DIBUANG ANAKNYA, DIKEJAR-KEJAR AYAHNYA?
Bella tak menyangka akan dikhianati kekasihnya yaitu Gabriel Costa tapi justru Louis Costa, ayah dari Gabriel yang seorang mafia malah menyukai Bella.
Apakah Bella bisa keluar dari gairah Louis yang jauh lebih tua darinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ria Mariana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
"Kamu yang dulu cuma gadis miskin yang nggak punya apa-apa, sekarang datang ke kampus dengan barang-barang mahal ini? Kamu pikir kita semua bodoh? Jelas kamu menjual diri ke pria tua kaya untuk semua ini!"
Bella menelan ludah, marah tapi tidak ingin terjebak dalam permainan Alice. Namun, dia tahu tidak ada gunanya menyangkal. Semua ini memang barang mewah yang diberikan Louis, dan dia tidak ingin terus berpura-pura.
"Kalau kamu mau tahu, Alice, semua ini memang pemberian Louis Costa," kata Bella.
"Louis Costa? Kamu halu? Tidak mungkin Louis Costa, pria sehebat itu, punya selera seburuk ini. Kamu? Serius?"
"Percaya saja dengan apa yang kamu mau. Aku nggak peduli apa pendapatmu," ucap Bella.
"Louis Costa adalah pria berkuasa dan kaya raya. Dia bisa mendapatkan wanita mana pun yang dia mau, dan kamu pikir kamu yang paling pantas? Kamu hanya gadis murahan yang menjual diri demi tas dan mobil mewah."
Bella merasa amarahnya mendidih, tapi dia menahan diri untuk tidak membalas dengan kekerasan. Dia tahu bahwa menjawab dengan amarah hanya akan membuat situasi semakin buruk.
"Apa pun yang kamu pikirkan tentang aku, itu urusanmu dan kamu tidak tahu apa-apa tentang apa yang sebenarnya terjadi," ucap Bella.
"Kamu benar. Aku nggak tahu dan aku nggak peduli. Tapi aku tahu satu hal, kamu nggak pantas berada di sini dengan semua barang mewah ini. Kamu mungkin bisa menipu orang lain, tapi tidak aku," jawab Alice.
Bella terdiam sejenak, merasakan tatapan kerumunan di sekeliling mereka semakin intens. Semua orang menunggu apa yang akan dia katakan atau lakukan selanjutnya. Namun, Bella hanya mengambil napas dalam dan melangkah mundur.
Bella melangkah masuk ke dalam kelas dengan kepala sedikit tertunduk. Dia sudah bisa merasakan tatapan sinis dan bisikan orang-orang yang mencibirnya sejak dia berjalan ke dalam ruangan. Setiap langkah terasa seperti beban, seolah dia membawa seluruh dunia di pundaknya.
Bisikan itu makin terdengar jelas:
"Lihat, itu dia si simpanan."
"Demi tas mahal, ya..."
"Pasti senang bisa punya sugar daddy..."
Bella mencoba mengabaikan kata-kata mereka, tapi semakin dekat ia menuju bangkunya, semakin besar rasa sakit di hatinya. Dia sudah menduga bahwa rumor tentang dirinya akan menyebar, tapi tidak pernah membayangkan secepat dan setajam ini.
Ketika sampai di bangkunya, hatinya langsung hancur. Bangku itu penuh dengan sampah, kertas-kertas bekas, bungkus permen, dan bahkan beberapa tisu kotor. Di meja, ada coretan besar dengan spidol merah yang berbunyi: "SIMPANAN"
Dia terdiam, menatap bangkunya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Teman-teman sekelasnya yang lain hanya menonton, sebagian tertawa kecil, sebagian pura-pura tidak peduli.
Namun, Bella menelan rasa sakit itu, mencoba menenangkan dirinya. Dia tahu bahwa jika dia menunjukkan kelemahan sekarang, mereka akan menang. Perlahan-lahan, dia mengeluarkan ponselnya dan dengan tangan gemetar, dia mengetik pesan untuk Louis.
Bella: "Louis, ini terlalu berat. Mereka menghina aku di kampus, dan sekarang bangkuku penuh sampah. Mereka menuliskan kata-kata kasar di mejaku. Aku nggak tahu harus apa."
Dia menekan tombol kirim dan menatap ponselnya, menunggu dengan harapan Louis akan segera merespons. Sekarang, satu-satunya hal yang bisa membuatnya merasa sedikit lebih baik adalah mengetahui bahwa Louis tahu apa yang sedang dia alami.
Sementara menunggu balasan, Bella menyingkirkan sampah dari bangkunya dengan hati-hati, berusaha mengabaikan tatapan dan tawa kecil yang terus menghantamnya dari belakang. Dia merasa seperti semua mata tertuju padanya, seolah semua orang menikmati setiap detik dari penderitaannya.
Ponselnya akhirnya bergetar, dan Bella segera membukanya.
Louis: "Aku akan urus semuanya. Jangan khawatir. Tetap tenang dan jangan biarkan mereka menang."
Beberapa saat kemudian.
Kelas baru saja dimulai, tapi suasana di ruangan masih tegang. Bisik-bisik tentang Bella terus beredar, dan tatapan sinis masih menghujamnya dari berbagai sudut ruangan. Bella duduk dengan tenang di bangkunya, meskipun hatinya bergemuruh. Dia menunggu, berharap Louis benar-benar akan melakukan sesuatu seperti yang dijanjikan.
Tak lama kemudian, pintu kelas terbuka dengan suara lembut, namun yang terjadi selanjutnya membuat semua orang tercengang. Alister, asisten pribadi Louis, masuk dengan langkah gagah, diapit oleh dua pengawal yang tampak tegas dan berwibawa.
Mereka mengenakan setelan formal, dan seketika, kehadiran mereka mencuri perhatian seluruh ruangan. Para mahasiswi langsung terdiam, beberapa dari mereka terlihat terpesona dengan kehadiran pria-pria berpenampilan rapi dan tampak berkuasa itu.
Alister berjalan langsung menuju Bella yang duduk di bangku belakang. Semua orang menatap dengan heran dan bingung, bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
Bella menatap Alister dengan tatapan terkejut, tidak menyangka bahwa Louis benar-benar mengirimkan bantuan secepat ini. Alister berhenti tepat di depannya dan menundukkan kepala sedikit sebagai tanda hormat.
"Tuan Louis tidak bisa datang karena ada urusan mendesak, tapi beliau mengirimkan pesan untuk memastikan bahwa kau baik-baik saja."
Seluruh ruangan menjadi hening. Semua mata tertuju pada Bella, yang sekarang menjadi pusat perhatian lebih besar lagi. Alister mengangkat tangannya, memberi isyarat kepada kedua pengawal untuk berdiri di dekatnya, lalu menatap seisi kelas.
"Perhatian, semuanya! Saya di sini atas perintah langsung dari Louis Costa. Saya ingin membuat satu hal sangat jelas. Siapa pun yang berani menyakiti atau mengganggu Bella Louisa lagi, dalam bentuk apa pun, akan berurusan langsung dengan hukum. Kami tidak akan ragu untuk menjebloskan siapa pun ke penjara atas tuduhan bullying."
Kata-kata Alister itu langsung membuat suasana ruangan menjadi sangat tegang. Beberapa mahasiswa tampak saling pandang dengan cemas, sementara yang lain menunduk, takut terlibat lebih jauh. Tidak ada yang menyangka bahwa masalah ini akan sampai sejauh ini, apalagi dengan ancaman hukuman penjara yang begitu nyata.
Salah satu mahasiswi yang sebelumnya paling banyak mencibir Bella tampak pucat. Bisik-bisik yang tadinya memenuhi ruangan langsung berhenti.
Alister melanjutkan, "Louis Costa adalah pria yang berpengaruh, dan dia tidak akan membiarkan Bella disakiti oleh siapa pun. Saya harap pesan ini cukup jelas. Jika ada yang merasa perlu melanjutkan perilaku kasarnya, kami siap menindaklanjutinya."
Selesai dengan pengumuman itu, Alister menatap Bella sejenak, memberi anggukan kecil tanda tugasnya sudah selesai.
"Jika kau butuh sesuatu lagi, jangan ragu untuk menghubungi kami."
Bella mengangguk pelan, masih tercengang dengan apa yang baru saja terjadi. Alister dan para pengawalnya berbalik meninggalkan ruangan yang masih sunyi senyap. Setelah mereka keluar, suasana kelas tetap diam. Tidak ada lagi bisik-bisik, tidak ada lagi tawa mengejek. Semua orang terdiam, menyadari betapa serius situasi ini.
Bella menunduk, menyembunyikan senyum tipisnya. "Akhirnya aku menang."
Saat bersamaan seorang mahasiswi datang.
"Bella, kamu anaknya Louis Costa?"
"Apa?" tanya Bella terkejut, ternyata mereka malah menganggap dirinya anaknya Louis Costa.
"Kamu anaknya Louis Costa? Kami tidak menyangka."
Bella berdiri dan menatap semua teman-temannya.
"Aku bukan anaknya, aku calon istrinya," jawab Bella.
Semua teman-temannya terkejut.