Pernikahan Paksa Anak SMA

Waktu sudah berganti malam. Dikamar, sejak tadi Zea fokus memperhatikan Zio yang tampak serius dengan laptopnya. Makanan dan minuman yang dia sediakan bahkan tidak disentuh sedikitpun. Mata Zea menoleh ke jam dinding diatas, waktu sudah pukul setengah tujuh malam. Zea teringat mereka ada dinner malam ini. Apa Zio lupa ada janji dinner pikir Zea.

Ponsel Zea berdering. Nama Nina tertera besar dilayar, panggilan pun langsung Zea angkat.

"Lo sama Zio udah siap-siap?" tanya Nina langsung.

"Belum, dia masih kerja," jawab Zea.

"Kerja apa? Aku gak ngerti."

"Lo gak perlu ngerti. Lo udah siap emangnya?"

"Udah dong. Gue pakai baju yang baru gue beli semalam. Kalau Lo?"

"Nanti gue pikirin pakai baju apa."

"Nanti kalau udah jam 7 kalian langsung berangkat, ya. Gue, Denis dan Arka berangkat bareng pakai mobil Denis."

"Oke," jawab Zea. Panggilan pun dimatikan.

Sampai selesai menelepon pun, Zio masih terlihat mengerjakan sesuatu di laptopnya. "Mending gue siap-siap duluan," ucap Zea. Lalu dia beranjak dari atas ranjang, menuju depan lemari.

"Pakai baju apa ya?" pikir Zea. Dia masih memilih-milih pakaian di lemari.

"Gue males ribet ah, pakai ini aja," ucap Zea. Dia mengambil baju tunik berwarna pink dan celana standar pant berwarna abu-abu di lemari.

Perpaduan antara baju tunik dan celana pant sangat cocok untuk Zea yang ingin tampil sederhana, tidak mau ribet, tapi tetap terlihat kece. Pakaian akan dipadukan dengan jilbab segiempat yang diikat ke belakang. Sebagai pelengkap, Zea mengenakan ikat pinggang, jam tangan, tas selempang, dan sepatu berwarna pink. Kini Zea penampilannya sangat modis. Tak pula dia juga merias wajahnya secantik dan senatural mungkin.

Selesai berdandan, Zea masih melihat Zio tetap fokus pada laptopnya. Padahal waktu sudah jam 7 malam tepat. Zea pun memutuskan mengganggu pekerjaan Zio.

"Zio, bukannya kita ada dinner sama Nina, Denis dan Arka jam 7? Kok Lo belum siap-siap?" kata Zea. Mendengar perkataan Zea, Zio baru ingat.

"Astaga, hampir aja gue lupa," jawab Zio. Saat memalingkan matanya dari laptop, Zio langsung mematung melihat Zea di depan matanya. Zea sangat cantik walau berpenampilan sederhana. Membuat jantung Zio berdebar tak menentu.

"Gue udah siap. Cepat sana ganti baju," kata Zea lagi.

"I-iya," jawab Zio gugup. Dia pun mematikan laptopnya, lalu beranjak.

"Menurut Lo gue mesti pakai baju apa?" tanya Zio.

"Muka Lo udah ganteng, jadi pakai kaos polos dan celana jeans aja udah cukup. Oh ya jangan lupa jaket bombernya," saran Zea.

"Jadi menurut Lo gue ganteng?" Zio tersenyum dipuji oleh Zea.

Zea pun baru menyadari telah memuji Zio. "Emang Lo mau gue bilang jelek?" Zea berusaha menaikan nada bicaranya agar Zio tidak salah paham akan pujiannya.

"Lo juga cantik. Sangat cantik," puji Zio.

Zea hampir tak bisa menyembunyikan kegembiraan hatinya setelah dipuji Zio. Pipinya terlihat memerah dan senyum samar mulai tergaris di bibirnya. "Gue udah cantik dari lahir," jawab Zea malu-malu.

"Gue beruntung punya istri cantik kaya Lo, Lo cantik luar dalam," jawab Zio lagi. Pujian bertubi-tubi dari Zio semakin membuat Zea bagai terbang ke angkasa.

"Tumben malam ini apapun yang keluar dari mulut Lo manis semua. Biasanya semua ucapan Lo lebih pahit dari obat."

"Tadi siang kamu tanya kan sama Robbi, apa dia bisa kasih pernikahan ke kamu, di mana suami dan istri saling mencintai di dalamnya? Kalau aku bilang aku juga bisa kasih kamu pernikahan seperti itu, apa hubungan kita akan berubah?" Entah kenapa, malam ini suasananya membuat Zio berani mengungkapkan apa yang ada dihatinya pada Zea.

"Berubah seperti apa?" Zea tidak mengerti.

"Jadi lebih baik, tidak seperti tikus dan kucing lagi. Zea, aku siap melangkah mendekati hati kamu, masalahnya apa kamu siap menerimaku?" ucap Zio lagi, menatap Zea dengan penuh cinta.

"Zio, udah becandanya? Aneh. Sejak kapan Lo ngomong sama gue pakai aku kamu? Biasanya pakai Lo gue."

"Mulai hari ini aku akan bicara sama kamu dengan panggilan aku kamu. Bukankah suami memang harus bersikap sopan pada istrinya? Zea, aku serius, aku gak bercanda."

Zea terdiam mendengar ucapan Zio. Zea mengamati lebih fokus wajah Zio, namun semakin dia menatap jauh, Zea tidak menemukan kebohongan dalam ekspresi wajah Zio.

"Sebenarnya aku cemburu kalau kamu dekat-dekat dengan Robbi maupun pria lain. Aku suami kamu. Aku ingin istriku hanya melihatku seorang. Di mataku kamu sempurna, kamu indah. Aku selalu memujamu. Di setiap langkahku, aku selalu memikirkan kamu. Aku gak bisa bayangin hidup tanpa kamu. Zea, jangan tinggalin aku. Jika itu terjadi, aku pasti gak mampu ngadepin semuanya lagi. Kamu detak jantungku, kamu hidupku, kamu ada untuk melengkapi aku. Kamu istri yang sempurna untukku."

"Bentar-bentar! Kok kamu jadi gini? Kamu kerasukan apa? Kamu pasti bukan Zio kan? Kamu jin kan?" Zea masih tidak percaya dengan apa yang diucapkan Zio.

"Aku beneran Zio. Zea, sebenarnya aku gak serius dengan semua ejekan yang aku ucapkan selama ini ke kamu, justru kebalikannya, aku sayang sama kamu. Tanpa kamu hidup aku gak berwarna. Kamu pikir aku gak bisa melawan kakek? Aku bisa melawan kakek, membatalkan perjodohan kita adalah hal mudah bagiku, tapi aku gak mau, aku suka sama kamu, aku mau kamu jadi istriku."

"Bohong! Jelas-jelas kamu pernah bilang kalau kamu gak suka sama aku. Aku jelek, bau ketek, kurus kering dan pokoknya banyak deh."

Cup

Cium Zio sekilas tanpa permisi di bibir Zea. Zea mematung mendapat serangan mendadak dari Zio. Seketika otak Zea ngeblank.

"Maafin aku, aku gak serius tentang itu. Kamu tau sendiri kalau aku punya harga diri tinggi. Aku gak mudah mengaku cinta, aku gak mudah mencintai. Maafin aku, aku salah," kata Zio lagi. Zio memeluk Zea, berharap Zea percaya dengan semua yang dia katakan.