"Rumah Tanpa Atap" mengisahkan tentang kehidupan seorang remaja bernama Zilfi, yang tumbuh dalam keluarga yang terlihat sempurna dari luar, namun di dalamnya penuh ketidakharmonisan dan konflik yang membuatnya merasa seperti tidak memiliki tempat untuk berlindung. Setelah perceraian orang tuanya, Zilfi harus tinggal bersama ibunya, yang terjebak dalam rasa sakit emosional dan kesulitan finansial. Ayahnya yang Berselingkuh Dengan Tante nya hanya memperburuk luka batin Zilfi, membuatnya merasa tak pernah benar-benar memiliki "rumah" dalam arti sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yiva Adilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PETUALANGAN KE MASA LALU
Ayah memandang Zilfi dengan campuran ketakutan dan harapan yang membingungkan. "Apa maksudmu, Zilfi? Apa yang kamu rasakan?" tanyanya, suaranya serak.
Zilfi menarik napas panjang, merasakan sesuatu yang asing tapi kuat berdenyut dalam dirinya. "Liontin ini... bukan hanya pelindung. Aku bisa merasakan kekuatan yang lebih besar dari sekadar menjaga kita tetap aman. Ini memberiku kendali atas apa yang mengincar kita, tapi entitas itu tidak sepenuhnya pergi. Ia hanya... tertahan, untuk sementara."
Ayah terlihat kebingungan, tapi Zilfi tahu bahwa dia harus menjelaskan dengan cepat. "Apa yang kita hadapi ini bukan hanya satu entitas, Ayah. Ada sesuatu yang lebih besar, lebih tua, di balik semua ini. Ibu... ibu tidak pernah mengatakan yang sebenarnya, bukan? Ritual itu memanggil sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada yang kita sadari."
Ayah menggigit bibirnya, seakan berjuang untuk menyusun kata-kata. "Ibumu... dia terlibat dengan keluarga yang percaya pada kekuatan-kekuatan kuno, Zilfi. Apa yang dia lakukan dulu membuka pintu, seperti yang sudah Ayah katakan. Tapi Ayah tak pernah tahu bahwa kamu akan sekuat ini, seolah-olah entitas itu melihatmu sebagai pewaris langsung."
Zilfi menatap liontin di lehernya, merasa terhubung dengan kekuatan yang aneh namun familier. "Aku harus menghentikan ini sebelum semakin buruk. Entitas itu sedang menunggu. Dan jika aku tidak bertindak, kita semua akan menjadi mangsanya."
"Kamu tidak harus melakukannya sendiri, Zilfi," Ayah berkata cepat, nada cemas dalam suaranya. "Kita bisa mencari bantuan, mencari jalan lain. Kita bisa lari dari ini."
Namun, Zilfi menggeleng dengan mantap. "Kita tidak bisa lari, Ayah. Ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang semua yang entitas itu inginkan. Dan jika aku tidak melakukan sesuatu sekarang, mereka akan menghancurkan semuanya."
Sekejap, lampu mobil menyala lagi dengan tiba-tiba, dan mesin berdengung kembali. Kegelapan yang tadi menyelimuti mereka kini mulai memudar, seolah dunia telah melepaskan cengkeraman dinginnya.
"Ayo, Ayah. Kita harus kembali ke rumah. Aku harus mencari tahu lebih banyak tentang ritual itu. Ibu mungkin sudah meninggalkan petunjuk yang bisa membantuku."
Ayah menatapnya sejenak, seolah ingin menolak gagasan itu, namun akhirnya dia mengangguk. Mereka berdua tahu bahwa melarikan diri bukan lagi pilihan.
Dengan hati-hati, Ayah menyalakan mesin dan memutar kemudi, membawa mobil kembali ke jalan yang mereka tinggalkan. Zilfi menatap jalan di depan, merasa bahwa setiap kilometer yang mereka tempuh membawa mereka semakin dekat pada konfrontasi yang tak terhindarkan—sebuah pertempuran yang sudah lama tertulis dalam darah keluarganya.
Ketika mereka semakin dekat ke rumah, udara di sekitar mereka terasa berat, seolah dunia tahu apa yang akan terjadi. Zilfi merasakan liontin di lehernya berdenyut pelan, seperti napas yang seirama dengan langkah takdir yang mendekat. Ayah mengemudi dengan tegang, tidak satu kata pun keluar dari mulutnya. Tapi Zilfi tahu bahwa pikirannya penuh dengan pertanyaan dan ketakutan—tentang masa lalu yang telah lama ia coba lupakan dan masa depan yang kini tak terhindarkan.
Begitu mereka sampai di halaman rumah, suasana berubah. Udara menjadi lebih dingin, dan suasana aneh menyelimuti tempat itu, seolah-olah sesuatu yang tak kasat mata sedang menunggu. Rumah tua itu berdiri seperti sosok yang penuh rahasia, gelap dan suram di tengah malam.
"Ayo masuk," Zilfi berkata pelan, mencoba menahan rasa gentar yang mulai merayapi dirinya.
Mereka berjalan masuk ke rumah dengan hati-hati. Langit-langit berderit, dan bayangan gelap dari lampu-lampu kuno di rumah itu membuat segala sesuatu tampak lebih menakutkan. Zilfi langsung menuju ke kamar ibunya, tempat yang telah lama ditinggalkan setelah kepergiannya. Ayah mengikuti di belakang, terlihat ragu, namun ia tahu bahwa Zilfi sudah mengambil alih kendali.
"Di mana Ibu menyimpan buku-buku tua itu?" Zilfi bertanya, matanya menyisir setiap sudut ruangan.
Ayah menarik napas dalam-dalam. "Di lemari tua. Ada satu kotak kayu yang tak pernah kubuka... Ibumu selalu bilang, itu bukan untuk disentuh."
Zilfi menemukan lemari kayu tua yang dimaksud dan membukanya. Di dalamnya, kotak kayu tua itu terletak, berdebu dan tertutup ukiran-ukiran yang sama dengan simbol di liontin yang kini melingkari lehernya. Ia merasakan jantungnya berdebar kencang saat ia mengangkat kotak itu dan meletakkannya di lantai. Ayah berdiri di sampingnya, diam-diam mengawasi.
Dengan hati-hati, Zilfi membuka tutup kotak itu. Di dalamnya terdapat beberapa buku tua dengan halaman yang sudah mulai rapuh. Di atasnya, ada sebuah jurnal dengan tulisan tangan ibunya. Zilfi memandang jurnal itu dengan penuh perhatian, tangannya gemetar saat ia membukanya.
Di halaman pertama tertulis dengan tinta yang sedikit pudar:
"Jika kamu membaca ini, maka waktunya telah tiba. Entitas itu tidak akan pernah berhenti sampai ia mendapatkan apa yang dia inginkan. Kamu adalah kunci untuk mengakhiri kutukan ini, tapi untuk melakukannya, kamu harus memahami kekuatan yang diwariskan kepadamu. Ritual ini lebih dari sekadar memanggil; ini adalah ikatan darah, dan hanya darah yang bisa menutup pintu yang telah terbuka."
Zilfi berhenti sejenak, meresapi setiap kata yang dibaca. "Ini bukan tentang mengalahkan mereka," gumamnya. "Ini tentang mengakhiri ikatan yang pernah Ibu buat."
Ayah tampak bingung. "Apa maksudnya?"
Zilfi menatap Ayah, ekspresinya serius. "Ibu memulai sesuatu, membuka pintu ke dunia lain. Tapi hanya darah yang bisa menutup pintu itu—darah keluarganya, darahku. Ini bukan soal mengusir mereka. Aku harus mengorbankan sesuatu untuk benar-benar menutup pintu itu."
Ayah tampak terkejut dan segera maju ke depan. "Zilfi, tidak! Ini tidak bisa terjadi! Aku tidak akan membiarkanmu—"
"Ayah," potong Zilfi dengan suara tegas namun lembut, "aku sudah tahu sejak aku mengenakan liontin ini. Aku sudah terikat dengan mereka. Tapi aku punya kekuatan untuk mengakhiri ini, sekali untuk selamanya."
Ayah tampak hancur, matanya penuh dengan air mata. Namun, dia tahu bahwa Zilfi sudah memutuskan. Tidak ada jalan kembali. Semua yang terjadi selama ini adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar dari mereka berdua, sebuah warisan yang tidak bisa dihindari.
Zilfi menatap halaman-halaman berikutnya di jurnal, di mana detail ritual terakhir itu dituliskan. Semua tanda-tanda yang perlu disiapkan, semua langkah-langkah yang harus dilakukan. Tapi yang paling penting, pengorbanan darah harus dilakukan tepat di tempat di mana pintu itu pertama kali dibuka—di tempat ritual lama ibunya dulu.
"Aku harus pergi ke sana," Zilfi berbisik. "Tempat di mana semuanya dimulai."
"Aku ikut denganmu," kata Ayah, tanpa ragu lagi.
Zilfi mengangguk. Dia tahu bahwa apa yang akan mereka hadapi bukan hanya tentang kekuatan supranatural, tetapi tentang menyelesaikan sesuatu yang sudah lama terlupakan. Sesuatu yang harus diakhiri demi keselamatan mereka semua.
Dengan jurnal di tangan, Zilfi dan Ayah bersiap menghadapi apa yang mungkin menjadi pertempuran terakhir mereka—bukan hanya melawan entitas yang selama ini mengincar mereka, tetapi melawan masa lalu keluarga yang kini harus diselesaikan.