Dipinang adiknya, tapi dinikahi kakaknya. Loh!! Kok bisa? Terdengar konyol, tapi hal tersebut benar-benar terjadi pada Alisya Mahira. Gadis cantik berusia 22 tahun itu harus menelan pil pahit lantaran Abimanyu ~ calon suaminya jadi pengecut dan menghilang tepat di hari pernikahan.
Sebenarnya Alisya ikhlas, terlahir sebagai yatim piatu yang dibesarkan di panti asuhan tidak dapat membuatnya berharap lebih. Dia yang sadar siapa dirinya menyimpulkan jika Abimanyu memang hanya bercanda. Siapa sangka, di saat Alisya pasrah, Hudzaifah yang merupakan calon kakak iparnya justru menawarkan diri untuk menggantikan Abimanyu yang mendadak pergi.
*****
"Hanya sementara dan ini demi nama baikmu juga keluargaku. Setelah Abimanyu kembali, kamu bisa pergi jika mau, Alisya." ~ Hudzaifah Malik Abraham.
Follow ig : desh_puspita
******
Plagiat dan pencotek jauh-jauh!! Ingat Azab, terutama konten kreator YouTube yang gamodal (Maling naskah, dikasih suara lalu up seolah ini karyanya)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 34 - Kewajiban
Berdalih tidak bisa jauh dari mama, Hudzai bisa ikut pulang ke Jakarta membawa Alisya lebih cepat dari rencana. Sebenarnya lambat laun mereka akan ke sana juga demi melangsungkan resepsi, akan tetapi Hudzai tidak bisa lebih lama menunggu dan ingin segera berjumpa dengan Abimanyu.
Walau tidak yakin juga penghuni pulau Socotra itu ada di rumah, setidaknya Hudzai sudah berusaha. Karena akan lebih tidak berguna lagi andai dirinya tidak berbuat apa-apa dan menunggu kedatangan Abimanyu.
Sementara itu, sejauh yang Hudzai ketahui pola pikir Abimanyu begitu misteri, semaunya dan tidak dapat diharapkan secara pasti. Tak heran kenapa dijuluki penghuni pulau Socrota, pulau yang konon katanya menurut mitos dihuni oleh Alien dan juga Daj-jal.
karena itulah, Hudzai mengalah dan tidak apa agak sedikit lelah. Terpenting rasa penasarannya terbayarkan. Entah siapa pelakunya, Hudzai ingin tahu dan memastikan istrinya mendapat keadilan atas apa yang telah menimpanya.
Pagi-pagi sekali mereka sudah siap, pakaian juga sudah dikemas beberapa jam sebelum keberangkatan. Bersama beberapa anggota keluarga besar yang memang baru pulang hari ini, Hudzai dan Alisya hanya berdua di mobil sendiri.
Datang sendiri pulangnya berdua, begitulah candaan yang dilemparkan keluarga besarnya. Hudzai yang tampaknya sudah muak tidak lagi begitu menanggapi, hanya sesekali tersenyum itu juga karena demi menghargai orang-orang disekitarnya.
"Kak Hudzai kenapa harus sekarang sih? Apa kami bikin risih?" tanya Iqlima masih agak tidak begitu rela Hudzai pulang begitu cepat.
Walau sudah dikatakan bahwa nanti akan bertemu lagi sewaktu resepsi, tetap saja Iqlima bersedih karena merasa kehilangan sahabat sekaligus saudaranya itu.
Hudzai menggeleng sembari tersenyum tipis. "Tidak, aku nyaman di sini ... tapi karena Mama pulang jadi ikut pulang juga."
"Dasar anak Mama, terus gimana? Rencana tinggal di Bandungnya tidak jadi?"
"Insya Allah, nanti dipikirkan lagi ... yang mana baiknya saja lah." Begitu jawab Hudzai.
Saat ini, dia belum menyimpulkan akan tinggal dimana karena memang belum terlalu fokus ke sana. Yang menjadi tujuan utama Hudzai saat ini adalah memecahkan kasus istrinya.
Hanya Iqlima yang begitu keberatan melepas Alisya, sementara Habil tidak demikian. Begitu juga dengan Om Sean yang sudah berdiskusi panjang lebar bersama Hudzaifah malam itu.
"Jaga dia baik-baik dan jangan ingkari janjimu."
"Iya, aman," jawab Hudzai seraya memberikan jempolnya kepada Om Sean.
Layaknya berpamitan pada mertua sungguhan, Hudzai diperingatkan berkali-kali untuk menjaga Alisya baik-baik. Padahal, tanpa diperingatkan pun sudah pasti dia lakukan, karena mau bagaimanapun Alisya adalah istrinya, dan itu termasuk kewajiban.
Tidak hanya Hudzai yang diberikan wejangan, tapi Alisya juga sama. Kasih sayang pria itu agaknya sungguhan dan memang begitu sikapnya pada semua anak, penyayang.
"Patuhi suamimu, jaga aibnya dan jika nanti ada masalah yang sekiranya masih bisa diselesaikan berdua, selesaikan ... jangan kabur-kaburan, paham?"
Alisya mengangguk, sebuah nasihat yang cukup sederhana tapi mengena dan agaknya memang diperlukan para pasangan yang baru menikah.
Usai Alisya pamit, Om Sean masih juga kembali pada Hudzaifah seakan tidak cukup sekali dalam menasihatinya. "Dengar baik-baik, Hudzai, sampai kau lalai menjaga atau bahkan menyakitinya, Om tidak segan-segan menggalikan kubur untukmu."
"Iya, Om iya, kalau perlu nisannya sekalian."
"Nah iya, satu lagi yang perlu kau ingat, waktunya tiga bulan ... jika tiga bulan belum juga, maka kau harus kembali hidup bersama kami sekeluarga," tegas Om Sean tak terantahkan.
Terkesan kejam, tapi begitulah cara pria itu memastikan bahwa kehidupan Hudzai berjalan dengan baik. Belajar dari pengalaman di masa lalu, Zean yang tidak lain adalah papa dari Hudzai menjalani pernikahan sandiwara karena dibiarkan mandiri setelah menikah.
Dengan kasus kurang lebih sama, yang mana terpaksa menikah lantaran Sean sengaja kabur karena menolak perjodohan. Alhasil, Zean yang kena getahnya dan ternyata, hidup pria itu tersiksa.
Mirisnya lagi, di luar Zean terlihat bak pasangan ideal yang diselimuti kebahagiaan. Tanpa tahu bahwa di rumah ternyata bertegur sapa pun tidak, dan itu memicu perselisihan yang berakhir fatal bahkan sampai membahayakan nyawa Zean sendiri.
Alasan itu rasanya sudah cukup untuk Om Sean sedikit ikut campur dalam pernikahan Hudzai. Ikut campur dalam hal baik, sementara dalam masalah internal mereka, sudah Om Zean katakan tu menjadi tanggung jawab mereka berdua.
"Jangankan tiga bulan, satu bulan saja mungkin bisa ... iya, 'kan, Sayang?" sahut Hudzai terang-terangan meraih pinggang Alisya dan kembali bersandiwara seolah pasangan paling manis di dunia.
Alisya yang bingung maksud Hudzai jelas saja bingung. Akan tetapi, lirikan matanya seolah mendesak hingga, mau tidak mau Alisya menjawab. "I-iya, Abi, satu bulan bisa."
"Asal iya saja, memang tahu maksudnya?"
"Tidak," jawab Alisya polos dan berakhir jitakan tepat di kening suaminya dari Om Sean.
"Mulai, kau pikir Om tidak tahu akalmu? Lagu lama ... papamu dulu begini dan Om bisa tahu, apalagi kau."
.
.
Sandiwara Hudzai yang terbongkar membuat Alisya bertanya-tanya. Sepanjang perjalanan dia sudah dibuat bingung, awalnya sudah berusaha dia lupakan, akan tetapi memasuki ibu kota dia tak lagi bisa menahan lebih lama.
Sudah sekian lama perjalanan, dia bahkan sempat tidur, tapi ternyata tak mampu juga untuk melupakan. Alisya menoleh, menatap ke arah sang suami yang masih fokus mengemudi.
"Kelihatannya capek, apa sebaiknya nanti saja ya?" batin Alisya sedikit tidak tega menyaksikan Hudzai sebenarnya.
Akan tetapi hendak bagaimana, gantian juga tidak bisa, khawatir semakin dekat dengan Sang Pencipta.
"A'."
"Iyaa, kenapa, Sya?"
Baru juga mengatakan ingin ditunda saja hingga nanti, nyatanya Alisya tidak kuasa menahan diri lebih lama.
"Ehm boleh Neng tanya?"
"Boleh, tanya apa?"
"Itu tadi, yang dimaksud Abi tiga bulan apa?" tanya Alisya apa adanya, memang benar dia penasaran dan ingin tahu bagaimana jelasnya.
"Oh, tiga bulan itu?"
"Iya, tiga bulan untuk?"
"Mencintaimu," jawab Hudzai asal disertai tawa kecil di sana
Jawaban yang cukup membuat Alisya terkejut sekaligus memerah, tapi juga tidak percaya.
"Bohong!! Jawab serius ih."
"Itu serius, memang begitu janjinya ... Om Sean bilang tiga bulan harus cinta, kalau belum juga kita akan tinggal di Bandung lagi sama mereka," papar Hudzai panjang lebar.
Sengaja berbohong, mana mungkin dia akan menjawab jujur lantaran khawatir akan membuat Alisya sakit dan merasa tadi malam hanya sebatas pembuktian semata.
"Ehm, terus Aa' sanggup?"
"Sangguplah, cinta sama istri apa susahnya?"
"Kenapa seyakin itu?"
"Seseorang bilang, menikahi yang dicintai adalah impian, tapi mencintai yang dinikahi adalah kewajiban," jawab Hudzai dengan makna tersirat di dalamnya.
"Menikahi yang dicintai adalah impian," ungkap Alisya mengulangnya, ada rasa sakit yang tidak dia mengerti apa tatkala Hudzai bicara. "Berarti Aa' punya impian menikahi gadis yang dicintai?"
"Tidak ada, yang Aa' punya sekarang cuma kewajiban ... dan itu kamu, Sayang."
.
.
- To Be Continued -