Di tengah hiruk pikuk dunia persilatan. Sekte aliran hitam semakin gencar ingin menaklukkan berbagai sekte aliran putih guna menguasai dunia persilatan. Setiap yang dilakukan pasti ada tujuan.
Ada warisan kitab dari nenek moyang mereka yang sekarang diperebutkan oleh semua para pendekar demi meningkatkan kekuatan.
Di sebuah desa kecil, hiduplah seorang anak yang masih berusia 7 tahun. Dia menjadi saksi bisu kejahatan para pemberontak dari sekte aliran hitam yang membantai habis semua penduduk desa termasuk kedua orang tuannya.
Anak kecil yang sama sekali tidak tau apa apa, harus jadi yatim piatu sejak dini. Belum lagi sepanjang hidupnya mengalami banyak penindasan dari orang-orang.
Jika hanya menggantungkan diri dengan nasib, dia mungkin akan menjadi sosok yang dianggap sampah oleh orang lain.
Demi mengangkat harkat dan martabatnya serta menuntut balas atas kematian orang tuanya, apakah dia harus tetap menunggu sebuah keajaiban? atau menjemput keajaiban itu sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aleta. shy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kematian Xingcho
Xingcho sedikit agak tenang mengira suara itu merupakan bantuan yang datang menolong dirinya. Pemuda berumur 19 tahun itu mengambil nafas panjang dan mulai menstabilkan kondisi dirinya. Untuk kedua kali dia merasa apes dalam hidupnya, ternyata anak yang selalu dibully nya itu memiliki kekuatan yang besar.
"Awas saja kau! Jika aku kembali, kau akan merasakan kemarahan dari kakekku." Batin Xingcho begitu marah. Dia hanya mampu melirik kearah Yuan tanpa menggerakkan lehernya sedikitpun. Bergerak sedikit saja sudah terasa begitu nyeri dari area lehernya itu.
"Berani-beraninya kau ingin membunuh manusia iblis ini tanpa mengajakku!" Chia mengamuk marah mendatangi Yuan.
Deg.
Xingcho memaksakan lehernya yang sakit untuk melihat kearah sumber suara. Dia begitu terkejut setelah mendengarkan ucapan dari seseorang tersebut.
"Sial!"
Menyadari yang datang bukanlah bala bantuan, perasaan cemas mulai hinggap di hati pemuda tersebut. Ini bukan hal yang baik, dia hanya sendirian berada diantara 2 orang yang pasti ingin membalaskan dendamnya.
"Aku harus cepat pergi dari sini. Sial! Bisa-bisanya aku tidak berdaya di hadapan Yuan bocah lemah itu!" Maki Xingcho terhadap dirinya sendiri. Dia masih belum percaya jika Yuan sekarang jauh berada diatasnya dari segi kekuatan.
"Kenapa kau kesini?" Tanya Yuan dengan datarnya. Jujur didalam hati pemuda itu sedikit was-was takut gadis itu melihat semua pergerakannya tadi. Dia tidak ingin ada orang yang tau tentang kekuatannya.
Chia begitu kesal dengan pertanyaan bodoh Yuan kepadanya. Tangannya secara enteng meraih kulit pemuda itu mencubitnya.
"Kau tau bukan kalau aku begitu ingin membalaskan dendam ini sejak lama? Bukankah kau melihat bagaimana hancurnya perasaanku saat melihat manusia iblis ini memancungkan pedangnya ke arah kepala ayahku?" Ucap Chia seraya melepaskan cubitannya dan menunjuk Xingcho dengan suara serak yang tertahankan. Mata gadis itu juga terlihat berkaca-kaca.
Yuan paling tidak bisa seperti ini. Melihat Chia yang ingin menangis, segera Yuan memeluknya dan meminta maaf atas tindakannya itu.
"Maafkan aku. Aku mohon percayakan lah semuanya padaku. Sangat berbahaya jika kau ikut dalam misi balas dendam ini. Aku adalah kakakmu, aku juga adalah ayah dan ibumu sekarang. Segala upaya akan aku lakukan untuk melindungi mu dari hal-hal yang buruk." Ucap Yuan menyampaikan kata-kata dengan lembut kepada Chia.
"Aku tau bagaimana perasaanmu. Aku tidak akan tinggal diam atas perbuatan keji itu. Cukup aku, kau jangan masuk dalam misi ini. Sangat berbahaya." Sambungnya lagi.
Chia terpaku mendengarkan kata-kata lembut yang keluar dari mulut Yuan. Inilah mengapa dia sangat mengagumi sosok pemuda yang memeluknya ini. Dibalik sifat cueknya, ada kasih sayang yang besar tersimpan dihati pemuda tersebut.
Yuan kemudian melepaskan pelukannya. Dengan sedikit mengacak rambut gadis itu, kemudian dia menarik tangan itu mendekat ke arah Xingcho.
"Untuk kali ini, lakukanlah." Ucap Yuan kepada Chia.
"Ha?" Chia kebingungan, tidak memahami maksud Yuan.
"Lakukanlah." Ucap Yuan lagi.
"Aku tidak mengerti." Balas Chia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal itu.
Yuan menghela nafas panjang. Matanya itu berfokus kepada Xingcho. Terlihat pemuda itu masih terkulai lemah dengan bola matanya bergantian melihat Yuan dan Chia dihadapannya saat ini.
Yuan melepaskan akar pohon yang sebelumnya dililitkan di leher Xingcho, sebelum akhirnya dia menarik tubuh itu memaksanya untuk berdiri tegak.
"Bangun kau!"
Dicekiknya leher Xingcho sebelum akhirnya dihempaskan ke tanah.
"Arghhh." Xingcho merintih kesakitan seraya sedikit berguling kesana kemari meminimalisir rasa sakit.
"Lakukan apapun yang ingin kau lakukan. Salurkan semua rasa sakit yang selama ini kau pendam." Ucap Yuan mempersilahkan Chia untuk menghajar pemuda itu habis-habisan.
"Benarkah?" Tanya Chia dan dibalas anggukan oleh Yuan.
Mendapatkan lampu hijau dari Yuan, Chia membabi-buta menghantam tubuh Xingcho dengan tangan maupun kakinya bergantian. Tubuh pemuda itu dijadikan samsak hidup bagi dirinya.
"Arkhh maafkan aku, aku mohon..." Xingcho berusaha meredam kemarahan gadis itu.
Chia tertawa begitu senangnya. Dia menginjak tubuh itu sekuat tenaganya membuat Xingcho lagi-lagi berteriak kesakitan.
Yuan tidak mau ketinggalan. Dia juga ikut membantu Chia dalam penyiksaan kepada pemuda tersebut.
"Arkh..."
"Le..paskan aku"
"Kalian akan menyesal nan.. Arkhhhh!!" Secara bersamaan Yuan dan Chia menendang tubuh Xingcho layaknya sebuah mainan.
Keduanya bahkan tertawa bersama membuat Xingcho yang sudah babak belur merinding ketakutan. Dua orang manusia ini seperti seorang psikopat pada umumnya yang seakan menikmati rasa sakit penderitaan orang lain.
"Apakah sudah puas?" Tanya Yuan kepada Chia seraya menyunggingkan senyuman sinisnya kepada Xingcho.
"Hahaha belum, sama sekali belum." Jawab Chia disertai tawanya. Gadis itu terus-terusan menghantam tubuh Xingcho dengan kakinya tanpa lelah sedikitpun.
Darah segar semakin banyak keluar dari mulut Xingcho. Untuk bagian wajah, jangan ditanya lagi. Siapapun sekarang pasti sulit untuk mengenali Xingcho secara langsung.
"Ka..lian gila! Uhuk..uhuk..uhuk.."
...
Yuan menyeret tubuh Xingcho yang sudah lemah itu dari kakinya. Dia menarik kaki pemuda itu membawanya di dekat sumur tua dalam hutan tersebut.
"Untuk apa kita kesini Yuan?" Tanya Chia bingung. Dari tadi dia hanya mengikuti tanpa mengetahui tujuan Yuan kenapa menyeret Xingcho sampai sejauh ini.
"Kau lihat saja." Balas Yuan.
Sebuah sumur tua didalam hutan itu tampak seperti sudah lama sekali ditinggalkan. Banyak lumut yang melapisi permukaan lubang tersebut disertai rerumputan liar yang juga tampak menjulur kedalam dan ada beberapa menjalar keluar.
"Bangun kau!!" Yuan menepuk pipi Xingcho karena sebelumnya pemuda itu sempat pingsan.
Xingcho tersadar. Wajah ketakutan reflek dikeluarkan pemuda itu. Apalagi sekarang dia melihat sudah berada ditempat yang lain.
"Aku dimana!! Kalian membawaku kemana!!"
Yuan tidak menggubrisnya. Ditariknya busana yang dikenakan oleh Xingcho memaksakan pemuda itu berdiri tegak.
"Lihatlah sumur itu." Ucap Yuan kepada Xingcho mengarahkan jari telunjuknya ke arah sumur tua tersebut.
"Itu adalah tempat tinggal dirimu sebentar lagi bersama dengan binatang-binatang berbisa didalamnya." Sambung Yuan lagi tanpa ekspresi.
Xingcho yang sudah tidak berdaya menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak, kau tidak benar-benar melakukannya bukan?" Xingcho panik sekaligus takut. Membayangkan saja membuat tubuhnya merinding.
"Aku akan mengabulkan semua permintaanmu." Xingcho memohon.
"Aku mohon lepaskan aku."
"Aku masih ingin hidup." Memelas sedih berharap dikasihani.
Mendengar hal itu, Chia lah yang terlebih dahulu bereaksi. "Kau pikir ayahku menginginkan kematian ha!!"
"Kau pikir semua orang ingin ditindas!!"
"Kau pikir semua orang adalah budakmu!!"
Yuan segera menenangkan Chia. Dirinya langsung melakukan pergerakan tubuh seolah-olah ingin melemparkan Xingcho sekarang juga.
Xingcho sekuat tenaga memeluk kaki Yuan sambil menggelengkan kepala. Dia memelas dan meminta Yuan memaafkan kesalahannya.
"Tolonglah aku, aku masih ingin hidup. Aku pasti akan berubah menjadi sosok yang baik kedepannya." Ucap Xingcho merendahkan kepalanya dihadapan Yuan, seperti halnya yang dilakukannya kepada Xiao Lee 8 tahun yang lalu. Bukan hanya itu, dia juga mencium kaki Yuan merendahkan harga dirinya.
"Cih. Kau memang penjilat handal." Yuan bersiap ingin menjatuhkan Xingcho kedalam sumur itu.
"Tidak!!! Aku mohon jangan." Xingcho menangis sesenggukan. Akhirnya keluar juga air mata buaya dari pemuda tersebut. Kali ini dia benar-benar merasakan ketakutan yang teramatkan. Tidak terbayangkan oleh dirinya jika harus dimasukkan kedalam sumur yang dipenuhi hewan berbisa itu dengan kondisi tubuhnya yang sekarang.
Chia tergelak geli melihat tingkah Xingcho yang konyol seperti itu. "Tidak menunjukkan memiliki jiwa pendekar sama sekali." Gumamnya.
Diluar dugaan gadis itu, Xingcho yang mulai putus asa malah meraih pedang yang selalu bersamanya itu, dan langsung melakukan aksi bunuh diri dengan menusukkan pedang tersebut ke arah perutnya.
"Arkhhh.."
Xingcho mengerang kesakitan. Dia lebih memilih mati langsung seperti ini daripada harus mati dengan cara tersiksa.
Chia menutup mulut dengan tangannya, tidak percaya jika pemuda itu malah melakukan aksi bunuh diri.
Sedangkan Yuan hanya menatap tubuh yang sedang sekarat itu dengan tersenyum. "Seperti yang aku janjikan sebelumnya, jikalau aku tidak akan membunuhnya dengan tanganku. Justru dia akan terbunuh dengan tangannya sendiri."
Yuan sengaja mengulur-ngulur waktu untuk membunuh Xingcho karena memang tidak ada niat dalam benaknya untuk mengeksekusi pemuda itu dengan tangannya.
Sumur itu sebenarnya hanyalah sebuah ancaman saja. Yuan berniat menakut-nakuti Xingcho supaya pemuda itu memilih jalur kematian cepat daripada tersiksa.
Yang padahal sumur itu hanyalah sumur biasa pada umumnya. Yuan pun bahkan tidak pernah masuk kedalamnya, walaupun memang tempat ini seringkali Yuan jelajahi.
Tubuh Xingcho terlihat seperti kejang-kejang. Jari kakinya saling bertautan satu sama lainnya. Nafasnya sudah tidak teratur dengan keringat dingin membasahi keningnya. Dada itu dibusungkan keatas sebelum akhirnya maut datang menghampiri.
Chia menatap Yuan dengan berbagai pertanyaan di kepalanya. Dia melihat pemuda itu tidak menunjukkan reaksi apapun, seolah-olah ini adalah bagian dari rencananya.
"Apakah ini bagian dari rencanamu?" Tanya Chia.
"Hmm." Yuan mengangkat bahunya.
"Sumur itu?" Tanya Chia lagi.
"Coba kau lihat saja sendiri." Jawab Yuan ketus seraya tersenyum simpul.
.
.
.
.