Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.
Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.
Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?
Rain hanya bisa berharap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selaksa Rasa Penasaran yang Kelabu
Di taman depan gedung Manajemen Bisnis, Rain duduk di kursi panjang, kursi yang diduduki Reno saat pertama kali Rain menemukan pria itu.
Rain sudah di sana sejak beberapa jam yang lalu. Matahari sudah mengeluarkan cahaya kekuningan, menandakan hari mulai sore.
Rain menunggu sejak tadi. Jika dibilang menunggu itu membosankan, tidak dengan Rain. Rain menunggu dengan perasaan tak karuan, seakan kupu-kupu beterbangan di perutnya.
Rain sudah mengabari Reno jika ia sudah sampai, dan pria itu menyuruhnya menunggu sebentar lagi karena ia masih ada kelas.
Rain merasa sangat semangat sekarang. Seperti sedang menanti kehadiran ibu dari pasar yang menjanjikan membawa makanan kesukaan, seperti itu perasaan Rain.
Rain sungguh sangat menantikan itu. Ghio akan segera bertemu dengan keluarganya. Membayangkan itu, entah kenapa perasaan Rain seolah mengembang.
"Hai!"
Rain menoleh cepat.
"Maaf menunggu lama."
Rain mengangguk paham. "Gak pa-pa. Yang penting sekarang Lo ada di sini, kak."
Reno tersenyum. Ia duduk di depan Rain sambil menatap gadis itu. "Effort juga Lo sampai nungguin gue se lama ini."
Rain mengedikkan bahu.
"Apa sebelumnya Lo punya hubungan sama Ghio?" tanya Reno.
Rain menggeleng. Ia tidak tahu sebenarnya harus jawab apa. Jika dibilang hubungan, sepertinya ia sudah teramat dekat dengan Ghio. Ia memperlakukan Ghio seperti keluarga sendiri.
"Jadi?" tanya Reno dengan dahi berkerut.
Rain menggaruk kepalanya. "Gimana, ya? Susah ngejelasinnya, kak. Pokoknya, gue harus ketemu sama orang tuanya Ghio."
Reno diam mendengar ucapan Rain. Namun tak lama kemudian, ia menghela napas.
"Please, kak Reno. Gue benar-benar butuh bantuan kakak," mohon Rain.
Reno mengangguk. "Alamat Ghio ada di jalan XXX no. 13. Dulu, Ghio tinggal bareng kedua orang tuanya."
Dahi Rain berkerut. "Dulu?" Setahunya, Ghio tinggal di kontrakan yang ia tinggali sekarang. "Bukannya, Ghio ngontrak ya, kak?"
Mata Reno sedikit melebar, namun ia seolah bisa mengontrolnya. "Lo tahu dari mana?"
Rain kembali menggaruk kepala yang tak gatal itu. "Gue tinggal di sana sekarang. Gue tahu Ghio tinggal disana dari ibu yang punya kontrakan."
Reno mengangguk mengerti. "Dulu Ghio tinggal sama orang tuanya, sebelum dia memilih buat pindah."
Kepala Rain miring. Banyak pertanyaan yang memenuhi kepalanya sekarang. "Pindah? Pindah karena apa kalau boleh tahu?"
Reno menatap Rain lurus, lalu tersenyum kecil. "Dia agak bodoh menurut gue," katanya.
Kepala Rain semakin dipenuhi pertanyaan. Reno membuatnya sangat penasaran. Kenapa tidak terus terang saja? Rain jadi bingung.
"Gue gak paham," kata Rain.
Reno malah mengangguk. "Iya. Lo gak bakal paham sampai Lo tanya sendiri ke dia."
Reno ini lumayan misterius. Ia berhasil membuat Rain tak bisa berkata-kata. Rain benar-benar tidak tahu mau bicara apa saking bingungnya.
"Gimana caranya?" tanya Rain setelah lama terdiam.
Reno menghela napas. Pandangannya menerawang ke atas. "Jangan tanya gue."
"Kak. Jangan bikin gue jadi kebingungan gini, deh," kesal Rain.
Reno menatap Rain. Ia memperbaiki posisi tubuhnya, hingga sedikit condong ke arah Rain.
"Ghio itu bodoh." Ia tertawa kecil.
Tapi, berbeda dengan matanya yang menyiratkan kesedihan. Rain seolah bisa melihat sinar mata yang redup itu.
Rain memilih diam.
"Dia kuliah di sini. Kalau di bilang jarak, kampus ini lebih dekat ke rumahnya dari pada ke kontrakannya. Tapi, dia memilih pindah," kata Reno.
"Apa alasan dia, kak?"
Reno menatap Rain dalam diam beberapa saat. "Waktu itu, gak ada angin gak ada ujan, dia tiba-tiba bilang ke gue mau pindah ke sana. Gue pikir dia ada masalah sama bonyoknya. Ternyata enggak. Gue kurang tahu apa alasannya, sampai akhirnya gue mulai paham alasan dia pindah ke sana," jelas Reno. Pandangannya menerawang. "Si bodoh itu."
Rain mendengar dengan serius. Sudah berapa kali Reno mengatai Ghio bodoh? Jika Ghio mendengar itu, pasti dia akan memukul Reno.
Reno menatap Rain. "Kalo gak, dia gak akan kecelakaan," katanya.
"Lo sengaja banget bikin gue bingung," kata Rain dengan wajah datarnya.
Reno membalas tatapan Rain tak kalah datar. Tak lama kemudian dia menyeringai tipis.
Rain sedikit tertegun melihat senyum yang tidak manis itu.
"Ada baiknya juga Lo mencari bonyoknya Ghio. Setelah itu, Lo bakal paham," kata Reno. Lalu segera berdiri.
Rain ikut berdiri. "Lo mau kemana?"
"Gue udah kasih alamat, kan?"
"Tapi, gue masih punya banyak pertanyaan."
"Tanya sendiri sama Ghio."
"Hah?" Rain ngelag beberapa saat.
Gimana cara gue nanya ke Ghio? Orang dia juga lupa ingatan.
Sementara Rain masih dalam segala pikirannya, Reno sudah pergi meninggalkan gadis itu.
Rain yang sadar dengan ketidakberadaan Reno, langsung menoleh ke belakang.
"Woi! Kak Reno! Urusan kita belum selesai," teriak Rain.
Reno hanya melambaikan tangan sekilas dari jauh. Setelah itu, pria itu benar-benar pergi jauh hingga menghilang dari hadapan Rain.
Rain menggerutu dalam hati. Rasa penasarannya belum terpecahkan, Reno sudah main pergi. Apa ia harus bertanya kepada Ghio?
Astaga! Pria itu lupa ingatan.
Lalu, bagaimana? Apa benar, dengan menemui orang tua Ghio maka ia akan menemukan jawabannya? Reno bicara seperti itu. Dengan menemukan kedua orang tua Ghio, maka Rain akan paham. Paham apa?
Reno benar-benar membuatnya mati penasaran.
"Lupain aja. Yang terpenting, sekarang gue udah tahu dimana alamat rumah Ghio," monolog Rain. Ia tersenyum.
"Apa gue cari sekarang?" tanyanya pada diri sendiri. "Tapi, udah mau malam."
Rain memiringkan kepala. "Lihat-lihat aja lah dulu. Tapi, Ghio pasti udah nungguin."
Berperang dengan segala pikirannya, akhirnya Rain memutuskan untuk mencari rumah Ghio.
Dengan mengetahui letak rumah Ghio, maka Rain tinggal berangkat dan menuju lokasi besok. Sekarang, ia tidak bisa menemui kedua orang tua pria itu.
"Oke. Let's go."
Rain menyemangati diri sendiri. Ia mulai mencari alamat menggunakan google maps.
"Bener kata Reno. Tempatnya gak jauh, tapi kenapa Ghio malah ngontrak di sana?" gumam Rain.
Rain pikir, Ghio kuliah di kampus yang sama dengannya. Selain karena lokasi kampus yang dekat dari kontrakan, Ghio sepertinya juga memiliki jurusan yang sama dengan Rain.
Rain membuka aplikasi WhatsAap. Ia mencari nama Reno dan mulai mengetik di sana.
"Apa jurusan Ghio?" kata Rain sambil mengetik.
Setelah itu, Rain langsung berangkat menuju rumah Ghio sesuai Maps.
Tak butuh beberapa menit, Rain akhirnya sampai di lokasi.
Mata Rain menatap takjub rumah besar di depannya. Ini rumah Ghio?
Rain mengecek ponselnya. Dilihatnya chat dari Reno.
"Ghio dari jurusan seni rupa?" Lalu Rain mulai mengetik lagi. Setelah itu, ia memotret rumah di depannya dan mengirimnya kepada Reno. Rain bermaksud bertanya. Ia takut kalau ia salah alamat.
Tapi setelah menunggu beberapa menit, Reno tak kunjung membalas chatnya.
Rain berdecak. Ia menatap rumah di depannya. Rain tak bisa menghilangkan raut takjubnya.
Rumah yang besar dan warna elegan. Rain jadi ingat foto mama Ghio. Wanita itu juga tampak elegan. Apa ini benar-benar rumah Ghio? Mengapa Rain seolah tak yakin?
Jika memang benar, maka Rain simpulkan kalau Ghio berasal dari keluarga kaya.
Rain tersadar dari lamunannya saat gerbang di depannya terbuka. Rain bisa melihat seorang pria membuka gerbang itu. Ia rasa itu satpam.
"Maaf. Ada perlu apa, ya?" tanya pria itu.
Rain menunjuk dirinya. "Bapak tanya saya?"
"Jangan bercanda, neng. Jadi saya tanya siapa, dong? Cuma neng yang ada di hadapan saya?" kata pria paru baya itu.
Rain menyengir kuda. "Maaf, pak. Kirain."
"Jadi, ada perlu apa, neng? Tuan dan Nyonya tidak di rumah. Kalau mau ketemu mereka, nanti malam baru bisa."
"Eh- bukan, pak." Rain menggaruk kepalanya. "Saya lagi nyari alamat. Ini beneran jalan XXX, kan?"
Pria itu mengangguk.
"No 13?" tanya Rain. "Maksud saya rumah ini."
Pria itu diam sebentar, lalu menunjuk pagar di sampingnya. "Itu nomornya."
Rain mengangguk. "Udah saya lihat, pak. Saya cuma memastikan."
"Oh... Betul, neng. Kenapa dengan rumah ini, neng?"
"Enggak, pak. Saya lagi nyari temen saya. Ini rumahnya Ghio, kan?" tanya Rain.
Pria itu diam. Raut wajahnya langsung berbeda.
"Pak?"
"Neng ini temannya mas Ghio?" tanya pria itu.
Rain mengangguk. "Betul, pak."
"Mas Ghio pasti senang dicariin teman ceweknya." katanya dengan wajah sendu.
Rain seolah paham, ia menetap kasihan pria itu. Pasti keluarga Ghio merasa kehilangan. Padahal, anak mereka tinggal bersama Rain.
"Yang sabar ya, pak. Ghio juga pasti senang kalau bisa bertemu orang tuanya." kata Rain.
Pria paru baya itu mengangkat kepala. "Maksud neng? Nyonya dan Tuan selalu bertemu dengan mas Ghio." katanya.
Rain mengangguk. Benar, mereka orang tuanya. Mereka mungkin selalu menjenguk Ghio di kuburnya.
"Iya, pak. Kalau gitu, saya permisi dulu. Besok saya datang lagi," pamit Rain dan selera tancap gas.
Pak satpam menatap kepergian Rain dengan wajah bingung. Setelah mengedikkan bahu, pria itu segera masuk dan menutup gerbang.