Sinopsis:
Zayden Levano, pewaris perusahaan besar, dihadapkan pada permintaan tak terduga dari kakeknya, Abraham Levano. Sang kakek memintanya untuk mencari Elara, seorang gadis yang kini bekerja sebagai wanita penghibur di klub malam. Keluarga Zayden memiliki hutang budi kepada keluarga Elara, dan Abraham percaya bahwa Elara berada dalam bahaya besar karena persaingan bisnis yang kejam.
Permintaan ini semakin rumit ketika Abraham menuntut Zayden untuk menikahi Elara demi melindungi dan menjaga warisan keluarga mereka. Di tengah kebingungan dan pertarungan moralnya, Zayden juga harus menghadapi kenyataan pahit bahwa istrinya, Laura, mengandung anak yang bukan darah dagingnya. Kini, Zayden terjebak antara tanggung jawab keluarga, cinta yang telah retak, dan masa depan seorang gadis yang hidupnya bergantung padanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tegangnya Pertemuan di Rumah Abraham
Bab 28.
Terima kasih yang sudah support. Tolong ramaikan terus novel ini ya. Biar Author semangat crazy up. Makasih.
________________________________________
Lucas perlahan melangkah mendekat, tatapannya lurus menembus ke arah Zayden dan Elara. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat suasana ruangan terasa semakin tegang. Elara, yang duduk di samping Zayden, merasa merinding. Tanpa sadar, ia menyembunyikan tubuhnya di balik lengan Zayden.
“Zayden,” bisik Elara pelan, memegang lengannya erat. “Dia… menatapku seperti itu. Apa maksudnya?”
Zayden menggeser tubuhnya sedikit, melindungi Elara di belakangnya. Lalu dengan nada datar, ia berkata, “Lucas, berhenti. Jangan buat istriku takut.”
Lucas menghentikan langkahnya, berdiri tegak di tengah ruangan. Tatapannya kini beralih pada Zayden. “Aku tidak berniat membuat siapa pun takut. Aku hanya ingin mendapatkan kejelasan.”
"Dalam hal, apa?" tanya Zayden kembali.
"Yang dikatakan bocah ini benar. Kita ada kemiripan ternyata. Mungkin ibumu me la cur dengan pa..."
"Jaga mulutmu," potong Zayden, sambil berdiri dan mencengkram kerah Lucas.
Kakek Abraham, yang duduk di kursi favoritnya, menghela napas panjang. “Lucas, kalau kau punya urusan, langsung saja sampaikan. Jangan membuat suasana di rumahku jadi tidak nyaman.”
Lucas menarik napas dalam, mencoba mengontrol emosinya. “Baik. Kalau begitu, aku ingin tahu kenapa hak ku sebagai ahli waris salah satu perusahaan mitra Levano Corp tiba-tiba diabaikan. Biasanya, aku menerima transfer setiap bulan. Tapi bulan ini? Tidak ada sama sekali, bahkan tanpa pemberitahuan.”
Abraham mengangkat alis, menatap Lucas dengan tajam. “Sudah kubilang sebelumnya, Lucas. Dalam surat perjanjian itu, ahli waris harus benar-benar terikat dekat dengan pemilik perusahaan. Bukan sekadar nama di atas kertas.”
Ucapan itu membuat Lucas mundur selangkah, seperti ditampar keras. “Jadi, menurutmu aku ini bukan bagian yang sah dari kemitraan? Selama bertahun-tahun aku mendapatkan keuntungan, dan sekarang kamu bilang aku tidak cukup ‘dekat’? Apa itu berarti aku tidak layak?”
“Bukan soal layak atau tidak, Lucas,” jawab Abraham tegas. “Ini soal kepercayaan dan komitmen. Levano Corp punya standar mereka, dan jika ada yang berubah, itu karena hubungan yang kau bangun tidak lagi cukup solid.”
Lucas mengepalkan tangannya, wajahnya memerah karena emosi. “Aku sudah memberikan kontribusi untuk perusahaan mitra itu selama ini. Kau pikir aku tidak punya hak untuk mempertanyakan keputusan seperti ini?”
“Kau punya hak, Lucas,” jawab Abraham sambil berdiri. “Tapi kau salah tempat untuk membuat keributan. Rumahku bukan tempatnya.”
Seketika suara pintu terbuka, dan dua petugas keamanan rumah masuk. Salah satu dari mereka berbicara dengan nada tenang tapi tegas. “Pak Lucas, kami mohon Anda meninggalkan tempat ini. Anda membuat suasana tidak nyaman.”
Lucas menoleh tajam ke arah mereka. “Jangan sentuh aku! Aku akan pergi sendiri. Tapi ingat ini, Abraham. Aku tidak akan membiarkan ini berakhir begitu saja. Aku akan menuntutmu dan perusahaanmu. Kita lihat siapa yang akan menang!”
Dia berbalik dan melangkah keluar dengan langkah cepat, pintu besar rumah itu tertutup di belakangnya dengan suara keras.
Elara masih duduk di sofa, memandang pintu dengan ekspresi bingung. Tangannya yang gemetar mencengkeram ujung gaunnya. “Zayden… apa yang baru saja terjadi? Siapa dia sebenarnya? Dan kenapa semua ini terasa seperti… perang keluarga?”
Zayden, yang selama ini diam, akhirnya menjawab dengan nada santai, “Lucas hanya seorang pria yang merasa kehilangan pijakan. Dalam bisnis, jika bukan urusan kita, lebih baik tidak ikut campur. Tidak ada gunanya.”
“Tapi dia terlihat sangat marah. Bagaimana kalau dia benar-benar menuntut Kakek Abraham?” tanya Elara cemas.
“Dia bisa mencoba,” Zayden berkata sambil menyandarkan tubuhnya ke sofa. “Tapi tuntutan hukum butuh bukti. Dan kalau Kakek sudah mengambil keputusan, itu artinya Lucas memang sudah kehilangan posisinya. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan selain mengamuk.”
Namun, jawaban itu tidak membuat Elara tenang. Ia menatap Zayden dengan heran. “Kamu tidak peduli sama sekali?”
Zayden menoleh padanya dengan tatapan datar. “Aku peduli pada apa yang menguntungkan, Elara. Kalau masalah ini tidak memberiku keuntungan, kenapa aku harus repot-repot terlibat?”
Kata-kata itu membuat Elara terdiam. Untuk pertama kalinya, ia merasakan jarak yang sangat besar antara dirinya dan cara berpikir suaminya.
"Lagi pula, ini salahmu juga," ucap Zayden lagi.
"Hah? Kenapa jadi salahku? Gak usah isengin lagi, ya. Cukup bikin aku bete." Filing Elara, dia akan diisengin Zayden lagi, dengan menuduh seperti itu.
"Ini serius. Tadi kamu sok akrab dengannya."
"Dalam hal apa? Perasaan aku diem aja deh."
"Kamu bilang, kalian ada kemiripan. Harusnya diam saja."
"Ya ampun, cuma gitu aja jadi masalah. Aku refleks tahu, penasaran soalnya. Aku pikir dia pria dewasa biasa yang baik."
Abraham, yang selama ini mengamati dalam diam, akhirnya angkat bicara. “Elara, kau jangan terlalu khawatir. Lucas hanya marah karena egonya terluka. Tapi bisnis ini bukan tentang ego. Ini tentang kepercayaan dan hubungan.”
"Tapi kata Zayden...."
"Hehehe," kekeh Abraham, "Cucuku itu memang suka membesar-besarkan masalah. Dia suka iseng," lanjutnya.
Elara menyenggol lengan Zayden, maksudnya dia menunjukkan pada suaminya, bahwa Kakek Abraham membelanya. Zayden terlalu serius.
“Tapi, Kek… apakah keputusan itu tidak terlalu keras?” Lanjut Elara hati-hati.
Abraham menatapnya dengan senyum kecil. “Terkadang, Elara, dalam bisnis, kau harus memilih siapa yang bisa dipercaya dan siapa yang tidak. Lucas kehilangan posisinya bukan karena aku benci padanya, tapi karena dia gagal menjaga hubungan dengan Levano Corp. Itu saja.”
Elara mengangguk pelan, meski pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. Ia hanya bisa berharap drama ini tidak akan berdampak pada kehidupan rumah tangganya dengan Zayden.
Namun, dalam hati kecilnya, ia tak bisa mengabaikan satu hal: Lucas terlihat sangat mirip dengannya. Apakah itu kebetulan? Atau ada sesuatu yang belum terungkap?
Bersambung...