Arnav yang selalu curiga dengan Gita, membuat pernikahan itu hancur. Hingga akhirnya perceraian itu terjadi.
Tapi setelah bercerai, Gita baru mengetahui jika dia hamil anak keduanya. Gita menyembunyikan kehamilan itu dan pergi jauh ke luar kota. Hingga 17 tahun lamanya mereka dipertemukan lagi melalui anak-anak mereka. Apakah akhirnya mereka akan bersatu lagi atau mereka justru semakin saling membenci?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3
"Gita, lebih baik kamu bilang sama Arnav masalah ini," kata Gibran. Dia mengambil kembali hasil pemeriksaan itu dan dia letakkan di atas meja kecil yang berada di dekat brankar.
Gita menggelengkan kepalanya. "Aku akan membesarkan anak ini sendiri tanpa diketahui oleh Arnav. Dia sudah mengambil Arvin dariku, aku tidak mau dia mengambil anak ini juga."
"Kamu yakin?"
"Kamu punya perusahaan penerbit juga kan di Surabaya? Aku ingin bekerja di sana dan membesarkan anak ini. Kamu mau kan bantu aku?"
Gibran terdiam beberapa saat. Kemudian dia menganggukkan kepalanya.
"Gita, kamu kenapa?" tanya Bu Risa setelah sampai di ruang rawat putrinya.
Gita memeluk mamanya dan kembali menangis. "Mama, maaf. Aku mengecewakan Mama."
Bu Risa mengusap rambut putrinya dan menenangkannya. "Ini sudah takdir. Kamu jangan sedih lagi. Kamu harus bangkit. Nanti kita coba diskusi lagi kalau kamu memang ingin mengambil Arvin."
Gita melepas pelukannya dan menatap mamanya. "Mama, aku hamil. Aku baru tahu hal ini. Mama jangan pernah cerita tentang ini pada Arnav dan keluarganya karena aku ingin membesarkannya sendiri. Mama, aku juga akan bekerja dan tinggal di Surabaya."
"Tapi Gita ...."
"Mama, hanya ini yang bisa aku lakukan untuk menghindari Arnav. Aku juga butuh waktu untuk menyembuhkan luka hatiku."
Bu Risa tersenyum getir menatap Gita. "Ya sudah. Asal kamu bisa jaga diri di sana. Jika butuh apa-apa kamu bilang Mama dan Papa. Meskipun kamu sudah menjadi seorang ibu, kamu tetap anak Mama yang harus Mama jaga juga."
"Makasih, Mama." Gita kembali memeluk mamanya. Setelah ini, kehidupannya akan berubah. Entah bagaimana ke depannya, dia akan berusaha melalui hidupnya dengan baik.
...***...
Setelah kondisinya membaik, Gita berangkat ke Surabaya dan menetap di sana. Dia menempati mess di dekat perusahaan penerbit itu. Terkadang dia mengerjakan tugasnya di rumah saat dia merasa pusing dan mual.
Gibran juga mengikuti Gita ke Surabaya. Dia selalu menjaga Gita dan memastikan kondisi kesehatan Gita serta kandungannya. Bahkan dia selalu menemani Gita memeriksa kandungannya. Dia sering dianggap suami Gita oleh Dokter, tapi dia tak mengapa meskipun seringkali Gita menolak kebaikannya.
"Gibran, aku mau bicara sama kamu," kata Gita. Dia duduk di sofa. Kandungannya sudah semakin besar. Tinggal menunggu hari saja sampai hari perkiraan lahirnya tiba.
"Apa? Kamu butuh sesuatu? Kamu lihat perlengkapan anak kamu sudah siap semua dengan nuansa pink sesuai keinginan kamu." Gibran menatap kamar Gita yang baru saja selesai dia dekor. Dia juga sangat antusias seolah sedang menunggu kelahiran anaknya sendiri.
"Terima kasih. Kamu baik sekali. Aku suka semuanya. Mungkin aku harus bekerja seumur hidup di perusahaan kamu untuk membalas kebaikan kamu ini. Tapi ...." Gita menghentikan perkataannya sesaat.
"Tapi apa?"
"Sampai kapan kamu seperti ini? Aku sudah pernah bilang sebelumnya, aku tidak bisa menggantikan posisi Arnav di hatiku sampai kapanpun. Maaf, aku membuat kamu kecewa. Padahal kamu selalu membantuku, tapi aku benar-benar tidak bisa."
Gibran tersenyum mendengar hal itu. "Iya, aku tahu. Aku hanya ingin membantu. Jika kamu tidak bisa menerimaku tidak apa-apa. Aku sangat mengerti perasaan kamu. Aku akan menemani kamu sampai kamu melahirkan nanti."
Tiba-tiba air mata itu menetes di pipinya. Dia masih mengingat kenangannya saat melahirkan Arvin dahulu. Arnav menjadi suami siaga untuknya. Arnav terus menemani dan memberinya semangat hingga akhirnya Arvin lahir di dunia ini. Dia masih ingat betul senyum bahagia Arnav menyambut anak pertamanya dengan berurai air mata haru.
Gita semakin menangis terisak karena sekarang dia akan berjuang sendiri.
"Kenapa? Jangan menangis. Nanti dedek dalam perut kamu juga ikut sedih." Gibran mengambil segelas air putih lalu dia berikan pada Gita. "Aku tidak akan membahas hal ini lagi agar kamu tidak sedih. Nanti aku pasti akan menemukan jodohku sendiri. Kamu tenang saja. Anggap saja kita bersaudara. Ya?"
Gita mengangguk pelan. Dia merasakan perutnya yang tiba-tiba mulas. Meskipun sudah dia usap tapi rasa mulas itu semakin terasa.
"Perut kamu sakit?" tanya Gibran.
Gita menganggukkan kepalanya. "Aku tidak tahu ini kontraksi palsu atau tidak. HPL masih satu minggu lagi."
Gita semakin meringis kesakitan. Dia terkejut saat air ketuban tiba-tiba merembes dan membasahi sofa.
"Kita ke rumah sakit sekarang!" Gibran segera mengambil tas yang berisi perlengkapan ke rumah sakit di dalam kamar Gita. Kemudian dia segera menggendong Gita keluar rumah dan dia bantu masuk ke dalam mobil.
"Gita tahan ya, kita segera sampai di rumah sakit." Gibran segera melajukan mobilnya dengan kencang menuju rumah sakit.
Setelah sampai di rumah sakit, Gibran membawa masuk Gita ke dalam IGD. Dia langsung mendapat penanganan dari dokter.
"Pembukaan sudah lengkap, langsung kita siapkan persalinan sekarang!"
Gita hanya mencengkeram tangan Gibran yang ada di sebelahnya. Dia berusaha sekuat tenaganya hingga akhirnya bayi yang cantik itu terlahir di dunia ini.
Rasa sakit itu seketika lenyap saat mendengar tangisan putrinya untuk yang pertama kali. Dia tersenyum menatap bayi merah yang kini ada di dadanya.
Kak Arnav, anak kedua kita telah lahir dengan selamat. Aku berjanji akan menjaganya.
Kemudian Gita mencium kecil pipi lembut itu. "Hai, Arvita."
"Arvita?" Gibran tersenyum kecil mendengar nama yang baru dia ketahui itu. Tentu saja, sampai kapanpun Gita tidak akan mengganti posisi Arnav dengan dirinya. Ya, dia akan segera membuka lembaran baru dengan wanita lain karena dia tidak ingin semakin membebani pikiran Gita. "Dia pasti menjadi perempuan yang hebat dan kuat seperti kamu."
"Terima kasih, kamu sudah menemaniku berjuang."
"Sama-sama."
Gibran ikut tersenyum menatap senyuman Gita yang akhirnya merekah di bibirnya.
Semoga kamu selalu bahagia, Gita. Tetaplah tersenyum seperti ini. Jangan menangis lagi.
KRNA zeva bukan adik asli