Langit Senja

"Aku harus segera pulang. Acel baru saja tiba." ucap Handi yang buru buru memakai kembali semua pakaiannya yang dua jam lalu sengaja ditanggalkannya.

"Harusnya kita bisa berterus terang pada Acel tentang pernikahan kita, Han."

"Acel akan membunuhku dan akan membenci Lui selamanya. Bahkan yang lebih aku takutkan, dia akan membencimu lebih dari siapapun."

"Ya, aku tahu. Tapi, aku hanya mencintaimu, Han. Aku bahkan tidak mencintai David sebesar cintaku padamu."

Handi terdiam, perlahan ditariknya tubuh Alia masuk dalam pelukannya. "Kita sudah bertahan sejauh ini dengan baik, sayang. Pernikahan kita hampir berjalan lima tahun dan sejauh ini semuanya baik baik saja. Apapun yang terjadi, aku akan tetap berada di sisimu."

Setelah mengatakan itu Handi pun keluar dari ruangan itu dan berpapasan dengan Acel yang baru saja tiba di lantai atas.

"Tuan muda." Sapanya.

"Ada hal mendesak apa sampai pak Han begitu lama diruangan Mama?" tanya Acel curiga.

"Hanya mengatur strategi untuk membujuk para pemegang saham agar memberi suara untuk Tuan muda." jawabnya santai tak mencurigakan sama sekali.

"Bilang sama Mama untuk tidak terlalu mengkhawatirkan itu. Bagaimanapun perusahaan akan tetap menjadi milikku."

"Harusnya begitu, tapi Nyonya khawatir kemungkinan Nona Zea akan melayangkan gugatan cerai. Jika hal itu terjadi sebelum pelantikan maka ada kemungkinan Sky grup akan jatuh pada tuan Dandi."

"Bagaimana bisa pak Han berpikir Zea akan menggugat cerai saya?"

"Nyonya mendengar pembicaraan Nona Zea dengan tuan Dandi tadi siang."

"Zea tidak akan pernah menggugat cerai saya. Asal pak Handi tau, Zea sangat berutang maaf dari saya."

"Apapun yang Tuan muda pikirkan, saya tidak akan membantah. Saya hanya mengatakan apa yang harus saya katakan."

Acel merasa sangat kesal, dia pun melewati Handi dengan menyenggol bahu pria tua itu cukup kuat. "Alia benar, harusnya Zea tidak diberi kesempatan hidup lagi." gumam Handi sambil mengepalkan tinjunya.

.

.

.

Pagi ini Zea pulang ke rumah utama untuk menjemput pakaiannya.

"Tidur dimana tadi malam. Tidur sama pria mana lagi. Apa sudah hamil lagi!" tuduh Acel begitu Zea tiba dikamar.

Zea tidak menghiraukannya sama sekali. Dia hanya terus mengambil baju bajunya dari lemari dan memasukkan kedalam tas jinjing besar miliknya.

"Hei perempuan, jawab!" Teriak Acel dengan membanting gelas yang ada diatas meja nakas.

Mata Zea terpejam erat kala merasa serpihan kaca itu menusuk punggung kakinya.

"Harus berapa kali kamu akan mengkhianati aku, Zea. Apa aku tidak cukup pantas untuk menjadi satu satunya yang kamu cintai?"

Acel menarik tangan Zea, membuat tubuh Zea membentur tubuhnya. "Mau sampai kapan kamu mempermainkan aku, Zea?!"

"Tidak bisakah kamu mencintaiku lagi? Tidak bisakah aku menjadi pengganti Rudi?!"

Air mata Zea akhirnya tumpah juga kala Acel menyebut nama itu. Betapa sakit rasanya mengetahui Acel masih saja mempercayai bahwa Rudi adalah pria yang dia cintai. Sakit rasanya, karena sampai saat ini pun Acel tidak percaya padanya.

"Kak Rudi segalanya bagiku. Dia satu satunya pria yang rela memberikan nyawanya demi keselamatan aku dan anakku. Tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan itu." jawab Zea tegas yang berhasil membuat Acel melepaskan pelukannya untuk kemudian melangkah mundur menjauhi Zea.

Beberapa saat Acel menundukkan kepalanya, hingga matanya melihat darah di punggung kaki Zea. Tangannya mengepal erat, dia mencoba menahan diri untuk tidak memperdulikan itu.

"Kamu benar, aku hanya bisa melukaimu dengan tanganku. Kamu benar, bagaimana bisa aku menggantikan posisi Rudi dalam hidupmu."

Acel kembali mendekati Zea, menarik dagu Zea agar bisa menatap dua bola mata yang masih terus meneteskan bulir bening.

"Karena itulah, kamu harus membayar semua pengkhianatan yang kamu lakukan padaku. Aku tidak akan membiarkan kamu keluar dari rumah ini. Aku masih membutuhkan pernikahan ini untuk melindungi Sky grup." Gertaknya dengan mengantapkan gerahamnya.

Acel melangkah keluar meninggalkan kamar itu dengan mengunci pintunya.

"Bik, awasi nona Zea. Jangan biarkan dia keluar dari kamar sampai saya yang memberi izin. Jangan lupa antarkan makan minum padanya tiga kali sehari." titahnya pada bik Maya yang selalu membantu Zea di rumah ini.

"Baik, Tuan muda."

Zea menangis deras, dia sangat hancur. Hatinya sakit. Bukan hanya karena perlakuan buruk Acel, namun karena banyak hal yang telah dia ketahui tentang Alia dan dia tidak bisa mengatakannya pada Acel.