Setelah kepergian istrinya, Hanan Ramahendra menjadi pribadi yang tertutup dan dingin. Hidupnya hanya tentang dirinya dan putrinya. Hingga suatu ketika terusik dengan keberadaan seorang Naima Nahla, pribadi yang begitu sederhana, mampu menggetarkan hatinya hingga kembali terucap kata cinta.
"Berapa uang yang harus aku bayar untuk mengganti waktumu?" Hanan Ramahendra.
"Maaf, ini bukan soal uang, tapi bentuk tanggung jawab, saya tidak bisa." Naima Nahla
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
"Kamu pasti lelah, istirahat saja lebih dulu," ucap pria itu memberikan ruang untuk istrinya. Di rumah Hanan masih lumayan ramai, walaupun acaranya dilakukan digedung. Namun, sebagian kerabat dekat mampir ke rumah bahkan menginap.
"Iya Mas," jawab Nahla tidak lekas beranjak. Tidak enak meninggalkan begitu saja sementara keluarga besar masih berkumpul di ruang keluarga. Takut dikira tidak sopan, walau hanya menanggapi dengan senyuman tetap stay demi menghargai suaminya.
"Ma, mau bobok," rengek Icha yang sepertinya sudah capek dan mengantuk. Gadis kecil itu seharian tak membersamainya, jadi sedikit kangen minta perhatian mamanya.
"Ayo mama antar," jawab perempuan itu pamit lebih dulu.
Menuju kamar Icha, menemaninya bersih diri dulu di kamar mandi lalu mengantar ke ranjang. Nahla mengambil cuti dua hari jadi lebih tenang. Bisa lebih santai walau harus tidur malam.
Tak harus menunggu lama gadis itu sudah terlelap. Nahla yang sejatinya berniat untuk pindah pun malah ketiduran di kamar Icha. Perempuan itu terjaga di pagi hari dan baru menyadari itu. Tumben sekali Mas Hanan tidak menyusulnya, atau menyusul tetapi mungkin tidak membangunkannya.
Nahla turun dari ranjang, berniat kembali ke kamar. Suasana masih terlalu pagi bahkan kumandang subuh baru saja terdengar. Hanan masih tertidur saat Nahla masuk ke kamarnya. Perempuan itu lebih dulu ke kamar mandi, baru mendekati ranjang.
"Mas, sudah subuh, bangun," seru perempuan itu mengguncang bahunya pelan. Tak ada respon, mungkin suaminya kecapean sampai lelap tidurnya. Tidak biasanya seperti itu, Hanan selalu bangun pagi di awal waktu.
"Kamu sudah bangun? Aku mandi dulu," ujar Hanan masih begitu rapat dan lelah.
"Iya Mas, aku tunggu saja," jawabnya sembari menunggu suaminya untuk memimpin jamaah.
Usai menunaikan sholat subuh, Hanan kembali merebah, sementara Nahla menuju belakang. Lebih dulu mengemas pakaian kotor untuk dibawa ke ruang laundry.
"Pagi Na, pengantin baru rajin amat," sapa Ajeng kakak sang kakak ipar.
"Eh, Mbak Ajeng, iya Mbak, mau minum apa biar kubuatkan sekalian."
"Aku teh aja, tapi nanti bikin sendiri saja, sekalian mau niatin buat Mas Abi," ukar Ajeng ikut sibuk di dapur.
Keduanya nampak akrab saling berbagi obrolan sambil ngeteh.
"Hanan belum bangun ya, kita rencananya mau pulang siang ini," kata perempuan itu sembari nyemil kue sisa hajatan.
"Kenapa buru-buru Mbak, nginep lagi aja, Icha seneng ramai rumahnya."
"Kapan-kapan main lagi, itu Mas Abi yang udah riweh minta pulang."
"Pengennya sih entaran juga, tapi pekerjaan aku tidak bisa ditinggal lama-lama," sahut Pak Abi sembari menyeruput kopinya.
Nahla sendiri hanya mengangguk maklum. Tersenyum senang melihat keharmonisan keluarga kakak iparnya. Terlihat Mas Abi begitu menyayangi Mbak Ajeng. Walaupun sudah tak terlihat muda, mereka terlihat masih begitu hangat.
"Sarapan dulu Mbak," ujar Nahla menyiapkan menu di meja. Masih banyak makanan sisa syukuran kemarin, jadi hanya memanasi saja. Dibantu Mbak Ajeng, Nahla sibuk di dapur.
"Mbak, aku bangun Mas Hanan dulu ya," pamit Nahla kembali ke kamar. Saat perempuan itu masuk, kebetulan Hanan hendak keluar.
"Eh, Mas, ayo sarapan, sudah ditunggu Mbak Ajeng," kata perempuan itu menginterupsi suaminya.
"Iya," jawab Hanan berjalan beriringan. Disusul Icha yang nampak baru bangun tidur dari kamar sebelah. Gadis kecil itu langsung bergabung di meja makan.
Nampak suasana hangat begitu terasa. Masing-masing makan dengan khusuk. Pasangan pengantin baru itu juga mengantar kakak iparnya pulang sampai depan teras.
"Pulang dulu ya, baik-baik kalian. Titip Hanan dan Icha, Na," ucap Ajeng pamit.
"Iya Mbak, hati-hati di jalan," ucap Nahla mengiringi kepulangan mereka. Hanya berdua saja, karena putri mereka tidak menginap, langsung pulang sore itu juga mengingat paginya harus masuk kuliah.
"Ayo masuk!" ajak Hanan merangkum pundak istrinya. Berjalan bersama dengan senyuman.
"Sepi ya, alhamdulillah acaranya berjalan lancar," ucap Nahla sembari mengemas gelas kotor di ruang keluarga.
"Iya," jawab Hanan juga merasa lega. Satu progres yang cukup menyita waktunya akhirnya usai juga. Hanya perlu menjalaninya berdua dan bersiap mengarungi lembaran demi lembaran baru.
"Dek, kapan kira-kira punya waktu libur lagi?" tanya Hanan menghampiri.
"Awal puasa mungkin Mas, biasanya cuti bersama. Kenapa?"
"Pengen ngajak ke mana ya, kamu pengen bulan madu ke mana? Barang kali setelah menikah punya impian."
"Nggak tahu Mas, belum kepikiran, terserah kamu saja."
"Mungkin nanti ya, bingung juga Icha sendirian. Kamu nggak pa-pa kan?"
"Iya Mas nggak pa-pa, di rumah saja juga nyaman," jawab Nahla tidak terlalu memikirkan itu. Ia tipe perempuan yang tidak neko-neko dan apa adanya. Tidak pula menuntut apa pun harus seperti apa ataupun bulan madu setelah menikah. Terlebih memang kasihan kalau harus meninggalkan putri mereka sendirian.
"Makasih Dek," ucap pria itu merasa bersyukur. Istrinya ternyata sangat penurut dan begitu penyayang. Terlebih dengan Icha, menerimanya seperti anak kandung sendiri.
"Maaf, semalam aku ketiduran, kenapa nggak bangunin saja."
"Niatnya gitu, tapi aku juga ketiduran. Capek banget, maaf ya," ucap Hanan yang harus terpaksa tidur terpisah di malam pengantin mereka.
Tidak begitu spesial, walau malam resepsi besar mereka. Keduanya yang bahkan sudah melewati lebih dulu menganggap hari-hari berikutnya biasa saja. Walau tetap meresa istimewa karena ditemani pasangan tercinta tentunya.
Ngomong-ngomong masalah cinta, Nahla kadang juga sedikit membutuhkan pengakuannya. Walaupun sikapnya hangat, tak jarang pria itu tiba-tiba sedikit aneh dan kadang membuat Nahla bingung. Kendati demikian, Nahla terus mencoba beradaptasi dengan status barunya, dan mencoba memahami hati pasangannya.
Semua berjalan seperti biasanya. Pagi hari Nahla kembali sibuk mengajar sementara Hanan berangkat ke kantor. Icha tentu saja bersekolah seperti biasa. Gadis kecil itu nampak semakin akrab dengan ibu sambungnya.
"Besok aku bawa motor sendiri saja Mas, biar tidak repot bolak balik, Mas bisa langsung berangkat setelah nganter Icha," ujar Nahla mencari alternatif yang pas. Ditambah waktu pulang Nahla yang lebih awal, sudah barang tentu sedikit repot harus menunggu taksi atau ojol lebih dulu. Bawa motor sendiri lebih praktis dan lebih hemat.
"Apa nggak pa-pa, terserah kamu saja Dek," ujar Hanan memberi kebebasan. Ia tidak masalah bolak balik mengantar, hanya saja memang tidak bisa menjemput karena waktu pulang mereka yang bersebrangan waktu.
"Aku turun ya," pamit Nahla seperti biasa menyalim takzim suaminya.
"Iya," jawab Hanan tersenyum. Hanya itu, tak ada ucapan manis lainnya yang beberapa minggu selalu didengungkan. Bahkan, tak ada kecupan sayang di kening yang tertinggal.
"Ah, aku kenapa sih, kenapa jadi lebay begini," gumam Nahla berharap lebih.