NovelToon NovelToon
Bukan Sistem Biasa

Bukan Sistem Biasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Kultivasi Modern / Dikelilingi wanita cantik / Bercocok tanam / Sistem
Popularitas:4.5k
Nilai: 5
Nama Author: Sarif Hidayat

Beberapa bulan setelah ditinggalkan kedua orang tuanya, Rama harus menopang hidup di atas gubuk reot warisan, sambil terus dihantui utang yang ditinggalkan. Ia seorang yatim piatu yang bekerja keras, tetapi itu tidak berarti apa-apa bagi dunia yang kejam.
​Puncaknya datang saat Kohar, rentenir paling bengis di kampung, menagih utang dengan bunga mencekik. Dalam satu malam yang brutal, Rama kehilangan segalanya: rumahnya dibakar, tanah peninggalan orang tuanya direbut, dan pengkhianatan dingin Pamannya sendiri menjadi pukulan terakhir.
​Rama bukan hanya dipukuli hingga berdarah. Ia dihancurkan hingga ke titik terendah. Kehampaan dan dendam membakar jiwanya. Ia memutuskan untuk menyerah pada hidup.
​Namun, tepat di ambang keputusasaan, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
​[PEMBERITAHUAN BUKAN SISTEM BIASA AKTIF UNTUK MEMBERIKAN BANTUAN KEPADA TUAN YANG SEDANG PUTUS ASA!
APAKAH ANDA INGIN MENERIMANYA? YA, ATAU TIDAK.
​Suara mekanis itu menawarkan kesepakatan mutlak: kekuatan, uang,

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 5 Codet Dari Genk Abrag

Suara yang berat dan mengancam itu menggelegar di tengah taman. "Aku baru saja mendengar, salah satu anak buahku ditampar di tempat umum. Aku ingin melihat, siapa orang yang begitu berani menantangku!"

Bos Codet berhenti, membiarkan ancamannya menggantung di udara. Tatapannya yang tajam menyapu setiap orang yang ada di sana, berhenti sejenak pada Pratama dan yang lainnya.

​Pratama dan kelompoknya hanya berdiri tegak, membalas tatapan itu dengan wajah datar, kosong, dan sedikit memandang rendah, seolah kehadiran Codet dan pasukannya adalah gangguan yang membosankan.

​"Agus... Coba katakan padaku, siapa yang memukulmu?" tanya Codet, suaranya sedikit melunak kepada anak buahnya.

​Mata Agus langsung berbinar penuh kemenangan dan harapan ketika melihat tiga puluh pria kekar yang dibawa oleh Codet. Kesempatan emas untuk membalas penghinaan tamparan itu kini ada di depan mata. Ia sempat menoleh sekilas ke arah Rama, sorot mata penuh dendam jelas tak bisa ia sembunyikan dari pemuda itu.

​"Bo-Bos," Agus menunjuk Pratama dengan jari gemetar, tetapi nadanya berubah tegas. "Dia, dialah orangnya yang baru saja menamparku tanpa alasan." Ia segera memanfaatkan momen tersebut, berusaha menyeret Rama. "Dan... dan jangan lepaskan juga dia. Sebelumnya, aku ingin mengajaknya berkelahi, tetapi justru pria ini datang dan langsung menampar."

​Agus jelas memanfaatkan kedatangan Codet. Ia mengabaikan seluruh kebenaran dari masalah itu, memilih narasi yang paling menguntungkan dirinya.

​Penonton yang sebelumnya berani mengintip dari kejauhan, kini seketika membubarkan diri, panik sejak Codet dan ketiga puluh anak buahnya tiba. Mereka tidak ingin terseret dalam masalah yang jelas-jelas akan berakhir dengan kekerasan.

​Codet mengikuti arah tunjuk Agus, matanya menyipit saat melihat Rama. "Ckckc... Hanya bocah ingusan, sampai membuatmu harus dipermalukan di tempat umum seperti ini," decaknya menghina. Pandangannya kemudian beralih pada Pratama.

​Tepat ketika tatapan mereka bertemu, Codet merasakan sesuatu yang aneh. Tatapan Pratama terasa dingin, menusuk langsung ke ulu hatinya, bukan tatapan gentar seperti yang biasa ia terima. Hal itu membuatnya sedikit terusik.

​Codet cepat-cepat mengalihkan pandangan ke arah Anindia yang sedang memeluk putrinya, lalu beralih pada Amelia. Garis keserakahan yang tak tahu malu langsung terlihat jelas di wajahnya saat melihat gadis itu. Namun, pandangan terakhirnya jatuh pada Bagaskara, pria tua yang bersandar pada tongkat hitamnya.

​Dalam sekejap, Codet membeku. Detik berikutnya, seluruh tubuhnya mulai bergetar tak terkendali.

​"Hm. Menarik..." Bagaskara, yang sedari tadi berdiri diam dan tenang, akhirnya angkat bicara ketika pandangan Codet tertuju padanya. "Aku tidak berharap di desa ini ternyata ada sekelompok orang seperti kalian."

​"Bos! Bisakah kita mulai saja memukuli mereka?" Bogel, yang tidak sabaran, melangkah maju. Ia meretakkan buku-buku jarinya dengan bunyi krak yang keras, menampilkan sikap siap memukul.

​Bogel dan bawahan Codet lainnya tidak menyadari sedikit pun perubahan yang terjadi pada tubuh bos mereka.

​Tiba-tiba, suara keras memecah ketegangan.

​Bruk!

​Codet telah jatuh. Kedua lututnya menghantam tanah taman. Wajahnya yang tegang seketika dipenuhi butiran keringat dingin.

​"Tu-Tuan Bagas... Anda...?" Codet merasa tenggorokannya tercekat, menatap wajah pria itu dengan ketakutan yang mendalam. Ia berlutut tanpa perintah, keringat dingin membanjiri wajahnya.

​[Flashback beberapa hari lalu]

​Di sebuah ruangan luas di dalam gedung tinggi, Codet dan para petinggi GENK ABRAG sedang mengadakan pertemuan.

​"Tuan-tuan sekalian," Pria paruh baya yang merupakan petinggi tertinggi memulai, nadanya serius. "Alasan saya mengadakan pertemuan malam ini adalah untuk membicarakan soal bisnis kita, dan rencana untuk memperluasnya dengan membuat beberapa bangunan lagi di desa-desa." Ia menyandarkan tubuh. "Selain tempatnya akan lebih tersembunyi, operasi di desa juga akan menghindari kemungkinan besar terdeteksi oleh Tim Penyelidik Gabungan dari Naga Emas."

​"Dan pengingat bagi semuanya," tambahnya, matanya menyapu ruangan. "Untuk sementara waktu ini, kita akan beroperasi di desa-desa terpencil itu. Aku juga sudah mendapatkan kabar bahwa Bagaskara, pemimpin dari tim Naga Emas itu, sudah turun tangan menyelidiki kemungkinan kota ini."

​"Sudah terlalu banyak pembunuhan tanpa bukti yang kita lakukan. Selama persiapan kita belum cukup untuk berurusan dengan negara, kita harus lebih berhati-hati lagi dalam menjalankan pekerjaan kita. Paling tidak... untuk sementara waktu, sampai tim penyelidik dari Naga Emas itu kembali ke markas mereka." Pria itu menjelaskan panjang lebar, tanpa basa-basi yang membuang waktu.

​Setelah itu, dia mengirim sebuah email berisi data-data tentang beberapa orang dari tim penyelidik Naga Emas, termasuk Bagaskara sang pemimpin, kepada semua orang yang hadir, termasuk Codet.

​[Flashback selesai]

​Semua orang terkejut melihat apa yang dilakukan Codet. Baru saja pria itu berkata lantang, penuh keberanian, seolah tak terkalahkan. Namun, kini, ia secara mengejutkan berlutut di depan pria tua itu, tubuhnya gemetar hebat.

​"Tu-Tuan Bagas... Anda? Maafkan atas kelancangan saya. Sa-saya... Sungguh, saya tidak tahu jika Anda ada di desa ini. Dan... dan apa yang saya katakan barusan... Saya Codet, benar-benar meminta maaf."

​Memori pertemuan itu masih bergaung di benak Codet. Penyelidik dari Naga Emas ada di kota. Namun, yang membuat Codet bingung setengah mati adalah: Bagaimana Bagaskara, sang pemimpin Naga Emas, bisa ada di desa terpencil ini?

​Ditambah lagi, Bagaskara adalah seorang Ahli Bela Diri tingkat Master. Codet tahu, jika ia tidak segera meminta maaf atas kebodohannya barusan, nasibnya akan buruk. Kekuasaan dan kemampuan bela diri pak tua itu adalah jaminan kengerian.

​"Bo-Bos... Ap-apa yang Anda lakukan?" tanya Agus kebingungan, suaranya sedikit pecah. Kebingungan yang sama juga meliputi bawahan lainnya, bahkan Rama dan keluarga Pratama sendiri. Mereka sama-sama terkejut melihat perubahan sikap drastis dari pria yang baru saja datang dengan angkuh itu.

​Bagaskara menyipitkan matanya. Dia tidak mengenali pria yang berlutut itu, tetapi jelas mereka adalah sekumpulan pembuat onar yang sering disebut preman jalanan atau anggota geng di kota besar.

​"Hm, kau mengenaliku?" tanya Bagaskara, nadanya datar namun dingin, sembari memicingkan mata.

​Codet terdiam. Ia menunduk dalam-dalam, tak berani menatap wajah pak tua itu. "Sa-saya kebetulan sering pergi ke kota, Tuan. Dan saya sering kali mendengar nama Anda diperbincangkan sebagai seorang pahlawan di belakang layar yang membuka banyak kasus kejahatan besar. Sa-saya sungguh meminta maaf karena telah berani bersikap lancang di depan Anda."

​Penjelasan Codet membuat para bawahannya terdiam, tak bereaksi. Mereka tidak mengenali siapa pak tua itu, tetapi jika Bos mereka—pria yang paling ditakuti—sampai berlutut ketakutan, status pria tua itu pastilah luar biasa.

​Seketika, tatapan ketiga puluh bawahan Codet beralih, tertuju tajam pada Agus. Jelas sudah, pemuda bodoh itu telah salah menyinggung seseorang yang luar biasa.

​"Kamu cukup pintar juga," ucap Bagaskara, tanpa senyum. "Keberanian macam apa yang kamu miliki hingga tiba-tiba datang membawa begitu banyak orang kemari? Karena bocah itu ditampar oleh putraku? Apa kamu tahu apa yang telah dia lakukan pada cucu perempuanku ini?"

​Nada datar Bagaskara berlanjut, penuh penghakiman. "Aku sudah terbiasa bertemu dengan orang-orang sepertimu. Bertindak tanpa aturan, tak pernah mau tahu siapa salah siapa yang benar. Seharusnya kalian adalah sekumpulan manusia bodoh yang pantas disebut sampah masyarakat. Cepat bawa pergi semua orangmu dari hadapanku. Jika kamu memiliki banyak orang mengikutimu, alangkah baiknya kamu mengajari mereka berjalan di jalan yang baik, bukan untuk melakukan keresahan bagi masyarakat."

​Codet perlahan mendongakkan kepalanya sedikit. "Ba-baik, Tuan. Terima kasih atas kebaikan Anda. Sa-saya berjanji kejadian seperti ini tidak akan terulang lagi. Dan bocah itu...?" Codet menoleh ke arah Agus, yang hanya berdiri terpaku seperti patung, bodoh tanpa kata.

​"Saya akan mendidiknya dengan baik," janji Codet.

​Tidak ada respons dari pak tua itu. Tatapannya tetap dingin, tanpa ekspresi, seperti dinding yang kokoh. Hal itu membuat Codet segera bangkit dan buru-buru memberi isyarat kepada para bawahannya untuk pergi.

​"Bawa si bodoh itu!" bentaknya pada Bogel, menunjuk Agus.

​Agus hanya diam terpaku, apa yang terjadi benar-benar di luar perkiraannya. Ia tidak tahu nasib apa yang menantinya setelah ini. Yang jelas, ia telah menyinggung orang yang salah, membuat Bos Codet berlutut bahkan sebelum orang tua itu bergerak.

​Setelah mereka semua pergi, Bagaskara menoleh pada bawahan setianya dan berujar singkat. "Selidiki semua tentang mereka."

​"Siap, Jenderal," jawab pria itu tegas, lalu pergi dari sana.

​Bagaskara beralih pada putranya. "Pratama, kamu bawa istri dan anak-anakmu kembali ke kota sekarang."

​"Siap, Ayah," jawab Pratama.

​Bagaskara kemudian menoleh pada Rama yang sedari tadi diam, tenggelam dalam pikirannya, penuh pertanyaan tentang sosok pria tua itu. "Anak muda, anggap saja kejadian tadi sebagai pelajaran untukmu. Jangan menjadi sosok pemuda pembuat onar yang tak punya aturan. Jadilah pemuda yang baik dan berguna bagi sesama. Menolong jika memang mampu, jangan membuat kejahatan jika memiliki kemampuan."

​"Terima kasih atas nasihat Tuan," ujar Rama tulus. Satu hal yang bisa ia pastikan, ia telah bertemu dengan orang kota yang memiliki kedudukan besar. "Kalau begitu, saya izin pamit."

​"Tunggu sebentar, Nak Rama..." Anindia segera maju, tersenyum hangat. "Ini ada sedikit uang, hanya sekadar ungkapan terima kasih karena kamu telah membantu menemukan anak Tante. Mohon kamu terima, ya..." Ia menyodorkan beberapa lembar uang kertas berwarna merah.

​"Tidak usah, Tante. Saya..." Belum sempat Rama menyelesaikan ucapan penolakannya, Pratama memotong.

​"Terima saja, anak muda. Menolong dengan ikhlas itu memang baik, tetapi menolak rezeki adalah tindakan yang kurang tepat."

​Rama tidak punya pilihan lain selain menerima uang itu. Hari sudah gelap dan ia harus segera pulang. "Kalau begitu, terima kasih," katanya sambil membungkuk sopan.

​Rama berpamitan kembali pada mereka. Sebelum benar-benar pergi, ia sempat melirik ke arah Amelia. Gadis itu tampak tersenyum malu sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya dengan lembut. Rama balas tersenyum, berbalik, dan melangkah menjauh.

​"Kakek, apakah kita akan kembali ke kota sekarang?" tanya Amelia setelah kepergian pemuda itu.

​"Kakek akan tetap di sini beberapa hari lagi. Kalian pulang saja terlebih dahulu. Ada beberapa urusan yang harus Kakek selesaikan di desa ini," jawab Bagaskara.

​Mereka sudah tiga hari berada di desa itu karena rupanya desa tersebut adalah asal muasal mendiang istri Bagaskara.

1
Andira Rahmawati
cerita yg menarik...👍👍👍
Cihuk Abatasa (Santrigabut)
Nice Thor
Santoso
Kayak jadi ikut merasakan cerita yang dialami tokohnya.
shookiebu👽
Keren abis! 😎
Odalis Pérez
Gokil banget thor, bikin ngakak sampe pagi
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!