membuat Spectra tersentak. Sebagai seseorang yang berasal dari dunia lain, ia tidak memiliki jawaban yang jelas. Matanya berkedip gugup, tapi ia berusaha tetap tenang.
"Aku minta maaf kalau pertanyaanku mengganggumu," kata Endrina, tampak menyesal.
Spectra menggeleng pelan dan tersenyum. "Tidak, tidak apa. Kau bisa panggil aku Spectra. Aku hanya seorang pengelana dari wilayah timur, cukup jauh dari sini."
Endrina dan Gracia bertukar pandang. Meskipun Spectra menyembunyikan asal-usulnya dengan jawaban samar, Endrina tampak menerima jawabannya dengan senyuman manis. "Baiklah, Tuan Spectra. Jika kau butuh bantuan di Eldenris, jangan ragu untuk mencari kami. Rumahku ada di tengah kota, kau bisa menemukannya dengan mudah."
"Terima kasih," balas Spectra singkat, berusaha tidak terlalu banyak bicara. Ada banyak hal yang membuatnya penasaran—seperti alasan kenapa mereka bisa diserang goblin tadi. Namun, dia memilih untuk menyimpan rasa ingin tahunya.
Setelah beberapa lama, pemandangan tembok besar Eldenris terlihat di kejauhan.
"Lihat, kita sudah hampir sampai!" seru Endrina penuh kegembiraan. Spectra menatap keluar jendela, terkesima oleh pemandangan kota besar dengan bangunan megah dan menara tinggi yang menjulang.
"Wow, kota yang besar dan indah…" gumam Spectra, kagum.
Endrina tertawa kecil mendengar kekaguman Spectra. "Kota ini adalah kebanggaan ayahku. Beliau berusaha keras agar Eldenris makmur dan menjadi tempat yang aman bagi semua orang."
"Ayahmu orang yang hebat," puji Spectra. Endrina tampak tersipu mendengar itu.
Setelah melalui pemeriksaan di gerbang, kereta kuda memasuki kota. Saat Spectra bersiap untuk turun, Endrina tampak terkejut.
"Tuan Spectra, tidak ingin mampir ke rumahku dulu?"
Spectra menggeleng. "Aku punya urusan yang harus ku urus dulu. Tapi, setelah semuanya selesai, aku akan mampir."
Endrina tampak kecewa, tetapi dia tersenyum dan mengangguk. Sebelum Spectra turun, ia melepas sebuah cincin berkilauan dari jarinya dan menyerahkannya pada Spectra.
"Ambillah. Kalau kau datang berkunjung, kembalikan cincin ini padaku, ya," katanya dengan senyum manis.
Spectra tersenyum dan mengambil cincinnya. "Baiklah. Sampai bertemu lagi, Putri Endrina."
Kereta bergerak meninggalkan Spectra yang kini berdiri di tengah kota. Ia menatap sekeliling, takjub dengan hiruk-pikuk Eldenris—anak-anak bermain, para pedagang menjajakan dagangan, dan orang-orang yang lalu-lalang sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
(Luar biasa… kota ini begitu hidup) pikir Spectra, kagum. Perutnya tiba-tiba berbunyi kencang, mengingatkan bahwa ia belum makan sejak tadii.
"Aku butuh makanan. Ayo cari kedai," gumamnya.
Ia menemukan sebuah kedai kecil di pinggir jalan. Aroma masakan lezat tercium sampai ke luar. Tanpa berpikir panjang, Spectra masuk dan memesan beberapa hidangan. Saat makanan disajikan, dia segera melahapnya.
"Ah, ini enak sekali!" serunya puas setelah menyantap makanan terakhir.
Namun, tiba-tiba dia tersadar akan satu hal penting.
"Sial, aku tidak punya uang!"
Panik, Spectra mengingat cincin yang diberikan Endrina. (Apa aku harus menjual cincin ini? Tidak mungkin… ini pemberian dari seorang putri!) pikirnya, kebingungan.
"Oh iya aku ingat, saat bertarung dengan wyvern aku bisa membuka menu"
"Bagaimana cara membukanya lagi ya?!"
Saat itulah dia melihat sebuah titik kecil di sudut penglihatannya. Dia memicingkan mata, mencoba melihat lebih jelas.
"Itu dia.... Tombol menu!" pikirnya terkejut.
Ingin memastikan, Spectra mencoba berteriak, "Open menu!"
Benar saja, sebuah layar dengan menu antarmuka terbuka di hadapannya. Rasa lega langsung mengalir. Dengan cepat ia mengakses inventory-nya dan menemukan sejumlah koin emas yang pernah ia kumpulkan dalam permainan.
(Syukurlah, uangku masih ada!) pikirnya, merasa seperti orang paling beruntung. Dia mengeluarkan beberapa koin dan membayar tagihan makanan.
Setelah makan, Spectra memutuskan untuk berjalan-jalan melihat kota. Eldenris benar-benar kota yang berbeda dari yang ia kenal di dunia nyata. Sementara berjalan, ia menemukan sebuah pohon besar yang rindang di taman. Spectra duduk di bawahnya, menikmati angin yang sejuk. Tak lama kemudian, rasa kantuk menyerangnya, dan ia tertidur.
Di istana keluarga Emiris, Putri Endrina disambut hangat oleh ayah dan ibunya.
"Putriku! Lama sekali ayah tidak melihatmu. Ayah sudah sangat merindukanmu!" kata Count Emiris dengan wajah penuh kebahagiaan.
Endrina tersenyum dan memeluk ayahnya. Namun, Count Emiris tiba-tiba menyadari bekas-bekas kerusakan di kereta mereka dan bertanya dengan nada cemas, "Apa yang terjadi dengan keretamu? Siapa yang menyerang kalian? Apa kau terluka?"
Endrina menenangkan ayahnya dengan lembut. "Ayah, aku baik-baik saja. Aku akan menceritakan semuanya, tapi bagaimana kalau kita bicara di dalam sambil menikmati teh?"
Count Emiris mengangguk dan segera mengajak putri kesayangannya masuk ke dalam.
Kembali ke taman, Spectra terbangun oleh suara kasar yang membangunkannya.
"Heh, tidur enak ya di sini, dasar pengganggu!" kata seorang pria dengan kasar.
Spectra membuka mata, melihat tiga orang berpenampilan kasar berdiri di hadapannya. Mereka menatapnya dengan wajah sinis.
"Tersesat ya, anak manis? Ini tempat kami, jadi enyahlah!" bentak salah satu dari mereka.
Spectra memicingkan matanya, menatap tajam orang-orang itu. Rasa kesal membuncah di dadanya.
"Apa kau mau mati?" jawabnya dingin, berdiri dengan tangan masih di gagang pedangnya.
Ketiga pria itu tampak sedikit terkejut melihat tatapan tajam Spectra, tapi salah satu dari mereka tertawa kecil, tampak tidak gentar. "Oh, sok jagoan rupanya. Kalau begitu, mari kita lihat seberapa kuat kau sebenarnya!"
Spectra menyeringai, merasa bahwa ini akan menjadi pertarungan yang menarik.