Jo Wira, pemuda yang dikenal karena perburuan darahnya terhadap mereka yang bertanggung jawab atas kematian orang tuanya, kini hidup terisolasi di hutan ini, jauh dari dunia yang mengenalnya sebagai buronan internasional. Namun, kedamaian yang ia cari di tempat terpencil ini mulai goyah ketika ancaman baru datang dari kegelapan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orpmy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sosok Aneh
Wira berdiri di ladang kecilnya, memegang alat bajak buatan sendiri, sementara Sumba, kuda yang setia, menarik bajak itu dengan langkah tenang.
“Pelan-pelan, Sumba,” Wira dengan tenang mengarahkan tali kekangnya. Kuda cokelat besar itu mendengus pelan, menuruti arahan. Dia sudah terbiasa dengan rutinitas ini. Setiap musim tanam, mereka bekerja sama untuk mempersiapkan tanah untuk ditanami.
Di sisi ladang, Kinta, berlari-lari kecil sambil mengendus-ngendus tanah. Telinganya yang tajam selalu waspada terhadap suara asing. Kinta tidak pernah jauh dari tuannya, dan dia selalu siap memberi peringatan jika ada bahaya.
Setelah barisan terakhir tanah selesai dibajak, Wira berhenti sejenak, mengusap leher Sumba. “Kerja bagus, Sobat,” pujinya sambil memberinya potongan wortel yang ia simpan di kantong. Sumba mengunyahnya dengan senang hati, sementara Wira mulai menaburkan benih di tanah yang baru saja dibajak.
Hari ini tidak berbeda dari hari-hari sebelumnya. Pagi dihabiskan di ladang, menyiapkan makanan yang akan menjadi sumber hidup mereka beberapa bulan ke depan. Bagi orang lain, mungkin ini membosankan. Tapi bagi Wira, pekerjaan ini jauh lebih baik dibandingkan dengan pekerjaan sebelumnya.
"Aku harap kedamaian ini bisa bertahan lebih lama." Gumam Wira sambil menatap lahan yang telah selesai dia tanami.
Setelah menyelesaikan pekerjaan di ladang, Wira kembali ke pondoknya bersama Kinta dan Sumba. Ia mulai mempersiapkan peralatan untuk menjelajahi hutan mencari makanan.
"Saatnya bersenang-senang" Wira mengambil alat pancing dari dinding pondok, dia berniat menangkap ikan di sungai. Tidak lupa Wira membawa sepasang keranjang yang akan dipasang di punggung Sumba untuk membawa hasil tangkapan, dan yang terakhir sebuah busur panah dan selusin anak panah sebagai senjata perlindungan.
Namun, saat ia membuka sebuah lemari kecil untuk mengambil tali, pandangannya tertuju pada laci meja di sebelahnya. Wira tertegun sejenak seakan mengalami pergolakan batin yang sulit.
"Keadaan hutan terasa aneh, apa aku perlu membawanya?." Cukup lama dia berpikir, hingga akhir gonggongan Kinta membuyarkan lamunannya. "Aku pikir panah saja sudah cukup." Pada akhirnya Wira memutuskan untuk tidak mengambil apapun dari dalam laci.
***
Setelah memasang keranjang dipunggung kudanya, Wira menunggangi Sumba, lalu memacunya meninggalkan basecamp diikuti Kinta yang melompat-lompat dengan semangat.
Jarak ke sungai terdekat sekitar tiga kilometer menuruni gunung, melewati medan yang sulit dan berbahaya.Jalur setapak sempit berliku-liku di antara lereng terjal, dikelilingi pepohonan tinggi dan semak belukar yang lebat.
Namun, Wira sudah terbiasa dengan rute ini. Setiap suara ketukan langkah kaki Sumba dan setiap gonggongan Kinta yang tajam menjadi pengiring perjalanan mereka. Bagi kebanyakan orang, perjalanan ini adalah uji nyali, tapi bagi Wira, ini seperti berjalan di taman belakang rumahnya.
"Hum?"
Tiba-tiba, telinga Wira menangkap suara samar dari dedaunan bergeser, nyaris tenggelam oleh desiran angin. Tanpa menggerakkan kepala, matanya melirik ke arah sumber suara. “Di atas dahan. Ular hijau,” gumamnya pelan, seolah sudah mengenali ancaman itu hanya dari suara.
Dengan gerakan cepat dan terlatih, Wira menarik busur dari punggungnya. Dalam sekejap, ia melepas anak panah yang melesat tepat ke arah yang ia tuju. Suara panah menembus udara disusul pekikan tajam dari binatang yang terkejut. Detik berikutnya, sesuatu jatuh dari atas dahan ke semak-semak.
Kinta segera melesat menuju semak-semak itu. Dengan gigitan lembut, ia kembali membawa seekor ular hijau besar yang masih memiliki anak panah menancap di tubuhnya. Wira menatap buruannya sejenak lalu mengangguk puas.
“Lumayan,” ujarnya sambil mengambil ular itu dan melemparkannya ke keranjang yang terpasang di punggung Sumba.
Perjalanan dilanjutkan, namun konsentrasi Wira tidak pernah goyah. Sekali lagi, telinganya menangkap sesuatu, kali ini suara langkah kecil yang nyaris tak terdengar. Ia menyipitkan mata, menghitung jarak dan memperkirakan ukuran targetnya hanya dari suara. “Kelinci,” gumamnya yakin.
Anak panah kedua dilepas dengan presisi yang mengagumkan. Tak lama kemudian, Kinta berlari mengejar target yang sudah jatuh tak berdaya. Saat Kinta kembali dengan kelinci di mulutnya, Wira tersenyum kecil.
“Anjing pintar,” pujinya sambil mengelus kepala Kinta sejenak sebelum memasukkan kelinci itu ke keranjang. Dengan bantuan Kinta, Wira tidak perlu turun dari punggung Sumba untuk mengambil buruannya, membuat perjalanan mereka jauh lebih efisien.
***
Meski medan perjalanan sulit dan penuh bahaya, Wira dan dua peliharaannya tampak seperti sedang berjalan santai di tengah taman. Bagi mereka, hutan ini bukan sekadar tempat berburu, melainkan juga pasar penuh sumber daya.
Sepanjang perjalanan, Wira berhenti beberapa kali untuk memetik bahan-bahan dari hutan. Ia memungut berbagai macam buah hutan, jamur liar dan tanaman hijau untuk dijadikan makanan, lalu memisahkan daun atau buah-buahan yang beracun ke keranjang khusus. Racun itu nantinya akan ia manfaatkan sebagai bahan obat atau alat pertahanan diri.
Setiap langkah Wira menunjukkan pengalamannya yang mendalam tentang alam. Dia tahu mana tanaman yang berguna, mana yang berbahaya, dan bagaimana memanfaatkan semuanya.
Sumba tetap berjalan dengan tenang, Kinta terus mengawasi sekeliling, dan Wira melanjutkan perburuan tanpa terlihat kesulitan. Di tangan mereka, hutan liar berubah menjadi tempat yang bersahabat, penuh dengan peluang dan sumber daya yang melimpah.
Namun, saat hendak melanjutkan perjalanan, Wira melihat sesuatu yang tidak biasa. Sekelompok kambing gunung tampak bergerak menuruni bukit di kejauhan, berlari dengan terburu-buru seolah melarikan diri dari sesuatu.
Ia mengamati lebih saksama. Jumlah kawanan itu jauh lebih banyak dari biasanya. Sebagian terlihat kelelahan, sementara yang lain terus berlari tanpa menoleh ke belakang.
Seakan ada bintang buas yang sedang mengejar mereka.
***
Mendadak udara terasa berat, dan langkah Sumba mulai melambat seolah merasakan hal yang sama. Di belakang, Kinta menggeram pelan, tatapannya tertuju pada sebuah titik di semak-semak di sebelah kanan jalan.
'Ada yang mengawasi,' pikir Wira, memegang tali kekang Sumba lebih erat. Ia melirik Kinta yang mulai menggeram lebih keras.
“Tenanglah kawan,” bisiknya kepada anjingnya, mengangkat tangan untuk memberi isyarat. Kinta, yang pintar dapat memahami perintah itu.
Wira berpura-pura tidak menyadari kehadiran orang yang sedang mengawasinya. Dia menjaga sikapnya tetap santai meski pikirannya mulai memutar rencana jika ada bahaya. Dia kembali menyiapkan busurnya, bersiap untuk segala kemungkinan.
Saat Sumba melangkah keluar dari jalur sempit menuju area lebih terbuka dekat sungai, Wira melihat sosok berdiri di tengah jalan. Orang itu diam tak bergerak, tubuhnya membungkuk dengan pakaian yang lusuh dan robek, penuh tanah dan bercak darah.
Wira berpikir itu hanyalah pengalihan dan segera melihat sekitar, tapi karena tidak melihat ada orang lain yang akan menyergap, Wira menarik napas panjang, menahan diri untuk tidak langsung menyerang. Ia turun perlahan dari punggung Sumba, meninggalkannya di belakang dan meminta Kinta berjaga.
“Tuan, apa kau baik-baik saja?” tanya Wira dengan suara tenang.
Sosok itu tidak merespons. Ia hanya berdiri di sana, mengerang pelan dengan suara serak seperti seseorang yang tenggorokannya rusak. Wira berjalan lebih dekat untuk memastikan.
“Apa kau tersesat?” tanyanya lagi, mencoba mencari respons. Namun, sosok itu hanya menoleh perlahan ke arahnya.
Ketika jarak mereka tinggal beberapa meter, Wira mencium bau busuk menyengat yang membuat perutnya mual. Bau itu seperti daging yang telah lama membusuk, bercampur dengan bau tanah basah dan darah. Ia berhenti sejenak, instingnya memperingatkan ada sesuatu yang sangat salah.
Tiba-tiba, sosok itu menggerakkan tubuhnya dengan cepat. Dalam sekejap, tangan kotor dengan kuku panjang meluncur ke arah wajah Wira. Namun, refleks Wira lebih cepat. Ia melompat mundur, nyaris kehilangan keseimbangan, tapi berhasil menghindari serangan itu.
Mata Wira melebar saat melihat lebih jelas. Wajah orang itu penuh luka terbuka yang membusuk, dengan kulit mengelupas di beberapa bagian. Matanya berwarna keruh, hampir seperti seseorang yang kehilangan nyawanya, namun tubuhnya bergerak dengan energi liar dan agresif.
“Apa-apaan ini?” gumam Wira, merasa tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
Sosok itu menggeram lebih keras, kemudian berlari ke arahnya dengan gerakan yang tidak wajar, terhuyung-huyung namun cepat.
"Zombie? Tidak mungkin. Ini tidak masuk akal," pikir Wira. Namun kenyataan di depannya tidak memberi waktu untuk penyangkalan.
mohon berikan dukungannya